Sulitnya Menjadi Juara Bertahan Premier League

"Kami tahu, kami sudah bermain bagus, tapi banyak tim yang membuat kami kesulitan. Kami sedang berada di puncak (klasemen) dan semua orang ingin mengalahkan kami." Pernyataan tersebut diucapkan oleh John Terry, kapten kesebelasan Chelsea, pada akhir tahun 2014 yang lalu.
Pada akhirnya Chelsea memang mampu mempertahankan posisinya di puncak klasemen dan menjuarai Liga Primer Inggris 2014/2015 pada akhir musim. Apa yang terjadi lima bulan setelah Chelsea menjadi juara Liga Primer? Sekarang mereka sedang berada di peringkat ke-16 dengan delapan poin dari delapan pertandingan. Sang juara bertahan sedang terpuruk.
Sejujurnya apa yang dialami Chelsea sekarang ini bukan sesuatu yang mengagetkan terutama di Liga Primer. Tidak percaya? Sebelum pembahasan ini dilanjutkan, ada baiknya kita sama-sama menyimak tabel juara bertahan di bawah ini.
Tabel juara bertahan Liga Primer Inggris
Setelah melihat tabel di atas, apa yang dapat kita simpulkan? Ternyata dari 23 musim Liga Primer, hanya tujuh kali kesebelasan juara bertahan di musim sebelumnya yang bisa mempertahankan gelar juara mereka di musim selanjutnya.
Hampir semua kesebelasan juara Liga Primer posisinya langsung melorot di musim selanjutnya, entah itu sedikit turun ke peringkat kedua (terjadi sebanyak 11 kali), ke peringkat ketiga (terjadi hanya dua kali), atau bahkan melorot jauh ke peringkat ketujuh (terjadi dua kali). Jadi, pertanyaannya adalah...
Sesulit Itukah Mempertahankan Gelar Juara Liga Primer?
"Mempertahankan kesuksesan lebih sulit daripada meraih kesuksesan," adalah pernyataan yang paling umum yang hampir selalu bisa kita terima, sejalan juga dengan pernyataan dalam bidang kedokteran dan kesehatan, "Lebih baik mencegah (penyakit) daripada mengobatinya."
Dalam kaitannya dengan sepakbola di Inggris, hal ini memang masih menjadi misteri. Jika kita lihat daftar juara di atas, hanya Manchester United yang bisa konsisten dengan gelar juara mereka.
Kenyataan berbicara bahwa kesuksesan United ini adalah buah dari kejeniusan manajer mereka saat itu, Sir Alex Ferguson. Tanpa pria asal Skotlandia itu, 'Setan Merah' --yang sebelumnya menjuarai Liga Primer 2012/2013 di musim terakhir Sir Alex-- langsung melorot dan terjun bebas ke peringkat ketujuh bersama David Moyes. Mereka bahkan tak lolos sama sekali ke kompetisi Eropa.
Namun, kenyataan lain juga berbicara bahwa, dari 23 tahun pergelaran Liga Primer, hanya ada satu manajer yang mampu mempertahankan gelar seperti yang Sir Alex lakukan, ia adalah Jose Mourinho pada 2005/2006.
Jika ini merupakan masalah manajer, seharusnya Mourinho tidak mendapatkan banyak kesulitan di musim ini; setidaknya kalaupun sulit, mereka tidak terpuruk-terpuruk amat di papan bawah klasemen.
Kemudian jika ini merupakan masalah kekuatan tim, bukankah seharusnya tim yang juara adalah tim yang terbaik? Jadi, setidaknya mereka masih memiliki kans yang tinggi untuk mendapatkan performa yang setara di musim selanjutnya.
Namun, masalah ini tidak sesederhana yang kita kira. Pada prinsipnya, lebih banyak faktor yang berpengaruh mengenai sulitnya menjadi juara bertahan, bukan hanya di Liga Inggris, dan bukan hanya di sepakbola.
Faktor seperti kelelahan fisik, kekuatan mental, dan kondisi finansial adalah beberapa faktor yang paling berpengaruh di masa modern seperti sekarang ini.
