Tentang Yanto Basna yang Kalian Hujat Itu...

Bahkan, ketika Yanto Basna dipastikan absen (bersama Fachrudin Aryanto) di leg pertama semifinal Suzuki AFF Cup 2016 antara Indonesia menghadapi Vietnam karena akumulasi kartu kuning, tak sedikit yang bahagia dengan kabar ini. Kemudian ketika Hansamu Yama dan Manahati Lestusen bermain baik sebagai penggantinya, nama Yanto Basna semakin dikucilkan.
Yanto Basna memang dianggap bermain buruk sepanjang Piala AFF 2016 ini. Sementara, yang membuat banyak orang keanehan, Yanto selalu menjadi pilihan utama pelatih timnas Indonesia, Alfred Riedl. Ia bersama Fachrudin menjadi pemilik menit bermain terbanyak jika dihitung sejak melawan Malaysia awal September lalu. Hanya akumulasi kartu yang kemudian membuatnya tak berlaga di Piala AFF.
![]() |
Saya cukup miris mendengarnya, melihatnya, dan mengetahuinya. Karena rasanya, Yanto Basna tidaklah perlu mendapatkan perlakuan seperti itu. Karena kita sepatutnya mewajarkan permainan kurang maksimal Yanto Basna bersama timnas di Piala AFF ini.
***
Penampilan Yanto Basna memang mengundang perhatian negatif sepanjang Suzuki AFF Cup 2016 ini. Apa yang ditunjukkannya dari tiga laga di fase grup, tak sama seperti yang terlihat kala pemilik nama lengkap Rudolof Yanto Basna ini berseragam Persib Bandung ataupun Mitra Kutai Kartanegara.
Nama Yanto Basna mulai berkibar ketika membela Mitra Kukar pada akhir 2015 dan awal 2016 ini. Awalnya, banyak yang mengiranya sebagai pemain asing. Berkulit hitam membuat dirinya seperti legiun asing asal Kamerun atau Nigeria yang sering membela kesebelasan-kesebelasan Indonesia. Permainan yang lugas, tanpa kompromi, namun tenang, membuat kualitasnya terlihat di atas rata-rata pemain lokal.
Puncaknya, Yanto berhasil mengantarkan Mitra Kukar menjuarai Piala Jenderal Sudirman. Lebih hebatnya lagi, jebolan Diklat Ragunan ini dinobatkan sebagai pemain terbaik turnamen. Dan lebih luar biasanya lagi, ia bukanlah pemain asing seperti dikira banyak orang; karena ia merupakan pemain kelahiran Sorong, Papua.
![]() |
Fakta-fakta berikutnya tentang Yanto Basna kemudian membuat banyak orang menaruhkan harapan besar padanya. Saat menjuarai Piala Jenderal Sudirman dan terpilih menjadi pemain terbaik, ia masih berusia 20 tahun. Jika melihat lini masa dunia maya saat itu, tak sedikit yang mengganggap pemain jebolan SAD Uruguay ini akan menjadi bintang timnas Indonesia di masa depan.
Usai membela Mitra Kukar, Yanto Basna kemudian hijrah ke kesebelasan yang semakin melambungkan namanya; Persib Bandung. Awalnya ia kesulitan beradaptasi karena ditempatkan di pos bek kanan, tak seperti di Mitra Kukar yang menjadi bek tengah. Namun seiring berjalannya waktu, serta cederanya Purwaka Yudhi (bek tengah utama Persib saat itu) dan pergantian pelatih dari Dejan Antonic ke Djajang Nurjaman, Yanto Basna kembali bermain sebagai bek tengah dan menunjukkan potensinya.
Penampilan Yanto bersama Persib inilah yang membuat Riedl memanggilnya. Bahkan dengan aturan maksimal dua pemain per klub, Riedl rela mengesampingkan pemain Persib lain seperti Kim Jeffrey Kurniawan, Tony Sucipto, I Made Wirawan, hingga Sergio van Dijk demi memanggil Yanto Basna (dan Zulham Zamrun).
Mengatakan Riedl tak memiliki penilaian bagus terhadap potensi pemain jelas salah besar. Rizky Pora misalnya, saat ini ia merupakan salah satu pemain terbaik timnas Indonesia sementara ia mendapatkan debut bersama timnas senior dari Riedl sejak 2014 lalu. Padahal sebelumnya tak begitu banyak yang memerhatikan kiprah pemain yang membela Barito Putera ini.
Selain Rizky Pora, Abduh Lestaluhu adalah contoh lain bagaimana Riedl mampu memilih pemain yang bisa memberikan kontribusi maksimal bagi timnas. Atas dasar ini pula Riedl tak ragu memanggil Yanto Basna dengan segala pengorbanannya tidak memanggil pemain Persib lain.
Lalu apa yang salah dengan Yanto Basna sehingga ia bermain tak maksimal di timnas Indonesia saat ini?
