Taktik Sepakbola Bukan Pengetahuan Rahasia

[1]
Saat menjadi pelatih Persib Bandung, menjelang dimulainya Divisi Utama Perserikatan 1993/1994, Indra Thohir diragukan publik sepakbola Bandung. Thohir memang bukan orang baru di Persib. Sudah lama ia menjadi bagian staf pelatih Persib, termasuk saat Persib menjadi juara Perserikatan musim 1986 dan 1990. Hanya saja status Thohir adalah pelatih fisik. Ia juga bukan legenda pemain yang sepadan dengan nama-nama tenar seperti Risnandar Soendoro, Ade Dana, Encas Tonif atau Guru Omo. Dia hanya pemain amatir, mentok di tim lapis ketiga Persib, lalu memilih hengkang dari lapangan hijau untuk berkuliah.
Begitu dipercaya menjadi pelatih kepala, Thohir langsung menggebrak: mengubah pakem bermain 4-3-3 yang menghasilkan gelar juara musim 1986 dan 1990 menjadi 4-4-2. Perubahan itu menjadi perbincangan di Bandung, lebih tepatnya cibiran. Perubahan itu membuat Thohir bahkan didebat oleh Ketua Umum Persib saat itu, Ateng Wahyudi. Sialnya, demikian cerita Thohir, Persib kalah dalam laga uji tanding pertama di bawah kepemimpinannya.
Tekanan menghebat. Latar belakang Thohir yang hanya pelatih fisik, seorang dosen di fakultas olahraga, dan lebih mahir main golf dan dansa ketimbang bermain bola, kembali dipersoalkan. Namun Thohir bergeming. Ia tak mau kembali ke pakem 4-3-3 dan keukeuh dengan 4-4-2.
Beginilah Indra Thohir membangun argumentasinya: "Saya sudah tidak punya penyerang sayap yang kualitasnya seperti Djajang Nurjaman, Suhendar, Dede Rosadi dan Nyangnyang (deretan penyerang sayap 4-3-3 kala Persib jadi juara 1986 dan 1990). Djajang sudah pensiun dan bahkan menjadi asisten saya. Tidak perlu jadi pelatih untuk menyadari Persib tidak punya penyerang sayap mumpuni. Tanpa penyerang sayap bagus, tak mungkin saya pakai 4-3-3. Itu bunuh diri. Saya berpikir untuk memakai 4-4-2. Kebetulan ada penyerang dengan tipikal yang agak jarang untuk kultur Persib, yaitu Kekey Zakaria, yang tinggi dan bagus menahan bola -- itu cocok untuk 4-4-2."
Untunglah Ateng Wahyudi, godfather sepakbola Bandung saat itu, dapat diyakinkan. Thohir selamat dari pemecatan dini kendati tekanan tentu saja tak berkurang. Setelah itu semuanya menjadi sejarah: Persib menjadi juara Perserikatan edisi terakhir (1994) dan Liga Indonesia edisi perdana (1995) di bawah tangan dingin Thohir yang menggunakan 4-4-2.
Di sela sesi nonton bareng pemutaran video pertandingan final Liga Indonesia I pada 2013 silam, Thohir mengucapkan sesuatu yang patut disimak: "Taktik itu soal penalaran. Membaca situasi, mengetahui kekuatan dan kelemahan tim sendiri, lalu mengambil pilihan yang paling masuk akal. Saya bernalar, saya orang kampus yang biasa pakai otak. Mantan pemain, atau pelatih yang bersertifikat, kalau penalarannya nggak beres, ya, nggak akan bener memimpin tim."
[2]
Persoalan yang dihadapi Thohir menyangkut "kredensial" (diambil dari bahasa Latin, "credere", yang berarti "to believe"). Term "kredensial" merujuk pengakuan dari pihak ketiga yang memiliki otoritas tertentu bahwa seseorang memiliki pengetahuan dan izin yang diperlukan terkait bidang tertentu dalam pengetahuan. Secara fisik, kredensial dibuktikan melalui ijazah. Otoritas yang memberikannya bisa macam-macam: sekolah, perguruan tinggi, kampus, lembaga penelitian, lembaga profesi hingga intitusi agama.
