Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Dalipin

    Rawat-rawatlah Stadion Kami

    - detikSport
    Ilustrasi: Stadion Mandala di Jayapura (detiksport/lucas) Ilustrasi: Stadion Mandala di Jayapura (detiksport/lucas)
    Jakarta -

    Beberapa saat setelah Arsenal pindah dari Highbury ke Ashburton Grove, sebelum kemudian menjadi Emirates, Thierry Henry sempat mengeluh: Ada sesuatu (atmosfer) yang hilang. Kosong.”

    Henry merasa tidak bermain di kandang sendiri yang ia kenal setiap lekuk likunya dengan mata terpejam. Tidak ada dorongan tangan yang mendorongnya berlari lebih cepat, suara-suara yang membuat bulu kuduknya meremang dan bermain habis-habisan, hembusan angin yang membuat tendangannya halus mematikan, maupun bisikan-bisikan lirih yang memberi tahu apa yang harus ia lakukan di saat sulit.

    Padahal Ashburton Grove dirancang sedemikian rupa agar akustiknya lebih bagus, sehingga sorak sorai menjadi lebih kuat. Arsitektur stadion dirancang agar ikatan penonton dan pemain bisa menjadi sebuah kesatuan. Pendeknya, segala sesuatu dipikirkan untuk memaksimalkan sebuah keterikatan yang kuat antara pemain dan penonton, membangkitkan (gairah) kebersamaan.

    Permainan sepakbola memang mau tak mau (harus) bermula dan (seharusnya) berakhir di stadion. Di stadionlah tetes keringat dan linangan air mata bisa dicecap dinding-dindingnya. Tempat lirih keluh dan sorak gembira bisa abadi menggema di lorong-lorongnya. Tempat aroma kehidupan bersemayam agar tidak hilang begitu saja.

    Di stadionlah hantu-hantu pemain dari masa lalu bisa terus hidup untuk menjaga angan-angan dan kenangan. Tempat mimpi bisa dipersonifikasikan dan karenanya lebih mudah diperjuangankan.

    Menjadi tampungan bagi semua itu, stadion tak sekadar tempat menggelar pertandingan bola tetapi juga menjadi semacam ceruk spiritual bagi para pemain dan suporter. Tempat pemain dan suporter bisa meringkuk nyaman, mengais, memperbaharui dan memperteguh janji-janji kesetiaan mereka.



    Highbury telah menjadi ceruk itu, tumbuh dari sebuah eksistensi kehidupan, sebuah visi akan klub bernama Arsenal. [Lihat artikel "Kisah Perebutan Stasiun Kereta yang Menyulut Permusuhan Spurs-Arsenal"]. Highbury adalah (nyawa) sebuah perwujudan semangat petualangan merambah wilayah baru. Ashburton Grove sementara itu baru menjadi sebuah penampungan megah tetapi belum menjadi rumah -- belum bernyawa – belum bertuah.

    Pengelola Arsenal sadar benar akan hal itu. Karenanya pemilihan Ashburton Grove sebagai tempat baru mereka, yang nyaris bersebelahan bukanlah tanpa pertimbangan. Mereka ingin melestarikan nyawa itu dengan tak bergerak terlalu jauh dari stadion lama. Mereka juga merasa perlu memajang pencapaian-pencapaian mereka dengan memahatnya di dinding tribun stadion untuk mengingatkan bahwa mereka masih Arsenal yang sama.

    Dengan upaya seperti itu pun tetap saja keluhan Thierry Henry muncul. Sebuah gambaran akan betapa sulitnya mentransfer nyawa (atau katakanlah energi) yang sudah terperam di satu stadion. Tidak mengherankan setiap kali ada pembicaraan dari sebuah klub untuk berpindah stadion selalu saja memunculkan pergolakan. Ada persoalan yang lebih dalam dari sekadar pindah.

    Kalau ada yang sempat berkunjung ke daerah Parkhead di Glasgow, Skotlandia, ada cerita rakyat yang terus hidup hingga kini di daerah itu: bagaimana batu bata demi batu bata dibawa dan ditata sendiri oleh ribuan sukarelawan keturunan Irlandia di Glasgow selama enam bulan untuk membangun Stadion Celtic Park. Sebuah kerelaan dan kebersamaan yang dimitoskan tetap hidup hingga kini. Fondasi dasar klub Celtic.

    Padahal kita semua tahu, Celtic Park yang sekarang bukanlah yang asli. Bukan yang dibangun oleh para sukarelawan itu. Celtic Park yang asli, lokasinya terletak tak jauh dari yang sekarang, hanya bertahan empat tahun sebelum pindah ke lokasinya yang sekarang di tahun 1892.



    Di Indonesia persoalan stadion ini sepertinya tidak menjadi persoalan serius. Setidaknya kesan yang saya dapat hanya dengan berkaca pada satu stadion yang semestinya layak dilestarikan sebagai cagar sejarah dan budaya.

    Dulu pernah satu ketika, tahun 1995-1996, saya sangat akrab dengan Stadion Persija (1921). Stadion yang kini telah rata dan disulap menjadi Taman Menteng.

    Saya memang tidak pernah menonton pertandingan sepakbola di tempat itu. Kebetulan saja dulu di pelataran parkir stadion yang tidak terlalu besar, ada beberapa warung makan tenda yang enak. Karena kantor waktu itu terletak sekitar 50 meter tegak lurus di seberang jalan, maka tempat itu sering menjadi tempat berburu makan siang. Mudah dan beragam.

    Tak membutuhkan waktu lama untuk kemudian kenal dengan beberapa orang yang seperti menjadi penghuni stadion itu. Semacam penjaga tidak resmi. Saya sering iseng minta izin untuk boleh masuk, melihat-lihat, dan sekadar duduk duduk bengong di teras tribun yang lembab.

    Ada yang menyenangkan masuk ke stadion bola yang kosong. Ketika tidak ada sorak sorai, kegembiraan berlebihan – juga kesedihan yang tak masuk akal--, dan tentu saja sumpah serapah. Di stadion bola yang kosong ada sunyi yang bercerita.

    Mungkin karena dalam sunyi, jujur lebih mudah hadir. Mungkin karena dalam sunyi, yang tertutup tak enggan untuk membuka diri. Dalam sunyi, stadion bola seperti membiarkan diri untuk dilongok rahasia-rahasianya.

    Dan di Stadion Persija itu, cat yang memudar, tembok yang mengelupas, lapangan yang tak terawat, pintu yang tak bisa ditutup dengan sempurna, fasilitas untuk penonton yang terbengkelai, pagar yang berkarat semuanya berkisah tanpa diminta. Lirih mungkin, tapi tak berkhianat: rumah yang merana dan tak terawat. Alih-alih dirawat, kini bahkan tidak ada sama sekali.

    Mengingat-ingat hal itu, kini saya mengerti mengapa sepakbola di negeri ini sangat sulit maju—jalan di tempat—atau bahkan mundur. Kalau untuk merawat stadion (rumah) saja, yang menjadi ceruk spiritual-nyawa-perawatan kehidupan, tidak dilakukan apa yang bisa diharapkan? Belum lagi persoalan pembinaan? Belum lagi persoalan administrasi? Belum lagi persoalan pengelolaan? Belum lagi persoalan…….?

    Ah sudahlah!



    ====

    * Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68

    (a2s/cas)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game