![]() |
Sebelum Suzuki AFF Cup 2016 bergulir, saya sempat sedikit berbincang dengan Yanto Basna di tempat menginap para pemain dan staf timnas di Tangerang. Ini terkait dengan komposisi pemain belakang timnas Indonesia. Situasi yang ia hadapi di timnas, berbeda dengan situasi yang alami di klub, baik Persib maupun Mitra Kukar.
"Komunikasinya, Abang Fachrudin agak lebih pendiam. Makanya kalau main kan susah kalau gak ada komunikasi. Makanya kalau lagi main, kebanyakan saya yang lebih cerewet," ujar Yanto Basna.
Awalnya saya tidak menganggap perkataan Yanto Basna tersebut sebagai sesuatu masalah baginya. Apalagi selama uji tanding, Indonesia hanya kebobolan kala menghadapi Vietnam saja, yang memang kualitas mereka tengah menanjak. Melawan Malaysia dan Myanmar, dengan Yanto Basna-Fachrudin di jantung pertahanan, Indonesia berhasil clean sheet.
Tapi setelah Piala AFF bergulir, dan melihat permainan Yanto yang berbeda dari biasanya, saya menyadari bahwa ada beban besar yang ia pikul dengan skuat timnas saat ini. Ia harus menjadi pemimpin di lini belakang Indonesia.
![]() |
Lho? Bukannya ada Benny Wahyudi yang jauh lebih senior darinya? Kebetulan, benar-benar kebetulan, saya saat itu menanyakan tentang kordinasinya dengan bek kanan Arema Cronus itu. Maklum, posisi keduanya berdekatan di lapangan.
"Masalah (komunikasi) dengan Benny tidak ada. Tapi terkadang agak susah karena gak ada pemain sayap yang bantu dia di belakang. Makanya setengah mati dia (di sisi kanan), saya juga akhirnya harus rajin bantu dia ke sayap juga," aku Yanto.
Dalam skema Riedl yang menggunakan 4-4-2, sisi kanan pertahanan Indonesia memang menjadi salah satu titik lemah. Tak seperti Rizky Pora yang rajin membantu Abduh Lestaluhu di kiri pertahanan (terlebih karena Rizky Pora terbiasa bermain sebagai bek kiri), sisi kanan yang ditempati Andik Vermansah lebih difungsikan untuk membantu penyerangan. Sementara kemampuan Andik dalam membantu pertahanan pun tak sebaik Rizky Pora di sisi kiri. Inilah yang membuat Benny tak terlalu bisa mengomandoi di lini pertahanan karena cukup kerepotan di sisi kanan.
Kemudian Yanto dengan segala instingnya sebagai pemimpin, tanpa instruksi dari Riedl, menjadi pemberi komando di lini belakang. Soal kepemimpinan memang bukan hal yang asing baginya. Sebelumnya ia pernah menjadi kapten di Sriwijaya U21 dan timnas U-19 yang bermain di turnamen Cotif, Spanyol (Jika ia tak cedera lutut, bukan tak mungkin ia akan berada di antara Evan Dimas cs yang menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013 lalu.)
Hanya saja, menjadi pemimpin di timnas senior, apalagi di kompetisi yang cukup bergengsi di Asia Tenggara seperti Piala AFF ini, berbeda dengan ketika ia mengomandoi rekan-rekan dengan lawan seusianya.
Di klub, Yanto Basna tak mendapatkan beban seperti ini. Di Persib, ia memiliki rekan seperti Vladimir Vujovic dan Tony Sucipto yang gemar meneriaki setiap pemain yang melakukan kesalahan. Di Mitra Kukar dulu, ada Arthur Cunha, Zulkifli Syukur (kapten tim), dan Zulchrizal Abdul Gamal sebagai rekannya di lini pertahanan. Dikelilingi pemain senior yang gemar mengomandoi, Yanto Basna bisa lebih fokus pada permainannya sendiri.
Bermain sekaligus memberi komando memang tidak gampang. Saya, meski hanya pemain sepakbola abal-abal, seringkali berada di situasi ini; memberi komando ketika bermain. Dan itu sangat sulit. Menjadi pemimpin, bahkan tak hanya di sepakbola, memang tidak mudah.
Sialnya bagi Yanto Basna, ketika ia hendak mempertajam kepemimpinannya di lapangan, ia justru mendapatkan banyak hujatan, khususnya setelah kekalahan 2-4 dari Thailand. Padahal dengan usianya yang saat ini masih 21 tahun, situasi ini justru baik bagi kariernya ke depan, bahkan bagi timnas Indonesia.
![]() |
Ya, semoga Yanto Basna tak berkecil hati dengan setiap hujatan yang membanjiri akun sosial media yang ia miliki. Semoga ia menjadikannya motivasi agar ia semakin kuat di kemudian hari. Karena siapa tahu, ia akan menjadi Aples Tecuari baru di masa depan. Dan rasanya, para penghujatnya pun perlu lebih mengerem hujatan padanya agar Yanto bisa berkembang mencapai potensi terbaiknya tanpa terganggu komentar-komentar miring terhadapnya.
====
*penulis adalah editor situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @ardynshufi.
(krs/din)