Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Dalipin

    Leicester City, Ketidaksetaraan, dan Canis Major

    Yusuf Arifin - detikSport
    Foto: Getty Images/Matthew Lewis Foto: Getty Images/Matthew Lewis
    Jakarta - Kesetaraan adalah hal yang tidak natural dalam kehidupan. Sebuah omong kosong. Utopia. Mencoba untuk menciptakan kesetaraan hanya akan berakhir kegagalan.

    Namun sebagai sebuah ide, kesetaraan  entah mengapa menentramkan hati. Sehingga kita, manusia, paling senang menciptakan sistem dan lembaga yang beraspirasi kesetaraan.

    Dalam politik kita memuja demokrasi: satu derajat suara untuk semua. Tetapi kita tahu demokrasi sesungguhnya menciptakan satu kelas aristokrasi penguasa. Ketidaksetaraan.

    Pendidikan adalah sebuah rekayasa sosial (social engineering) dengan filosofi dasar kesetaraan, kesempatan untuk semua. Tetapi sejujurnya ditingkat praktis itu tidak terjadi. Banyak institusi pendidikan yang dari segi finansial ataupun strata sosial hanya bisa dimasuki oleh kalangan yang mempunyai privilege. Juga secara alami pendidikan menyortir dan mengedepankan yang lebih berbakat, lebih pintar, dll. Lagi-lagi ketidaksetaraan.

    Bahkan agama dengan halus mengakui bahwa kesetaraan tidak termungkinkan. Karenanya ajaran-ajaran agama mengambil pilihan kedua, dengan sangat mementingkan ungkapan kasih sayang, perhatian, dan upaya penyejahteraan kaum fakir, miskin, terpinggirkan, dan yang tidak beruntung dalam kehidupan.

    Kisah keteladanan sosial dalam agama seringkali berinti pada pembebasan dari ketidaksetaraan. Tidaklah kebetulan kalau para nabi, rasul, dan pendiri agama sebagian besar berasal dari kaum papa. Ada makna simbolik tentang aspirasi kesetaraan di dalamnya.

    Kalaupun pembebasan dari ketidaksetaraan (dan ketertindasan) lewat uluran tangan kasih sayang tak berhasil maka kita terbiasa dengan kisah kepahlawanan mereka yang lemah melawan yang kuat. Daud melawan Goliath adalah contoh klasik.

    Itu mungkin sebab kita selalu senang mendukung mereka yang masuk dalam kategori underdog -- yang di bawah, kekurangan, tertindas atau karena satu dan lain hal terpinggirkan—tetapi tak henti berusaha. Kita selalu menunggu munculnya kisah-kisah (keberhasilan) kalangan underdog. Karena kisah mereka menghidupkan harapan dalam keputusasaan. Kisah mereka menutupi ketidakmampuan kita untuk secara sistemik mengatasi ketidaksetaraan.

    Kisah sukses Leicester City untuk menjadi juara liga Primer Inggris adalah salah satunya. Leicester City yang kecil, miskin, tidak fashionable, dengan pemain dan pelatih buangan, dan muara sekian macam ketidakberuntungan hidup. Modal untuk tidak semestinya menjadi juara tetapi degradasi.



    Leicester City adalah dongeng modern tentang Daud lawan Goliath. Leicester City adalah pendar baru rasa (keadilan) kemanusiaan. Dan seperti halnya kisah Daud dan Goliath yang menjadi dongeng, kisah tentang Leicester City akan tumbuh (dan akan mendapat imbuhan-imbuhan yang fantastis) di masa yang akan datang.

    Sekarang saja, belum 24 jam setelah Leicester City memastikan juara, imbuhan-imbuhan fantastis lewat kata-kata superlatif sudah mulai bertebaran.

    Pendukung dan mantan pemain Leicester City yang juga mantan striker tim nasional Inggris lainnya Gary Lineker menyebut, "Kejutan olahraga terbesar sepanjang hidup saya."

    "Kisah (sepakbola) terbesar sepanjang masa," kata pengamat bola dan mantan striker tim nasional Inggris Alan Shearer lebih bombastis.

    Bekas pemain Leicester Robby Savage malah menyebut dalam konteks sepakbola domestik, Inggris, pencapaian Leicester City menjadi juara Liga Primer tidak akan terlewati kemasyhurannya sampai kapanpun.

    Atau kalau kita percaya pernyataan politisi maka, "Inilah hari terhebat dalam sejarah kota Leicester," kata anggota DPR dari Leicester Timur, Keith Vaz.

    Satu-satunya yang berkomentar tenang dan mampu menyembunyikan kegegapgempitaan malah sang pelatih, Claudio Ranieri.

    "Saya orangnya pragmatis. Saya tak memimpikan ini semua ketika datang. Saya hanya ingin menang dari satu pertandingan ke pertandingan lain dan membantu pemain untuk memperbaiki diri. Tak pernah saya berpikir tentang akhirnya akan kemana," katanya nyaris tanpa emosi.

    Tetapi yang paling tepat adalah reaksi dan kesimpulan dari Presiden FIFA Gianni Infantino : "Cerita Indah. Dongeng." Dan bukankah demikian dengan dongeng itu : cerita (khayali) luar biasa yang berfungsi untuk menyampaikan ajaran moral tertentu?

    Karenanya pengemar sepakbola Inggris, kecuali mungkin pendukung Tottenham Hotspur, seperti bersorak bersama menyambut hal yang tak terduga ini. Mereka yang merasa senasib dengan Leicester bertumbuh harapan bahwa ketidaksetaraan yang sistemik maupun alami bisa dikalahkan. Sesementara apapun itu.

    Sedang pendukung klub-klub kaya dan besar mungkin lebih besar dilanda euphoria kelegaan, bahwa bukan sesama klub besar dan kaya lain yang memenangkan. Sehingga tidak menambah kejayaan saingan. Leicester City adalah semacam musuh bersama yang tidak membahayakan (harmless common enemy) eksistensi klub-klub besar dan kaya. Underdog. Tak apalah kalau mereka meraih sedikit kejayaan.



    Di tahun 1928 penyair Amerika, Robert Frost, menulis sebuah puisi berjudul Canis Major (anjing besar). Berkisah tentang dirinya yang menghabiskan semalaman menatap hamparan langit di belahan bumi utara untuk menyaksikan rasi bintang Canis Major yang seolah berdansa tanpa henti dari timur ke barat. Frost merasa menjadi anjing kecil (underdog), mengggapai-gapai ke langit ingin bersama Canis Major mengarungi luas semesta. Di puisi tersebut ia menuliskan empat bait penutup:

    (I'm a poor underdog,)
    Aku anjing malang yang terbuang
    (But tonight I will bark)
    Tetapi malam ini aku akan menyalak
    (With the great Overdog)
    Bersama Anjing Besar
    (That romps through the dark.)
    Yang berkejaran mengarungi kegelapan.

    Semalam Leicester City telah menyalak, berdansa, berkejaran mengarungi kegelapan malam bersama Canis Major. Leicester City sang underdog yang sepanjang waktu terpuruk di bawah, selalu ditampar mimpi dan angan-angan, dan hanya bisa menyaksikan klub-klub besar berebut kejayaan..... kini tak lagi.

    ====

    * Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68

    *Foto Canis Major: www.davidmalin.com

    (roz/din)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game