Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Dalipin

    Allardyce, Guardiola, dan Percakapan yang Tak Kunjung Usai

    - detikSport
    AFP AFP
    London - Untuk sebuah alasan yang bisa dimengerti, posisi ujung tombak, striker atau yang secara tradisional dikenal dengan nomor 9 selalu mendapat perhatian yang berlebih dibanding yang lain.

    Apa hendak dikata, kemenangan dalam pertandingan sepakbola bertumpu pada jumlah gol yang dicetak. Dan tugas itu jatuh pada mereka yang berada di garis paling depan penyerangan. Apalah guna punya seseorang di garis paling depan, paling dekat dengan gawang lawan, kalau tidak untuk itu?

    Kita mengerti, ia tidak bisa bekerja sendirian. Kita pun mengerti, gol juga bisa dicetak oleh mereka yang berposisi berbeda. Tetapi itu tidak menghapus tanggung jawab utama ujung tombak tim, dan bukan pula pembenaran bagi mereka untuk kemudian mengatakan, "saya hanya bagian dari tim dan meraih kemenangan (mencetak gol) adalah tugas bersama."

    Tugas bersama tentu saja, tapi semua punya porsi tanggung jawab masing-masing. Untuk contoh ekstrim, kiper tentu saja tanggung jawab utamanya bukanlah mencetak gol melainkan menjaga gawangnya supaya tidak kebobolan.

    Bahkan strategi dan taktik yang ultradefensif sekalipun pada dasarnya adalah sebuah sistem permainan untuk selalu mengintai dan memanfaatkan semaksimal mungkin sempitnya jendela kesempatan mencetak gol. Dibanding yang lain, ketergantungan permainan ultradefensif pada striker justru amat sangat untuk meraih kemenangan.

    Dus semua percakapan tentang bola, taktik dan strategi kalau dilucuti satu per satu hingga ke tulang pokoknya sebenarnya hanyalah berkisar pada dua hal: membantu tanggung jawab si ujung tombak untuk mencetak gol dan/atau menegasi, mencegah, mengantisipasi dan menghentikan sang ujung tombak tim lawan dalam menjalankan tugasnya. Sesederhana itu.

    Lalu publik sepakbola Inggris pun dibuat tertegun oleh eksperimen Sam Allardyce. Ia menurunkan tim (West Ham) tanpa striker dalam sebuah pertandingan melawan Tottenham. Ia menjalankan formasi 4-6-0, dan bukan 4-4-2 seperti kebiasaannya. Enam gelandang menyumpal lini tengah dengan posisi hampir sejajar yang bergerak menyerang bersama dan membangun garis pertahanan pertama secara bersama pula. Gaya yang sama ia lakukan lagi melawan Manchester City dan kemudian ia coba lagi melawan Swansea.

    Persoalan hasil dari pertandingan-pertandingan itu tidaklah penting. Persoalannya adalah pada Sam Allardyce. Penggemar sepakbola Inggris pasti mengerti, Big Sam bukanlah nama yang biasa diasosiasikan dengan imajinasi yang liar, indah atau di luar kebiasaan. Bahkan kasarnya, Allardyce dan imajinasi adalah dua titik ekstrim pendulum yang berlawanan.

    Ini bukan mengejek dan juga bukan penilaian saya. Tanyakan saja pada publik dan pakar sepakbola Inggris, karena mereka yang memberi penilaian itu. Lihat jejak rekamnya di Bolton, Newcastle atau Blackburn. Anda pun akan mengerti dari mana penilaian itu datang.

    Allardyce juga bukan Josep Guardiola I Sala, atau yang kita lebih mengenalnya dengan Pep Guardiola. Ia, Guardiola, berada di spektrum kreativitas dan imajinasi yang mungkin tak akan tersentuh Allardyce. Sekali lagi ini bukan ejekan, karena dalam (katakanlah) lima enam tahun terakhir memang tak banyak pelatih di Eropa ataupun dunia yang bisa menyejajarkan diri dengan Guardiola untuk persoalan imajinasi dan kreativitas. Pun untuk persoalan prestasi.

    Bagaimana Guardiola meng-upgrade sistem total football yang begitu ia kagumi menjadi tiki-taka pelan-pelan telah menjadi tonggak sejarah perkembangan permainan sepakbola. Membuka imajinasi banyak pelatih dunia—kemungkinan termasuk Allardyce — dan merombak cara berpikir atau bahkan paradigma: bermain bola tanpa striker itu dimungkinkan, dan bahkan mematikan seumpama berkaca pada kesuksesan Barcelona dan penampilan Bayern Munich sekarang.

    Ketika Guardiola melakukan eksperimen radikal dengan meniadakan ujung tombak murni di timnya, semua orang tunduk hormat lalu bertepuk tangan. Ketika Allardyce yang melakukannya, semua orang geleng-geleng kepala – untung tidak mentertawakannya – walau bisik-bisik "cuma peniru" terselenting juga.

    Tetapi itu tidak menjadi masalah. Anda tahu, dalam hidup tidak setiap orang menjadi pionir, inventor, inisiator, pembaharu, pencerah atau nabi. Jumlah manusia yang masuk kategori ini tidak banyak. Yang lebih banyak adalah yang menjadi pengekor, peniru, pengguna, jamaah, umat, dan mereka yang harus dicerahkan.

