Superclásico sebagai 'Kawah Chandradimuka'

Laga ini, bersama juga dengan Kıtalararası/Kontinental Derbi (Fenerbahçe di Istanbul bagian Asia melawan Galatasaray di Istanbul bagian Eropa) dan Old Firm Derby (Celtic melawan Rangers), adalah salah satu laga terpanas sekolong langit, dan bahkan mendapatkan julukan sebagai laga yang abadi.
Dua kepentingan, dua kelas masyarakat yang berbeda, serta dua kutub sepakbola Argentina yang berada dalam satu kota, adalah atribut-atribut yang selalu ada dan hadir dalam laga Superclásico. Los Millonarios lawan Los Xeneizes. Si kaum kaya dari utara Buenos Aires melawan si kaum pekerja dari selatan Buenos Aires.
Setidaknya dalam dua kali setahun (belum ditambah jika keduanya bertemu di Copa Libertadores ataupun Sudamericana), Buenos Aires akan terpecah menjadi dua ketika laga ini digelar. Kaum dari selatan Buenos Aires, distrik La Boca, akan serentak mengenakan baju biru-kuning kebesaran Club Atlético Boca Juniors, sementara itu kaum dari utara Buenos Aires, distrik Núñez, akan mengenakan baju putih-garis merah kebesaran Club Atlético River Plate.
![]() |
Panasnya atmosfer derby ini, yang bahkan sampai menarik minat tigaperempat masyarakat Argentina untuk menyaksikannya serta membuat para wisatawan bahkan sampai rela untuk datang khusus pada hari pertandingan demi merasakan langsung panasnya derby ini, ternyata tak selamanya berkaitan dengan hal-hal negatif.
[Baca juga: Kegilaan dan Kengerian Laga Superclásico]
Memang benar kerap banyak terjadi kekerasan ketika derby ini dilangsungkan, seperti tragedi "Puerta 12" pada 23 Juni 1968, yang menewaskan 71 penggemar Boca Juniors dan membuat 150 orang lainnya luka-luka akibat kerusuhan yang terjadi antara pendukung Boca dan River di sektor 12 Stadion El Monumental, markas River.
Tapi, kadang tidak semua tentang Superclásico berakhir dengan kekerasan. Malah, bagi beberapa pemain, kekerasan ini justru menjadi sebuah pembelajaran mental berarti yang membuat mereka bisa selamat di negara lain, termasuk Eropa. Pemain-pemain Argentina yang digembleng lewat Superclásico ini lazimnya akan sukses berkompetisi di negara lain.
Mereka yang Pernah Merasakan Atmosfer Superclásico
Mempertemukan dua kesebelasan besar Argentina, Superclásico kerap dihiasi oleh kemunculan bintang-bintang yang tampil brilian dalam laga tersebut, baik itu pemain yang berasal dari akademi maupun pemain asal Argentina yang merasakan langsung menjadi pihak yang terlibat dalam laga seakbar Superclásico.
Dari sekian banyak pemain asal Argentina, setidaknya ada empat pemain yang pernah merasakan langsung atmosfer Superclásico kala mereka masih berstatus sebagai pemain. Keempat pemain ini memberikan sebuah warna tersendiri dalam laga Superclásico saat mereka masih bermain. Mereka adalah Diego Maradona, Gabriel Batistuta, Juan Roman Riquelme, dan Carlos Tevez.
Maradona adalah anak yang besar di wilayah pelabuhan Buenos Aires. Mengenakan jersey Boca, bagi Maradona, lebih dari sekadar mengenakan jersey dan kemudian turun bertanding, tapi juga mewakili daerah pelabuhan tempat ia tinggal. Namanya pun semakin naik kala ia mampu mencetak hat-trick dalam sebuah laga Superclásico yang berlangsung pada 10 April 1981 di La Bombonera.
Lewat cetakan hat-trick-nya tersebut, Boca pun sukses meraih gelar juara Liga Argentina, dan Maradona pun sukses mengangkangi legenda-legenda Argentina yang bermain untuk River saat itu macam Americo Gallego dan Daniel Passarella, kapten timnas Argentina dalam Piala Dunia 1978.
![]() |
Selain Maradona, ada nama Juan Roman Riquelme yang juga ditempa dengan atmosfer panas Superclásico. Playmaker yang terkenal dengan soft touch serta kontrol bola jarak dekat ini benar-benar merasakan atmosfer Superclásico seiring dengan tumbuh kembangnya sebagai seorang pesepakbola.
Memulai karier sebagai pemain muda di Boca pada 1996, ia menikmati tujuh musim luar biasa bersama Boca sampai 2002 (ia pulang kampung ke Boca pada 2008). Raihan enam gol yang ia catatkan dalam laga Superclásico sampai 2002 silam membuatnya dielu-elukan publik La Bombonera, mengguratkan kenangan indah tentangnya di Boca.
