Setiap Kali Musim Baru Akan Tiba

Ketika filosof Jerman, Herbert Marcuse, mengritik masyarakat industrial modern Barat yang membuat individu kehilangan individualitasnya di tahun 1960an, sepakbola jelas tidak ada dalam benaknya.
Lewat buku One Dimentional Man, ia sedang gelisah melihat lumpuhnya kemerdekaan individu berhadapan dengan hegemoni sebuah sistem (kapitalisme-industrial). Dalam bahasa Marcuse, tumpulnya kemampuan berpikir kritis dan layunya semangat untuk melawan, ketika sistem produksi dan konsumerisme menjadi panglima dalam hidup.
Marcuse seperti putus asa. Ia melihat hegemoni sistem industrial modern mampu menyihir dan memaksa manusia untuk tunduk pada ukuran-ukuran pencapaian kemanusiaan yang semata dihitung dari output produk dan kemampuan memenuhi kebutuhan material yang (lebih sering) tidak esensial.
Lewat perkembangan teknologi yang makin sempurna, kerapian manajemen industri, gelontoran informasi media masa, dan jejalan iklan --ciri khas masyarakat industrial modern-- manusia digiring dan dihipnotis untuk mengejar kebutuhan-kebutuhan semu. Sebuah penggiringan menuju cul de sac alam pikir bahwa materi (produk) adalah segalanya.
Kesemuanya itu, bersetia pada tradisi Marxian, dianggap menggantikan hal-hal semacam agama, negara-bangsa, cinta, kesetiaan, dan hal-hal romantik-melankolis yang menjadi alat penyaru motif sesungguhnya: metode produksi. Sebuah metamorfosa alat yang bahkan jauh lebih efektif dari sebelumnya.
Dalam skema sepakbola sebagai sebuah industri seperti sekarang, pisau analisa Marcuse kembali menemukan sasaran. Memberi gambaran mengapa mereka yang luruh dalam industri sepakbola modern tumpul kemampuan berpikir kritisnya dan layu semangatnya untuk melawan sistem yang hegemonik dan represif.
Kita mengerti sepakbola sebagai sebuah industri tidak jauh berbeda dengan industri lain. Ia sebuah mekanisme produksi biasa saja.
Seperti juga masyarakat industrial modern, sepakbola juga memanfaatkan perkembangan teknologi yang makin sempurna, kerapian manajemen industri, gelontoran informasi media masa, dan jejalan iklan untuk bisa berproduksi.
Yang membedakan adalah industri sepakbola begitu lentur untuk menyerap nilai-nilai produksi tanpa harus mengubah semangat dasar sepakbola yang tribalistik --chauvinisme kelompok-- yang sesungguhnya immaterial dan intangible (tak terlihat).
Justru (pelestarian) tribalisme adalah produk utama industri sepakbola. Tanpa semangat tribalistik sepakbola kehilangan elan sekaligus alasan metode produksinya.
Merchandise (dari kaus replika, gantungan kunci, gambar tempel, poster dan lain sebagainya), tur dunia, pertandingan kompetisi, hingga hak siar, dan segala sesuatu yang bisa dimaterialkan dan mendatangkan adalah varian produk dari dan sekaligus upaya untuk melestarikan tribalisme itu.
Tetapi bagaimana semua ini bisa terjadi? Bagaimana semua ini termungkinkan?
Di sini, siapapun yang memperkenalkan atau memasukkan ke dalam dunia sepakbola istilah dan penerapan kata profesional dan profesionalisme --meminjam konsep dari masyarakat industrial modern-- harus diacungi jempol. Jenial bahkan. Tanpa kedua istilah itu tidak akan ada industri sepakbola.
Menjadi seorang yang profesional kira-kira adalah seseorang yang menawarkan jasa sesuai dengan peraturan secara sepenuh hati dan digaji untuk jasanya. Semakin bagus dalam menjalankan jasa, semakin tinggi gaji yang didapat.
Profesional dan profesionalisme menjadi jembatan yang mengesahkan manusia (pemain) untuk berpindah-pindah tanpa harus mengkhianati tribalisme. Istilah yang membebaskan pemain dari kungkungan tribalisme tanpa harus mengkhianati tribalisme.