    Apalah arti pionir tanpa peniru, inisiator tanpa pengekor, inventor tanpa pengguna, pencerah tanpa yang dicerahkan, dan nabi tanpa umat. Adalah keberadaan dua pihak ini yang membuat nilai, tatanan, ide atau apapun yang disampaikan mempunyai penyokong, nyawa untuk dialog dan bisa terus berkembang. Dalam konteks ini keduanya kemudian menjadi sama pentingnya.

    Jangan lupa bahwa bahwa Guardiola tidaklah hidup dalam ruang vakum dan mbrojol ahistoris begitu saja. Imajinasi dan kreativitasnya berkonteks dan bisa dirunut bahkan hingga ke awal lahirnya permainan sepakbola modern di Inggris. Atau lebih tepatnya ketika nomor punggung mulai lazim digunakan sekitar dekade 1920-an.

    Entah kenapa otak manusia senang sekali melakukan penandaan, klasifikasi, pemilahan, dan pengelompokan. Mungkin untuk memudahkan otak itu sendiri untuk berfikir dan menyederhanakan kerumitan informasi agar mudah dicerna. Dan karena -- meminjam istilah Ersnt Cassirer -- manusia adalah binatang yang mampu berabtraksi lewat simbol (animal symbolicum), dalam hal sepakbola diperkenalkanlah nomor punggung. Angka menjadi simbol dan peran dan posisi yang bersangkutan dalam permainan.

    Penomoran memudahkan para pemain menjalankan peran dan pelatih menyusun strategi. Nomor 4 atau 5 akan selalu menjaga nomor 9 atau 10 lawan. Nomor 2 menjaga nomor 11. Begitu seterusnya dan sebagainya. Maka kita pun mengenal nomor 1 adalah kiper, 2 itu bek kanan, 11 pastilah sayap kiri, atau 9 ujung tombak/striker dan seterusnya dan sebagainya.

    Evolusi permainan sepakbola sudah sangat jauh dan cara berfikir manusia sudah berubah sehingga penomoran itu tidak lagi bisa menjadi patokan sepenuhnya. Tetapi tinggalannya masih sangat kental hingga ke era Guardiola sekarang ini.

    Istilah yang sering kita dengar sebagai false (number) nine adalah konsep tinggalan atau terusan dari percakapan dari era ketika penomoran mulai diperkenalkan. Obsesi untuk memaksimalkan ujung tombak (untuk memenangkan pertandingan).

    Awal kelahirannya sederhana sekali. Karena penomoran memudahkan pihak lawan untuk mengantisipasi serangan lawan yang selalu menjadikan nomor sembilan sebagai penuntas sebuah serangan, dalam sebuah pertandingan internasional antara Inggris dan Skotlandia, pelatih Skotlandia menarik pemain nomor 9 untuk bermain dari dalam, dan bukan di ujung serangan.

    Perubahan yang sangat sederhana itu -- sekarang mungkin tidak akan banyak membuat pelatih ataupun pemain harus memeras otak untuk mengantisipasinya --, pada jamannya bisa membuat pusing lawan. Tiba-tiba saja bek tengah dihadapkan pada dilema: haruskah mengikuti pemain nomor 9 yang berarti meninggalkan lobang di jantung pertahanan, ataukah tetap bertahan tetapi membuat lawan mempunyai tambahan personel di lapangan tengah. Dari situ saja kemudian lahir sekian banyak varian permainan, dari yang namanya zonal marking hingga formasi 3-5-2.

    Guardiola bagi saya adalah penyempurna dari percakapan akan obsesi sepakbola pada persoalan peran nomor punggung 9 itu. Luciano Spalleti yang sekarang memegang Zenit St. Petersburg sebenarnya mengawali lebih dulu untuk bermain tanpa striker dengan catenaccio sebagai basisnya ketika memegang AS Roma. Tetapi ketika Guardiola menerapkannya dengan memakai total football sebagai basis permainannya, formasi tanpa striker murni meledak dan menemukan kesempurnaannya.

    Perbedaan yang dilakukan Spalletti dan Guardiola dari false nine di awal kelahirannya adalah bahwa keduanya memang betul-betul tidak memainkan ujung tombak. Bukan menarik pemain bernomor 9 untuk bermain lebih dalam. Tetapi memiliki pemain yang menyeruak dari tengah yang kalau diperlukan bisa menjadi dan mempunyai kualitas pemain bertipe nomor 9. Spalletti dan Guardiola mempunyai Francesco Totti dan Lionel Messi.

    Kembali ke Sam Allardyce. Kalau pelatih dengan kaliber "biasa-biasa saja" seperti Allardyce mulai menerapkan permainan tanpa striker apakah itu berarti tipe pemain striker sekarang sedang sekarat? Inikah akhir dari obsesi permainan sepakbola dengan yang namanya striker?

    Bukan, bukan. Ini awal. Di titik inilah ketika pionir mendapat peniru, inisiator mendapat pengekor, inventor mendapat pengguna, pencerah telah mencerahkan, dan nabi mendapat umat. Percakapan ini sedang dimulai.

    London, 29 Oktober 2013.


    ===

    * Akun Twitter penulis: @dalipin68
    * Tentang 'Dalipin Story', baca di sini


    (a2s/roz)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game