Para Juru Tafsir yang Gamang
"Internet telah membuat otoritas wartawan sebagai penyebar informasi, menentukan mana yang penting, dan juru tafsir (akan apa yang terjadi di lapangan bola dan pernik-perniknya) goyah," kata seorang wartawan sepakbola senior harian Inggris, The Independent, di sebuah pertemuan.
"Akses untuk menyebar, menafsir dan menjadi broker (makelar) informasi bukan lagi semata di tangan kami. Awam, penggemar bola, atau siapa saja bisa melakukannya. Demokratisasi dalam arti sesungguhnya."
Wartawan Independent itu sedang menjadi pembicara bersama seorang filosof asal Universitas Cambridge penggagas Becksistensialisme (pengaruh David Beckham dalam dunia sepakbola dan kehidupan). Sebuah forum kecil saja. Kelewat kecil malah. Tak lebih 20 orang yang hadir di pertemuan awal Desember 2013 itu.
Sebuah pertemuan para penggemar -- lebih tepatnya mereka para penulis atau yang merasa menjadi penulis atau beraspirasi untuk menjadi penulis -- bola. Sekumpulan orang yang ingin menyerap gagasan, pemikiran, pengalaman dan kiat menulis dari kalangan profesional dan akademisi.
Tempatnya tak kalah sederhana: salah satu ruang dari gedung tua tiga lantai yang diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Terjepit tak menonjol di antara deret ratusan rumah di London Utara, satu stasiun kereta api bawah tanah jauhnya ke arah barat dari Stadion Emirates.
Anda pasti mengerti, pernyataan tadi tidak mengejutkan, tidak baru, dan tepat tidak hanya untuk sepakbola. Kita dan kehidupan kita pada dasarnya selalu diguncang oleh temuan-temuan (ilmu pengetahuan dan teknologi) baru yang memporak-porandakan tatanan yang mapan.
Dan dunia sudah lama sadar, internet telah memporakporandakan tatanan bagaimana informasi diakses, disebar, dan ditafsirkan. Internet bukan hanya menebar kegamangan dan kegugupan bagi para juru tafsir kehidupan, tetapi juga memaksakan kemungkinan-kemungkinan baru, terlepas kita suka atau tidak.
Ambil contoh yang paling gampang saja: bidang keagamaan. Ketika internet memberi kemudahan bagi siapa saja untuk mengakses teks-teks kegamaan, tiba-tiba otoritas eksklusif kelompok rohaniawan menjadi relatif. Orang bisa dengan mudah memperbandingkan, menafsir sendiri, dan menyebarkan apa yang mereka yakini tanpa harus tergantung dengan para rohaniawan.
Para rohaniwan, tak peduli agamanya, boleh berteriak-teriak bahwa tidak semua orang mempunyai cukup ilmu untuk memahami dan menafsir teks-teks agama. Bisa jadi mereka benar. Tapi apakah kemudian proses "demokratisasi" informasi itu terhenti? Tidak. Satu-satunya pilihan bagi para rohaniwan adalah menerima proses demokratisasi itu dan menyediakan diri sebagai semata juru tafsir alternatif.
Dalam sejarah Inggris, ini seperti ketika Raja James I memerintahkan penerjemahan Injil dari bahasa Yunani, Aramaik, Ibrani, dan Latin ke bahasa Inggris di awal tahun 1600. Ketika selesai, orang kebanyakan tiba-tiba tidak lagi memerlukan pendeta dan semacamnya untuk mengakses informasi yang ada dalam Injil. Peran religious broker (makelar-juru tafsir agama) ataupun cultural broker (makelar-juru tafsir budaya) untuk membumiinggriskan pemahaman kegamaan praktis susut.
Itu sebab ketika 200 tahun sebelum Raja James I, penggagas Kristen Protestan asal Inggris semacam John Wycliffe dan William Tyndale melakukan penerjemahan, Injil mereka dilarang dengan tuduhan bidah-sesat-menambahi ajaran atau juga mengurangi.
Padahal salah satu alasan sesungguhnya adalah kekhawatiran dari gereja bahwa massa akan mempunyai akses langsung ke teks keagamaan dalam bahasa yang mereka mengerti. Yang ujung-ujungnya akan menganulir peran/kekuasaan pendeta sebagai juru tafsir satu-satunya. Hilangnya kekuasaan/hak istimewa (privilege) milik gereja.
Seorang anak muda pendukung Chelsea yang hadir di pertemuan itu menjadi contoh pembuktian pernyataan wartawan Independent tadi. Ia mengelola sebuah situs yang isinya adalah analisis pertandingan dan ramalan-ramalan pertandingan yang akan dijalani Chelsea. Sebuah situs sukarela.
