Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pangeran Siahaan

    Cristiano Ronaldo, Michael Phelps, dan Superman yang Butuh Bantuan

    Pangeran Siahaan - detikSport
    Foto: REUTERS/Carl Recine Foto: REUTERS/Carl Recine
    Jakarta - Olimpiade Beijing 2008. Michael Phelps dalam misi untuk menjadi Olympian terhebat dalam sejarah. Ia ingin meraih 8 medali emas dalam 1 Olimpiade. Belum pernah ada yang melakukannya dalam sejarah. Phelps adalah atlet renang terhebat di dunia dan ia tak terhentikan di dalam kolam. Persiapannya mantap, termasuk memecahkan berbagai rekor dunia seperti kulit kacang.

    Namun mimpinya hampir sirna ketika perburuan medali emasnya baru sampai di medali kedua dalam nomor 4 x 100 m gaya bebas. Phelps adalah perenang pertama tim Amerika Serikat dan ia bahkan tertinggal dari perenang Australia saat gilirannya berakhir. Amerika unggul berkat perenang kedua, namun memasuki selepas perenang ketiga, mereka tertinggal jauh dari Prancis yang memiliki pemegang rekor dunia, Alain Bernard, sebagai perenang terakhir. Amerika hanya punya perenang veteran yang tak begitu populer, Jason Lezak, sebagai perenang terakhir.

    Melihat timnya tertinggal hampir separuh badan, tentu Phelps ingin sekali terjun kembali ke kolam. Tapi sayangnya renang estafet tak seperti itu. Mimpi Phelps menjadi Olympian terhebat sepanjang masa tergantung kayuhan tangan perenang gaek yang, sialnya bagi Phelps, menjadi rekannya hari itu.

    Mimpi Phelps hampir buyar ketika memasuki 25 meter terakhir, Lezak masih tertinggal cukup jauh. Namun yang terjadi berikutnya adalah insiden paling dramatis dalam sejarah Olimpiade. Entah mendapatkan tenaga dari mana, tiba-tiba Lezak menggila dan mengikis ketertinggalannya. Menjelang finis, posisinya sejajar dengan Bernard, sang pemilik rekor dunia. Ketika menyentuh finis, Lezak duluan. Waktu menunjukkan selisih 0,08 detik. Yang termepet dalam sejarah renang Olimpiade.




    Phelps meneruskan pemburuan 8 medali emasnya dan sukses mencapainya di akhir Olimpiade. Namun begitu vital medali emas kedua yang ia dapatkan. Lebih kritis lagi karena tak peduli betapa hebatnya Phelps, ia harus bergantung pada orang lain pada hari itu. Kekuatan dirinya sendiri tak berarti banyak. Ia butuh orang lain. Ia butuh Jason Lezak.

    Kita semua kembali diyakinkan. Superman pun butuh sekondan.


    ***

    Ketika Cristiano Ronaldo ditarik keluar dengan bersimbah airmata di menit 25 dalam partai final Euro 2016 kontra Prancis, ia secara tak sadar berada di zona yang sama dengan Phelps pada 4 x 100 m di Beijing. Zona di mana manusia setengah dewa seperti mereka berkurang kadar kedewaannya. Seperti halnya Phelps, Ronaldo punya ambisi selangit. Ia ingin menjadi orang yang memberikan trofi internasional pertama bagi negaranya. Tak ada yang pernah melakukannya bagi Portugal. Tak juga Eusebio. Demikian pula dengan Luis Figo.

    Ketika Cristiano Ronaldo ditandu keluar lapangan, ia tahu betul bahwa untuk mencapai cita-citanya tersebut, ia membutuhkan orang lain. Tidak satu atau dua, tapi sebelas pemain di mana Ia tak akan jadi bagian di dalamnya hingga penghujung pertandingan. Bagi seorang pemain sepakbola biasa saja, keluar prematur dari lapangan saat final adalah kekecewaan besar. Entah apa yang dipikirkan Ronaldo. Bisa jadi ia mengutuk Tuhan.

    Keluarnya Ronaldo ini jelas membuat pelatih Fernando Santos pusing tujuh keliling. Terpaksa ia mengubah strategi permainannya. Sebelum sudah gamblang bahwa dengan keberadaan Ronaldo dan Nani, mereka akan senantiasa melancarkan serangan balik dari sisi sayap sambil memberikan kesempatan pada Renato Sanches yang berguna dalam offence dan juga defence.

    Santos memasukkan Ricardo Quaresma, seorang mantan wonderkid yang belakangan ternyata tidak wonder-wonder amat karirnya. Ada semacam momen puitis ketika Quaresma masuk. Sejak ia mencuri perhatian ketika masih remaja bersama FC Barcelona, Quaresma selalu digadang-gadang sebagai calon pemain terbaik Portugal di masa depan. Sebuah predikat besar yang tak pernah ia penuhi maknanya. Akan jadi penggenapan nubuatan jika gol kemenangan dicetak Quaresma.