Kelelahan sebagai Faktor Utama, Terutama Kelelahan Mental
Dalam buku terbarunya yang berjudul "Leading", Sir Alex menulis: "Kita semua dihantui oleh kegagalan. Ini dapat menjadi halangan maupun motivasi. Adalah tekad batin saya sendiri untuk menghindari kegagalan yang selalu memberi saya motivasi tambahan untuk berhasil."
Secara langsung Sir Alex menyatakan bahwa kekuatan mental adalah yang paling utama untuk meraih kesuksesan. Begitu juga di olahraga. Elka Graham, seorang perenang legendaris asal Australia, pernah menyatakan bahwa dalam setiap latihan, kebanyakan atlet 90% terfokus pada fisik mereka dan hanya 10% mental, tapi pada saat pertandingan, 90% hal yang paling berpengaruh adalah mental daripada fisik.
Bayangkan jika hal di atas terjadi sebanyak 38 kali (jumlah pertandingan Liga Primer) sepanjang satu musim. Seorang juara adalah mereka yang bisa mempertahankan fisik dan mental mereka dalam kondisi tingkat tinggi sepanjang satu musim penuh, sekitar sembilan sampai 10 bulan lamanya setiap tahun.
Belum lagi mereka juga harus beberapa kali berkompetisi di tingkat Eropa yang lebih menguras fisik dan mental, begitu juga dengan kompetisi piala domestik, beberapa pertandingan internasional bersama kesebelasan negara mereka masing-masing, serta sorotan media yang tiada henti-hentinya. Jadi, tentunya tak terbayangkan betapa melelahkannya menjadi seorang juara.
Dr. Patrick Cohn, Ph.D, seorang pelatih mental ternama di dunia olahraga, menyatakan bahwa untuk menjaga motivasi dan fokus seorang atlet sepanjang satu musim yang panjang adalah sulitnya bukan main. Sedangkan untuk menjaga motivasi dan fokus seorang atlet juara ada di tingkat kesulitan yang lebih tinggi lagi, begitu juga saat kita berusaha untuk menjaga motivasi dan fokus dalam sebuah tim (yang terdiri dari sekumpulan atlet) adalah hal yang sangat-luar-biasa sulitnya.
Itulah yang membedakan kesebelasan juara dengan mereka yang bukan. Meskipun mereka sama-sama menghabiskan 38 pertandingan sepanjang musim, kesebelasan juara adalah mereka yang paling lelah secara fisik maupun mental. Itulah bedanya Chelsea dengan Manchester City, Crystal Palace, Everton, dan Southampton di musim ini.
Maka, ketika itu semua sudah berakhir dengan sebuah gelar juara di akhir musim, akan sangat wajar jika sang juara bertahan adalah mereka yang paling merasakan kelelahan bahkan sampai musim yang baru sudah dimulai kembali. Hal ini yang mungkin menyebabkan mengapa Chelsea bisa kalah oleh City, Palace, Everton, dan Soton di awal musim ini.
Juara adalah Mereka yang Selalu Melakukan Perubahan
Semakin besar kekuatan yang kita miliki, maka akan semakin besar juga tanggung jawab yang kita emban. Kita mempelajari kalimat di atas dari film ‘Spider-man’. Dalam kehidupan kita (bukan hanya olahraga), semakin besar kesuksesan yang kita raih, maka akan semakin besar juga rasa puas diri yang bisa timbul. Ini adalah hal yang berbahaya.
Istilah "one hit wonder" sampai "second season syndrome" muncul dari dua pemahaman di atas. Kita bisa melihatnya dari dunia bisnis, musik (grup musik Baha Men yang namanya tenggelam setelah lagu "Who Let the Dogs Out?"), dan juga tentunya sepakbola.
Nama Michu sudah tak terdengar lagi sejak naik daun di Swansea, Harry Kane juga yang terancam dicap sebagai "kebetulan jago musim lalu" karena keran golnya musim ini tak kunjung mengalir deras. Masih banyak contoh lainnya dan begitu juga dengan Chelsea musim ini.
Jika kita kembali belajar kepada ahlinya juara bertahan, Sir Alex, ia kerap melakukan perubahan. Tidak ada istilah "don’t change the winning team" karena kesuksesan pastinya menuntut perubahan.
Setelah meraih treble di musim 1998/1999, ia melakukan banyak perubahan, terutama di posisi penjaga gawang ketika ia melakukan "trial and error" dengan menggantikan posisi Peter Schmeichel dengan Mark Bosnich, Massimo Taibi, sampai ke Fabien Barthez.