Dalam perkembangannya, kredensial juga merujuk reputasi. Maksud reputasi adalah pengalaman/jam terbang seseorang dalam bidang tertentu. Kendati tak punya sertifikat/ijazah, selama yang bersangkutan punya pengalaman yang panjang dan berprestasi dalam satu bidang, orang akan menganggapnya punya kredensial.
Dalam hal sepakbola, persisnya dunia kepelatihan, kredensial bisa diukur dengan sertifikat pelatih (levelnya bertingkat, dari skala lokal hingga skala internasional). Kredensial ini menjadi syarat mutlak bagi siapa pun yang ingin menjadi pelatih sepakbola, apalagi jika tim yang hendak dilatih berada dalam piramida kompetisi.
Menariknya, dalam sepakbola, kredensial berupa sertifikat pelatih sering kali dianggap tidak cukup jika yang bersangkutan tidak punya latar belakang sebagai pemain sepakbola. Makin tinggi level yang bersangkutan saat menjadi pemain, kian hebat pula kredensial yang melekat padanya.
Makin rendah level karier pemain sepakbola, kredensialnya bisa saja kian diragukan. Apalagi jika tak pernah menjadi pemain sepakbola!
Di Eropa, persoalan jam terbang sebagai pemain sepakbola dalam dunia kepelatihan kian tidak relevan. Bukan berarti tidak penting, hanya saja trennya sudah mulai berkurang. Alasannya bukan karena kemunculan nama seperti Jose Mourinhho atau Andre-Villas Boas yang tidak punya karier profesional sebagai pemain. Alasan utama mengapa latar belakang sebagai pemain profesional sudah mulai tidak relevan adalah karena perkembangan sepakbola itu sendiri.
Kini, sepakbola sudah menjelma sebagai sebuah "disiplin pengetahuan", bukan semata "karier". Sebagai disiplin, tidak terhindarkan interaksinya dengan disiplin-disiplin yang lain. Sepakbola tidak lagi didekati semata-mata persoalan menendang bola, melainkan juga melingkupi soal-soal yang "jauh" dari urusan menendang: soal gizi, soal psikologi, soal manajerial, soal statistik, ilmu dagang/ekonomi, hingga teknologi.
Pengetahuan taktik saja tidak cukup untuk menjadi pelatih yang ulung. Selain taktik bisa dipelajari dalam sesi-sesi kursus kepelatihan, memimpin sebuah tim kini sudah menjelma menjadi pekerjaan 7 hari dalam sepekan. Di lapangan paling banter hanya 2-3 jam per hari. Sisanya? Di pusat kebugaran, di dalam sesi-sesi kelas, di ruang makan, di perpustakaan yang berjubel dengan data statistik, hingga di ruang editing video pertandingan. Itulah sebabnya muncul istilah "manajer", ia yang mengelola berbagai urusan sepakbola: dari taktik hingga jual beli pemain. Mustahil segalanya dilakukan sendirian.
Hanya mahir soal teknik menendang bola hanya akan membuat seseorang berakhir sebagai "pelatih" -- istilah bagi staf kepelatihan yang memimpin sesi-sesi latihan saja. Hanya jago dalam menilai bakat pemain akan membuat seseorang bisa mentok sekadar menjadi pemandu bakat.
Bukan maksud saya mengatakan bahwa pengalaman sebagai pemain profesional tidak dibutuhkan lagi. Tentu saja itu akan sangat berguna. Maksud saya adalah: hanya mengandalkan pengalaman sebagai pemain kini sudah tak memadai lagi. Seorang mantan pemain harus melengkapi dirinya dengan disiplin-disiplin yang lain, termasuk sesuatu yang sepintas tidak ada urusannya dengan menendang bola.