Pemain mengabdi pada profesi bukan pada rasa cinta dan kesetiaan (loyalitas) ke sekelompok tertentu (klub). Layaknya prajurit bayaran.
Bukan berarti cinta dan kesetiaan atau semacamnya tidak ada pada pemain. Tetapi mengabdi pada profesi adalah norma dalam industri sepakbola.
Rata-rata pemain menerima begitu saja. Ada sedikit pemain yang mencoba kritis dan memberontak. Dari yang sangat sedikit itu, sebagian besar akhirnya tunduk juga dengan sistem yang ada. Atau malah ikut memanfaatkan sistem untuk meningkatkan nilai tawar mereka. Kalau cinta dan kesetiaan tidak cukup dihargai, setidaknya substitusi materi bisa mereka dapatkan. Bukankah itu pula goda dari masyarakat industrial modern?
Profesionalisme karenanya juga memberi pembebasan bagi (pendukung) klub untuk menerima orang dari luar membela kepentingan tribalistik mereka. Chauvinisme kelompok tidak lagi harus diperjuangkan oleh mereka yang setuju dengan nilai-nilai kelompok itu, tetapi oleh mereka para profesional.
Tentu bisa saja klub menolak tunduk pada sistem dan hanya mau diwakili oleh pemain yang dianggap dari kalangan mereka sendiri. Tetapi kita tahu itu semakin jarang terjadi dan syahwat chauvinistik kelompok biasanya jarang bisa terpenuhi.
Industri sepakbola bahkan melangkah lebih jauh lagi dibanding sektor industri lain. Mereka melakukan regulasi agar secara periodik perpindahan tenaga produksi itu bisa terjadi: musim transfer. Lagi-lagi ini jenial.
Anda tahu ini bukan semata persoalan jual-beli pemain. Ini juga pemerataan kekayaan antarkapitalis (pemilik modal). Sekaligus bagian dari metode produksi.
Klub yang lebih kecil, misalnya, bisa meraup keuntungan dengan menjual aset pemain potensial ke mereka yang lebih kaya (pemilik modal lebih besar). Atau daur ulang pemain yang sudah menurun untuk tetap bisa diperas tenaganya ke klub ataupun liga (metode produksi) yang katakanlah lebih kecil.
Tentu permutasinya tidak harus seperti itu. Seringkali lebih rumit. Tetapi secara garis besar demikianlah gambarannya.
Musim transfer juga merupakan sebuah pertunjukan. Drama. Ketika mimpi dan harapan disemai. Ketika cinta dan kesetiaan (yang sesungguhnya semu) diuukur dan dipertontonkan. Ketika keseolah-olahan diperbesar atau diperkecil sesuai keperluan. Ketika imej sebuah klub dipertaruhkan.
Anda bisa menilai sendiri misalnya proses Iker Casillas, Raheem Sterling, Xavi, Memphis Depay, dan pemain-pemain lain berpindah klub. Cara melihat perpindahan pemain-pemain itu bisa dari sekian macam angle tergantung dari posisi anda. Bisa negatif, positif, pragmatis, ideal, atau tak peduli.
Begitupun anda bisa menilai imej klub seperti apa bagi yang mereka terlibat dalam jual beli itu. Ataupun kemudian anda juga bisa meramal kemungkinan-kemungkinan ketika kompetisi benar diputar nantinya.
Semakin ramai perbincangan, semakin menggembirakan buat industri sepakbola. Semua bagian dari mesin industri sepakbola berputar kencang. Semua informasi hingga sekecil-kecilnya disebar habis ke semua pihak. Itu pertanda pasar yang bergairah. Menunggu saat panen tiba (ketika kompetisi benar berputar).
Karenanya, kalau anda pendukung klub sepakbola dari negara industri sepakbola, ya biasa-biasa sajalah dalam mendukung mereka. Dalam masyarakat industrial modern, sekali lagi, sepakbola adalah kamuflase dari sebuah metode produksi.
Bercurigalah dengan perasaan cinta, kesetiaan, melankolia, dan romantisme anda sendiri terhadap sebuah klub. Rawatlah sedikit ruang sinis dalam pikiran. Supaya kita tidak mudah diperah oleh perasaan kita sendiri. Tumpul dan layu diserap pusaran industri sepakbola.
Selamat menyambut musim 2015/2016.
====
* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68