"Trial and error" di posisi penjaga gawang ini kerap ia lakukan sampai akhirnya United mendapatkan Edwin van der Sar pada Juli 2005. Sepanjang lima tahun "tanpa kepastian di posisi penjaga gawang" itu, dengan beruntungnya United sempat menjuarai Liga Primer sebanyak dua kali.
Begitu juga setelah Sir Alex menjuarai Liga Primer 2006/2007, dengan cepatnya ia mendatangkan Owen Hargreaves, Nani, Anderson, dan Carlos Tevez. Hasilnya? United kembali menjuarai Liga Primer 2007/2008 dan juga Liga Champions UEFA.
Kedua hal di atas menunjukkan kepada kita bahwa perubahan adalah hal yang sangat penting secara taktikal maupun psikologi. Pemain-pemain lama harus tetap mendapatkan tantangan dari pemain baru, begitu juga pemain baru yang ingin membuktikan diri, tidak ada zona nyaman.
Sayangnya ini yang tidak terjadi pada Arsenal sejak terakhir kali mereka juara pada 2003/2004, di mana mereka juga mendapatkan julukan "The Invincibles" karena tidak terkalahkan sepanjang semusim lebih (tepatnya 49 pertandingan).
Pada musim selanjutnya, mereka hanya menambahkan Robin van Persie yang saat itu masih berusia 20 tahun, Manuel Almunia, dan Mathieu Flamini, sebelum akhirnya pada transfer musim dingin selanjutnya mereka mendatangkan Emmanuel Eboue. Selain mereka berempat, Arsenal 2004/2005 adalah Arsenal yang hampir sama dengan "The Invincibles" 2003/2004.
Hasilnya? Di akhir musim mereka ketinggalan 12 poin dari Chelsea yang menjadi juara, dan sejak Mei tersebut mereka tidak pernah lagi menjadi juara atau bahkan menjadi runner-up Liga Primer.
Chelsea Harus Berubah
Kesimpulannya, regenerasi yang penuh trial and error dari Ferguson seharusnya sudah banyak membuat Chelsea belajar. Namun, jika dilihat dari aktivitas The Blues di bursa transfer kemarin, sepertinya Mourinho memang sudah salah langkah dengan minimalnya dan terlambatnya perubahan yang ia lakukan di kesebelasannya.
Paradigma "don’t change the winning team" sudah berkali-kali membuat kesebelasan terbaik hanya sedikit memperkuat skuat mereka di musim berikutnya.
Nyatanya, melalui banyak studi psikologi olahraga, paradigma ini sudah seharusnya berubah. Apalagi jika kita menambahkan faktor lainnya yaitu dengan kondisi keuangan yang sudah mulai "gila". Banyak kesebelasan papan tengah dan papan bawah yang "bangkit" dan semakin memperbaiki diri mereka. Palace, Leicester City, West Ham United, dan Watford misalnya.
Bahkan melihat linimasa yang sama, Celtic FC dari Liga Skotlandia saja sudah juara 11 kali dalam 24 tahun terakhir ini, tapi mereka selalu melakukan perubahan setiap musimnya. Padahal, siapa, sih, saingan utama Celtic di Liga Skotlandia (apalagi sekarang yang sedang tidak ada Rangers)? Tentunya tidak sebanyak dan se-mengkhawatirkan para pesaing Chelsea di Liga Primer, kan?
Padahal Mourinho sudah menyatakan di awal musim, "Berikan sedikit kompetisi kepada skuat, bawa darah muda (pemain baru) masuk, berikan pemain tekanan. Jadi mereka tahu bahwa sudah ada pengganti mereka (jika mereka, pemain lama, underperform). Sekarang mereka adalah juara, saya membutuhkannya."
Namun, ucapan hanya menjadi ucapan. Sekarang perhitungan Mourinho sudah terbukti salah, dan seperti yang pernah kami sampaikan juga di awal musim [Pratinjau 2015/2016: Ujian Konsistensi untuk Chelsea], jendela transfer musim dingin Januari 2016 nanti pasti akan menjadi penebusan bagi Mourinho.
====
*penulis biasa menulis soal sport science untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @dexglenniza