[3]
Mengambil sertifikat pelatih telah menjadi standar wajib bagi siapa pun yang ingin menjadi pelatih sepakbola. Tidak hanya itu, bahkan menjadi analis sepakbola pun sangat disarankan untuk mengikuti kursus-kursus kepelatihan. Gary Neville, seorang yang brilian dalam menganalisis namun (sejauh ini) jeprut sebagai manajer, juga mengajurkan rekan-rekannya yang menjadi penulis sepakbola untuk mengambil badge kepelatihan.
Persoalannya menjadi lain ketika sertifikat, juga karier sebagai pemain, dijadikan standar untuk menilai validitas argumentasi seseorang. Ketika argumentasi seseorang terkait taktik sebuah tim dipersoalkan hanya karena yang bersangkutan tidak pernah menjadi pemain dan tidak punya sertifikat pelatih, itulah praktik yang disebut sebagai credentialism: kultus kepada ijazah, pemberhalaan kepada sertifikat.
![]() |
Credentialism, kira-kira, bisa diwakilkan dengan contoh kalimat: "Aku profesor, maka argumentasiku sudah pasti benar. Kau lulusan SMA, sudah pasti argumentasi kau salah."
Kredensial, sekali lagi, seharusnya menjadi salah satu rujukan untuk memecahkan persoalan dengan mencari seorang yang dianggap pakar. Jika seseorang punya kredensial, diasumsikan ia dengan sendirinya adalah pakar. Tapi hanya berhenti di sana saja! Seorang pakar bisa salah berargumentasi, sebagaimana seorang awam dapat saja benar membangun argumen. Kekokohan argumentasi seseorang tidak ditentukan oleh selembar ijazah.
Dunia masih dipenuhi para pemuja credentialism, tidak terkecuali di Indonesia. Ini sangat berbahaya karena, terutama, ilmu pengetahuan diukur semata sebagai formalisme. Dalam bentuknya yang terburuk, credentialism bisa menjerumuskan ilmu pengetahuan semata sebagai doktrin dan para pemilik kredensial tak ubahnya pemimpin sekte yang segala tindak-tuturnya mutlak dianggap benar. Pasal 1: pemilik kredensial tidak bisa salah. Pasal 2: jika pemilik kredensial ternyata salah, maka kembalilah ke pasal 1.
Credentialism adalah gejala di mana-mana. Di Indonesia, misalnya, seorang PhD bisa dengan gampang menjadi pengamat. Lalu masuk televisi. Terus menerus, tiap minggu muncul di TV. Dianggap pakar karena sudah punya ijazah doktor ilmu politik. Tidak lagi dipersoalkan apakah yang bersangkutan masih rutin melakukan penelitian atau tidak, masih membaca buku-buku terbaru atau tidak, dan apakah masih menulis atau tidak. Tidak penting lagi proses bernalar di belakang layar, yang penting bicara dengan licin di televisi.
[4]
Di Eropa, tak sulit mengikuti kursus kepelatihan. Jadwalnya diumumkan, pendaftarannya pun terbuka. Tapi, situasinya tidak sepersis itu di Indonesia. Banyak yang ingin mengambil kursus kepelatihan, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Ada kesan tertutup.
Bukan hal aneh jika seseorang dipersulit saat mengikuti kursus kepelatihan. Seorang kawan, yang tidak punya latar belakang pemain sepakbola, berusia pertengahan 20an tahun, mengaku ditolak mengikuti kursus kepelatihan dengan alasan absurd: karena terlalu muda. Seorang kawan yang lain berhasil mengikuti kursus kepelatihan karena ditemani seseorang yang punya nama dalam kancah sepakbola lokal.
