Era Baru Sepakbola Chile (Bagian 1)
Marcelo Bielsa, Sang Pengubah Wajah Chile

Dimulai dari tampil mencuri perhatian di Piala Dunia 2014, tak terkalahkan dalam 11 pertandingan, hingga yang paling prestius yaitu menjuarai Copa America untuk pertama kalinya dalam sejarah. Chile pun kemudian menempati peringkat kelima FIFA, di atas Brasil dan Spanyol, yang merupakan peringkat terbaik dalam sejarah sepakbola Chile.
Tak pelak prestasi ini mengundang tanya. Apa yang telah mengubah wajah timnas Chile menjadi seperti sekarang ini? Atau lebih tepatnya, siapa yang membuat Chile menjadi salah satu kekuatan yang cukup ditakuti dari Amerika Selatan?
Jawabannya adalah duo Argentina: Marcelo Bielsa dan Jorge Sampaoli. Kedua pelatih ini sambung menyambung saling menyempurnakan timnas Chile. Era Sampaoli, atau Chile saat ini, merupakan puncak dari tiga fase evolusi Chile setelah Claudio Borghi sempat merusak sistem permainan Bielsa. Ya, Sampaoli menjadi penyelamat dan penyempurna fondasi yang diciptakan Bielsa.
Fondasi dari Marcelo Bielsa yang Mengubah Wajah Chile
Bielsa ditunjuk menjadi pelatih kepala timnas Chile pada 2007 dengan target demi berlaga di Piala Dunia 2010. Penunjukkan ini dilakukan lebih dini agar Chile yang absen pada Piala Dunia 2002 dan 2006, memiliki persiapan yang matang dan tentunya berharap bisa kembali berlaga di putaran final Piala Dunia.
Kedatangan Bielsa saat itu berbarengan dengan stok generasi pemain terbaik Chile era awal 2000-an yang hampir habis. Marcelo Salas, andalan di lini depan, telah berada di penghujung kariernya. Penyerang yang pernah merumput untuk Lazio dan Juventus ini merupakan penerus Ivan Zamorano sebagai penyerang utama Chile.
Akan tetapi kualitas individu pemain bukan hal yang menjadi perhatian khusus Bielsa saat itu. Ia pun memang bertekad membangun skuat Chile dari nol. Ia lebih percaya bahwa skema yang tepat akan menghasilkan hasil yang memuaskan.
Bielsa sendiri sebelum menukangi Chile sempat tak menangani kesebelasan manapun selama tiga tahun setelah mengundurkan diri dari jabatan pelatih timnas Argentina pada 2004. Selama tiga tahun itulah ia menempa diri mematangkan pengetahuan taktiknya.
Kemudian Bielsa memperkenalkan sistemnya yang anti-mainstream dalam formasi 3-4-3. Ia hendak menularkan permainan dengan intensitas pressing yang tinggi menggunakan empat pemain depan, agar bisa merebut bola secepat mungkin.
Ada pun ketika membangun serangan, ia lebih mengandalkan kedua sayap dengan mendistribusikan bola ke area tersebut melalui permainan cepat umpan-umpan pendek. Saat menyerang, enam hingga tujuh pemain biasanya memenuhi area lini pertahanan lawan agar bisa menguasai bola lebih lama.
Pengawalan satu lawan satu menjadi ciri khas taktik bertahan Bielsa. Bahkan lebih ekstrem lagi, para pemainnya sering ditugaskan khusus untuk mengikuti pergerakan pemain lawan yang dijaganya kemanapun ia bergerak.
Gaya bermain ini tentunya selain berisiko tinggi juga membutuhkan kebugaran yang tentunya ekstrem pula. Secara umum, para pemainnya harus mampu bermain dengan intensitas tinggi, khususnya dalam melakukan pressing, sepanjang pertandingan.
Dari sini ia memanggil tiga pemain muda yang bisa dengan mudah ia poles agar sesuai dengan permainannya. Ketiga pemain ini adalah Arturo Vidal, Mauricio Isla, dan Gary Medel, yang menjalani debutnya bersama berkat kepercayaan Bielsa. Ketiga pemain ini, bersama Alexis Sanchez, merupakan pemain Chile yang berlaga di Copa America U-20 2007.

Pressing Chile saat menghadapi Swiss di Piala Dunia 2010
Sebenarnya pelatih Chile sebelumya, Nelson Acosta, sering melakukan berbagai variasi taktik termasuk formasi 3-4-3. Namun skema dan permainan yang Chile tampilkan saat itu lebih defensif, di mana Acosta lebih mengandalkan serangan balik.
Berbeda dengan skema Bielsa dalam formasi 3-4-3 racikannya, Chile tampil menyerang dan sering menguasai jalannya pertandingan. Bahkan menurut Blair Newman pada tulisannya di These Football Times, permainan cepat anak asuh Bielsa itu menjadi hiburan tersendiri bagi siapapun yang menyaksikannya.