Ia tidak mempunyai hubungan dengan klub Chelsea. Ia juga tidak mempunyai akses ke manajer, pemain, ataupun pegawai Chelsea. Satu-satunya hubungan adalah bahwa ia seorang suporter kebanyakan Chelsea.
Tetapi yang bersangkutan adalah seorang mahasiswa statistik di sebuah universitas di London. Ia memanfaatkan ilmunya untuk mengumpulkan data tentang segala sesuatu Chelsea dan calon lawannya untuk membuat tafsir dan ramalan.
Sedemikian sering ramalan-ramalannya menjadi kenyataan, situsnya menjadi populer dan rujukan sesama pendukung Chelsea. Apapun tulisan yang ia unggah selalu menjadi perhatian. Dalam beberapa hal malah lebih dipercaya ketimbang yang resmi keluar dari Chelsea sendiri. Sedemikian populernya, sebuah rumah taruhan akhirnya mensponsori situsnya. Bahkan Chelsea sendiri ikut pula memantau pendapat-pendapatnya.
Cerita lain dari pertemuan itu adalah dua orang perempuan muda pengelola sebuah situs sepakbola amatir perempuan di Inggris. Sepopuler-populernya sepakbola di Inggris, sepakbola perempuan tidak pernah dianggap terlalu serius. Informasi hanya bisa didapat dari FA, klub sepakbola perempuan profesional, dan media kalau benar-benar ada sesuatu yang besar. Porsinya teramat sangat kecil.
Kedua perempuan penggemar sepakbola itu frustasi. Maka mereka gagaslah sebuah situs yang menyediakan segala sesuatu informasi mengenai sepakbola amatir perempuan Inggris. Sebuah situs alternatif. Dari turnamennya, kapan digelarnya, hasilnya, keberadaan klub sepakbola perempuan amatir, hingga jaringannya (yang praktis dibangun oleh mereka berdua).
Di awal-awal, kedua perempuan itu harus keliling Inggris sendiri untuk mengumpulkan informasi. "Kalau gunung enggan datang ke Muhammad, maka Muhammad yang akan datang ke gunung tersebut," begitu bunyi sebuah pepatah lama Inggris. Biaya keluar dari kantong mereka sendiri.
Konon, menurut cerita kedua perempuan itu, sedemikian rapinya jaringan yang mereka bangun dan lengkapnya informasi yang mereka sediakan, FA bahkan membuka informasi dari situs mereka untuk mengetahui dunia persepakbolaan perempuan amatir di Inggris. FA juga sedikit ikut mengucurkan dana untuk membantu. Beberapa perusahaan yang ingin membangun brand (citra-merek) yang berasosiasi dengan perempuan yang aktif dan sehat kini ikut mensponsori.
Entah benar atau tidak cerita kedua perempuan itu. Saya sendiri hingga sekarang belum pernah mencoba membuka situs mereka. Sejujurnya saya memang tidak tertarik dengan sepakbola perempuan.
Sama jujurnya dengan pengakuan bahwa saya sebenarnya tidak tertarik untuk mendatangi pertemuan tersebut. Kalau bukan karena ajakan Andreas Marbun, salah seorang pendiri Pandit Football Indonesia yang waktu itu lagi belajar analisis data sepakbola di Prozone di Leeds, dan menginap di rumah saya di London, saya malas untuk pergi.
Jangan salah. Seperti yang sudah saya gambarkan, pertemuan semacam itu selalu menarik dan banyak pelajaran bisa dipetik. Tetapi sudah berulangkali saya menghadiri pertemuan serupa. Terkadang rasa bosan akan segala sesuatu terkait bola hinggap sangat kuat.
Namun demikianlah, malam itu kami hadir. Marbun, demikian saya memanggilnya, seperti tersuntik oleh antusiasme baru usai pertemuan tersebut. Dan saya sangat senang melihatnya.
Dalam perjalanan pulang, di kereta, tak henti-hentinya ia berbicara tentang mimpi-mimpi membangun jaringan komunitas sepakbola di Indonesia, mengadakan diskusi-diskusi seperti yang baru saja kami hadiri, bagaimana memajukan dunia sepakbola di Indonesia dengan sehat, potensi bisnis, menerapkan pendekatan ilmiah dalam sepakbola, dan lain sebagainya.
Ia (mungkin) bermimpi menjadi juru tafsir baru persepakbolaan Indonesia. Ia (mungkin) bermimpi menyumbangkan tenaga untuk sepakbola Indonesia yang berbeda dari yang selama ini ada. Ia melihat kemungkinan-kemungkinan baru.
Saya takluk. Saya hanya ingin segera sampai rumah, berlindung dari dingin kesumat awal Desember 2013 yang amat sangat, dan tidur.
====
* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68