Ilmu taktik dan kepelatihan sepakbola terkesan sebagai sebuah disiplin tertutup, yang sulit diakses, dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengikutinya. Dalam kontelasi politik sepakbola Indonesia, rasa-rasanya, akses terhadap ilmu pengetahuan kepelatihan yang bersertifikat dirawat sedemikian rupa lingkarannya. Pengalaman sejumlah kawan menyebutkan, tidak mudah mengakses kursus-kursus kepelatihan jika tak punya rekomendasi.
![]() |
Dalam iklim ketertutupan itu, menjadi menggelikan ketika seseorang diabaikan argumentasinya hanya karena tidak punya sertifikat pelatih. Per se, jika itu dilakukan dengan ketat, bahwa argumentasi seseorang terkait sepakbola tidak pantas didengarkan hanya karena tak punya sertifikat pelatih, maka hanya sangat sedikit orang yang boleh berargumen. Sepakbola dengan sendirinya menjadi "pengetahuan berbahaya" yang tidak boleh dibicarakan oleh sembarangan orang. Hanya pakar yang boleh berbicara, awam tidak.
Sepakbola tak ubahnya buku Poetics karya Aristoteles yang mengajarkan tentang pentingnya komedi. Karena komedi dianggap berbahaya bagi kemapanan doktrin, karena tawa dianggap membuat orang bisa lepas kendali, maka buku kedua Poetics secara sistematik dilenyapkan. Dalam buku karya Umberto Eco, The Name of the Rose, seorang biarawan katolik bahkan melumuri buku Poetics dengan racun, sehingga siapa pun yang membacanya pelan-pelan akan terinjeksi racun, dan akhirnya mati.
Situasi ini tidak bisa dibenarkan terutama karena akan membuat sepakbola hanya akan dikuasai oleh orang yang itu-itu saja. Jika sirkulasi kepemimpinan dan kepengurusan sepakbola di Indonesia, dalam hal ini PSSI, hanya berputar di orang-orang yang sama belaka, situasi itu bisa dijelaskan dengan cara itu tadi: melihat soal mudah tidaknya mengakses kursus-kursus kepelatihan sepakbola. Keduanya beririsan, satu sama lain saling menjelaskan situasi yang terjadi.
[5]
Jadi, apakah awam boleh menilai taktik sebuah tim? Sangat boleh. Apakah seorang pemain catur berhak menilai strategi sebuah kesebelasan? Sangat berhak.
Jangan khawatir dianggap sotoy. Saya selalu percaya sotoy adalah awal mula pengetahuan. Dengan syarat: seorang yang sotoy bersedia menerima kritik dan terus menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dengan banyak membaca, rakus menonton pertandingan, kerap berdiskusi.
Awam justru punya situasi yang lebih sulit: ia harus benar-benar meyakinkan dalam berargumen karena ia tak punya pengalaman sebagai pemain dan tak punya sertifikat pelatih. Ini situasi sulit, tapi justru bagus karena dipaksa terus menerus meningkatkan mutu argumentasinya karena ia tak bisa berdalih begini: "Aku mantan pemain nasional, kau siapa? Aku pelatih bersertifikat, kau siapa?"
Sepakbola bukan ilmu pengetahuan yang letaknya ada di puncak gunung. Dan kita semua bukanlah Prometheus yang akan dihukum para dewa karena mencuri api pengetahuan di puncak Gunung Olympus.
====
*Keterangan foto: Arrigo Sacchi, pria yang tidak pernah menjadi pemain sepakbola profesional tapi justru menjadi salah satu pelatih yang paling dihormati.
*Penulis adalah esais sekaligus pendiri dari Pandit Football Indonesia; beredar di dunia maya dengan akun @zenrs.
*Tulisan ini adalah epilog dari buku 'Taktik Pandit Football Indonesia'. Buku dengan format digital tersebut dapat diunduh secara gratis di tautan berikut: Buku Kumpulan Taktik Sepakbola.
(roz/roz)