    Pergantian pemain berikutnya adalah menarik Adrien Silva dan memasukkan Joao Moutinho. Santos menginginkan ada kaki-kaki yang segar di babak kedua agar lebih kilat dalam serangan balik. Moutinho juga punya potensi untuk tampil sebagai sosok puitis. Ia gagal penalti di Euro terdahulu yang membuat Portugal harus kalah dari Spanyol. Jika kemenangan datang dari kaki Moutinho, ini akan menjadi penebusan dosa terbaik.

    Ketika dua pergantian pemain pertama yang dilakukan Santos adalah mengganti pemain dengan pemain lain yang berposisi sama. Pergantian pemain ketiga dan terakhir mengisyaratkan tekadnya dalam pertandingan final ini yang bukan sekadar asal jangan kalah. Ia menarik Renato Sanches yang kelelahan dan mendorong masuk Eder. Ketika seorang gelandang digantikan oleh penyerang no 9 murni, ini jelas bukan itikad bertahan. Santos mencium anyir darah dalam skema Prancis dan ia ingin menang.

    Anyir darah yang diendus oleh Santos adalah ketidakmampuan Didier Deschamps dalam mengonversi dominasi penguasaan bola Prancis menjadi sesuatu yang lebih produktif dan berkualitas. Tak ada guna menyerang dengan gencar bila tak ada gol.

    Secara retrospektif, Deschamps bisa dikritik karena telat beradaptasi apa-apa ketika skema 4-2-3-1 nya mentok. Namun dengan form Antoine Griezmann yang sedang on fire, masuk akal jika Deschamps menurunkan formasi di mana Griezmann bisa nyaman bermain di posisi terbaiknya di belakang striker.

    Namun pilihan ini datang dengan beberapa minus. Ketiadaan N'Golo Kante membuat Paul Pogba diplot menjadi 2 holding midfielder bersama Blaise Matuidi. Situasi ini mengekang Pogba yang sama sekali tidak punya ruang untuk mengorkestrasi serangan seperti yang biasa ia lakukan di Juventus.

    Ketika Deschamps sadar polanya mentok, ia menarik Dimitri Payet keluar dan memasukkan Kingsley Coman sekaligus menjadikan 4 gelandang Prancis menjadi sejajar. Di titik ini Prancis punya 2 sayap murni dalam Coman dan Moussa Sissoko.

    Namun Deschamps yang konservatif enggan untuk merombak strateginya dengan radikal dan kalkulasi serta intuisi Santos mulai berbicara bahwa mencetak gol tidak mustahil. Penyerang murni dibutuhkan dan Eder adalah jawabannya.
    Foto: Getty Images/Michael Regan

    Masalahnya, ketika anda diberikan pertanyaan dan jawabannya adalah Eder, sesungguhnya itu bukanlah jawaban yang meyakinkan. Bagaimana tidak, Eder adalah striker reject yang di Swansea City bahkan dianggap versi KW dari Bafetimbi Gomis. Usai dibeli dari Braga musim lalu, Swansea merasa bahwa Eder lebih berguna di tempat lain dan ia dipinjamkan ke Lille dan kemudian dipermanenkan di akhir musim.

    Sebagai striker, Eder tidak terlihat begitu garang. Dengan tinggi 190 cm, posturnya tinggi. Namun tidak disertai dengan massa otot yang terlalu besar. Terkadang Ia terlihat seperti center tim basket kampus yang kurang minum suplemen. Torehannya golnya pun sebelumnya hanya 3, semuanya tercipta bukan di pertandingan kompetitif.

    Namun kemudian Eder mencetak gol yang diduga-duga ketika tendangannya tak terjangkau oleh Hugo Lloris di menit 109. Ini adalah momen yang seharusnya di-trademark oleh Angelos Charisteas usai 2004. Sang pemain reject yang tak sekalipun mencetak gol bagi Swansea dalam 13 pertandingan malah membuat gol di partai terpenting dalam karirnya.

    Mungkin saja ini sekadar menjadi 15 Minutes of Fame bagi Eder. Bisa jadi setelah ini namanya hanya akan dicatat sebagai pencetak gol kemenangan di partai final dan tak lebih, seperti Charisteas. Bisa jadi ini adalah puncak karirnya dan semuanya akan menurun setelah ini, juga seperti Charisteas.

    Namun Eder tak peduli. Portugal pun tak peduli. Mereka juara Eropa. Cristiano Ronaldo pun tak peduli karena akhirnya ia mencapai tanah perjanjian. Ia memberikan trofi internasional kepada negaranya meski lewat kaki orang lain. Dalam diri Eder, Ronaldo menemukan Jason Lezak versinya sendiri.

    Lihatlah bagaimana Ronaldo memeluk Eder usai pertandingan. Ronaldo sekarang tahu bahwa membayar pajak bukanlah satu-satunya hal yang membuat dirinya merasa lebih baik.
    Foto: REUTERS/Carl Recine


    =====

    * Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIN Sports Indonesia. Akun twitter @pangeransiahaan


    (a2s/roz)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game