Bielsa sendiri mengakui bahwa ia menghindari permainan defensif, yang identik dengan permainan membosankan. Ia ingin membuat kesebelasan yang ia tukangi bermain cantik dan tetap menghasilkan kemenangan.
"Saya sering disuruh memilih oleh jurnalis antara bermain untuk menang atau bermain cantik. Saya tak setuju dengan pemisahan itu. Pernyataan yang benar adalah: kami bermain cantik untuk meraih kemenangan," tutur Newman dalam tulisannya yang berjudul ‘Chile: Style of Generation’.
Lantas apakah cita-cita mulia Bielsa itu terwujud? Kemenangan tentu saja tak selalu bisa diraih Bielsa dan skuatnya dalam masa transisi Chile ini. Bahkan di samping Chile meraih kemenangan historis seperti mengalahkan Argentina (1-0) dan untuk pertama kalinya menahan imbang Uruguay pada pertandingan babak kualifikasi Piala Dunia 2010, Chile asuhan Bielsa pun mengalami kekalahan terburuk di kandang sepanjang sejarah (0-3) dari Paraguay dan Brasil.
Hanya saja permainan Chile tetap menyuguhkan hiburan tersendiri dan yang terpenting berhasil mengantarkan Chile ke Piala Dunia 2010. Ya, sosok yang menjadi inspirasi mantan anak asuhnya yang kini menjadi pelatih seperti Diego Simeone, Mauricio Pochettino, Matias Almeyda dan Marcelo Gallardo ini berhasil memenuhi ekspektasi Federasi Sepakbola Chile, FFCH.
Meskipun begitu, manajer kelahiran 21 Juli 1955 ini memutuskan untuk mengundurkan diri kursi kepelatihan Chile beberapa bulan setelah Piala Dunia 2010, yang mana Chile hanya mampu melangkah hingga babak 16 besar.
Bahkan isu pengunduran dirinya ini sudah mencuat ketika Piala Dunia bergulir yang memunculkan aksi dukungan dari para pendukung Chile. Hanya saja karena satu dan lain hal, keputusan Bielsa sudah bulat dan meninggalkan timnas Chile sekitar tujuh bulan setelah Piala Dunia.
Skema Borghi yang Tak Sesuai
Setelah Marcelo Bielsa berhasil memoles timnas Chile menjadi salah satu kesebelasan yang tampil menghibur, Chile mulai diperhitungkan sebagai kuda hitam. Karenanya agar kualitas permainan Chile khas Bielsa bisa dipertahankan, pelatih Argentina lainnya, Claudio Borghi, ditunjuk sebagai suksesor Bielsa.
Ketika Bielsa mencuri perhatian di Piala Dunia 2010 bersama Chile, Borghi meraih prestasi tersendiri di tanah kelahirannya, Argentina. Bersama Argentinos Juniors, pelatih kelahiran 26 September 1964 ini meraih Torneo Clausura 2010, divisi teratas Liga Argentina.
Namun penunjukkan ini terbilang perjudian karena Borghi tak terlalu berhasil setelah menukangi Boca Juniors setelahnya. Borghi kala itu bertahan hanya selama 6 bulan saja. Pelatih yang pernah mencicipi seragam timnas Argentina sebanyak 9 kali ini dipecat setelah hanya mengumpulkan 17 poin dari 42 poin maksimal dan membuat Boca mengakhiri klasemen Apertura di peringkat 15.
Penunjukkan Borghi sebenarnya memiliki keterkaitan dengan pengalamannya menukangi kesebelasan asal Chile, Colo-Colo. Bahkan dalam dua musim ia menukangi Colo-Colo tersebut, ia mempersembahkan empat geluar juara: dua Apertura dan dua Clausura (2006-2007).
Bersama Colo-Colo, kala itu ia menangani pemain-pemain yang menjadi tulang punggung permainan Bielsa di Chile. Mereka adalah Gonzalo Jara, Claudio Bravo, Jorge Valdivia, Matias Fernandez, Sanchez, dan Vidal.
Hanya saja skema permainan Borghi memilki perbedaan yang ekstrem dengan pendekatan strategi Bielsa. Jika Bielsa memainkan garis pertahanan tinggi dengan intensitas pressing yang agresif, Borghi bermain dengan garis pertahanan rendah tanpa pressing.
Tampaknya para pemain asuhannya tak bisa menunaikan instruksi dari Borghi. Hal ini terlihat dari hasil yang diraih Borghi dan Chile pada periode 2011-2012 hanya 11 kemenangan dan lima kali imbang serta 11 kali kekalahan.
Tiga kekalahan beruntun pada babak kualifikasi Piala Dunia 2014 Zona Amerika Selatan serta tiga kekalahan di pertandingan persahabatan membuat Borghi dipecat. Saat itulah nama Jorge Sampaoli ditunjuk menjadi pelatih kepala timnas Chile yang mendapatkan berbagai prestasi.
---
Penulis adalah anggota Pandit Football Indonesia dengan akun twitter: @ardynshufi
(mrp/mrp)