Ada juga nama Gabriel Batistuta serta Carlos Tevez. Terkhusus untuk kasus Batistuta, ia adalah pemain potensial River Plate yang tersia-siakan sebelum akhirnya menemukan penampilan terbaiknya di Boca di bawah asuhan Oscar Tabarez. Di bawah asuhan Daniel Passarella di River, Batigol sulit untuk menemukan kemampuan terbaik karena perbedaan pandangannya dengan Passarella.
Sedangkan Carlos Tevez, seperti halnya Diego Maradona, adalah pujaan para pendukung Boca. Pada 2004 silam, ia menandai kehadirannya dalam laga Superclásico setelah melakukan perayaan gol dengan menirukan gaya ayam kepada para pendukung River. Hal yang pada akhirnya memantik pertikaian antar suporter kedua tim dan membuat Tevez harus sampai meminta maaf kepada para pendukung River.
![]() |
Cukup banyak pemain yang pernah merasakan atmosfer Superclásico ini. Empat nama di atas hanyalah secuil saja, belum menyebutkan nama-nama macam Marcelo Salas, Gonzalo Higuain, Javier Saviola, serta Radamel Falcao yang juga pernah merasakan sensasi panas dan penuh tekanan dari laga Superclásico.
Pernah merasakan atmosfer ini, apakah hal ini memberikan pengaruh terhadap karier mereka di Eropa?
Kesuksesan Para Alumnus Superclásico
Tempaan mental yang hebat dari laga Superclásico membuat para pemain yang pernah merasakan atmosfer laga ini bisa sukses setelah mereka pergi dari Argentina dan berkarier di negara lain. Kekuatan mental yang terbentuk dari laga Superclásico membuat para pemain yang pernah bermain dalam laga tersebut memiliki bekal berharga saat memutuskan untuk meneruskan karier ke luar Argentina.
Diego Maradona, setelah merasakan atmosfer Superclásico bersama Boca, ia pun sukses bersama Napoli dan membawa tim asal Italia Selatan itu meraih gelar Serie A. Walau sempat dikecewakan oleh Barcelona, ia mampu bangkit dan menunjukkan taji ketika ia pindah ke Napoli.
Kisah yang sama pun ditorehkan pemain-pemain lain yang lebih muda dari Maradona macam Batistuta, Saviola, Higuain, Tevez, dan Falcao. Mereka bertransformasi menjadi penyerang maut di kesebelasan yang pernah dan masih mereka bela. Batistuta bahkan pernah mengantarkan AS Roma meraih gelar Scudetto pada 2001 silam dan membawa Fiorentina kembali ke Serie A.
Saviola pun tak kalah tajamnya di Barcelona dan Benfica. Falcao, walau sempat mengalami masa suram, sekarang mulai kembali menemukan ketajamannya bersama Monaco. Pun dengan Higuain yang menjadi penyerang yang cukup subur di Serie A bersama Napoli dan sekarang Juventus.
Carlos Tevez pun pernah menjadi penyelamat West Ham United dari jerat degradasi, serta membuat lini depan Juventus begitu hidup, sebelum perannya digantikan Higuain. Sedangkan Riquelme, walau tidak sesukses rekan-rekannya yang lain, berhasil mengantarkan Villarreal ke babak semifinal Liga Champions.
Semua pemain tersebut pernah merasakan atmosfer Superclásico, dan mental mereka tumbuh dengan baik lewat tempaan laga panas tersebut. Tempaan mental yang akhirnya membuat mereka tumbuh menjadi pemain kuat.
[Baca juga: Derby Super Clásico]
***
Laga Superclásico terdekat akan berlangsung pada akhir pekan ini di kandang Boca, tepatnya Senin (15/05) pukul 03:00 WIB dinihari (kebetulan juga akan disiarkan di Indonesia oleh salah satu stasiun televisi olahraga ---maksudnya adalah beIN Sports 2). Saat ini Boca sedang bertengger di puncak klasemen sementara River di peringkat kelima.
Pada kenyataannya, Superclásico bukan hanya tentang kekerasan dan perbedaan kelas masyarakat yang kerap menjadi bumbu yang menghiasi pertemuannya.
Lebih jauh, ia bisa menjadi sebuah Kawah Chandradimuka, atau kawah yang keramat dan sakti dalam cerita wayang tempat penggemblengan ksatria agar menjadi ksatria yang kuat dan tangguh, bagi suporter sepakbola dan juga bagi pemain yang pernah merasakan panasnya derby tersebut.
Terkhusus bagi pemain. Superclásico ini akan menjadi sebuah kelas yang tepat tentang penggemblengan mental, sekaligus perwujudan dari kata-kata Bill Shankly bahwa sepakbola itu melebihi perkara hidup dan mati.
----
*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @sandi1750.
(krs/fem)