Ego Seluas Lapangan Bola

Awal tahun 2008. Barcelona sedang mencari pengganti Frank Rijkaard. Mereka hanya punya satu kandidat kuat: Jose Mourinho.
Terbanglah Wakil Presiden Barcelona, Marc Ingla, ke Lisabon untuk bertemu Mourinho yang sudah tiga bulan menganggur karena dipecat Chelsea. Ingla begitu terkesan dengan Mourinho yang sudah siap dengan presentasi rinci tentang apa yang salah dengan Barcelona dan bagaimana cara mengatasinya.
Begitu terkesannya Ingla dengan presentasi Mourinho, ia merekomendasi Direktur Olahraga Txiki Begiristain, untuk bertemu secara terpisah dengan Mourinho. Khusus untuk berbicara tentang sepakbola.
Masih kurang puas, ketiganya kemudian bertemu lagi secara bersama-sama. Membahas pernik-pernik di dalam kamar ganti, lapangan bola, sekaligus kehidupan Barcelona sebagai sebuah klub.
Baik Ingla maupun Begiristain sama-sama sepakat tanpa keraguan, Barcelona akan sukses kalau dipegang Mourinho. Ada aura kesuksesan yang tak terelakkan menyelimuti Mourinho.
Namun demikian ada sesuatu yang mengganjal di hati kedua petinggi Barcelona tersebut. Aura kesuksesan yang tak terelakkan itu diikuti oleh ego yang luar biasa besar. Nyaris menenggelamkan segalanya.
Keduanya mencatat dan merasakan bagaimana Mourinho terlalu menekankan kata saya dan bukan Barcelona yang akan sukses dalam percakapan mereka. Keduanya berpendapat Mourinho terlalu menitikberatkan pada kesuksesan dirinya dan bukan kesuksesan klub.
Keraguan itu kemudian dikonsultasikan dengan CEO Barcelona, Ferran Soriano. Di antara ketiganya kemudian diputuskan untuk tidak menindaklanjuti hasil pembicaraan dengan Mourinho. Seberapa pun mereka ingin melakukannya.
Kita tahu bagaimana Barcelona kemudian lebih memilih Josep (Pep) Guardiola. Pelatih Barcelona B yang relatif belum teruji di dunia kepelatihan. Namun, Guardiola adalah seorang Barcelona totok yang paham luar dalam kehidupan klub Catalan itu. Ia juga seseorang yang meletakkan klub di atas kepentingan dan kesuksesan pribadinya.
Penggalan cerita ini ada dalam buku 'Barca: The Making of The Greatest Team in The World', yang ditulis oleh Graham Hunter. Tetapi yang saya tulis ini merupakan versi dari Txiki Begiristain, yang sudah menjadi direktur olahraga Manchester City, yang entah mengapa dalam sebuah obrolan santai berbagi cerita ini kepada kami --beberapa pegawai Manchester City saat itu.
(Getty Images/Clive Rose)
Saya masih ingat sekali betapa Begiristain menekankan betul akan persoalan ego itu dalam ceritanya. "Me, me, me. I, I, I," kata Begiristain dengan nada mencibir tentang Mourinho yang selalu menempatkan diri sebagai pusat dan yang lain mengorbit pada dirinya.
Sejarah mencatat, keputusan para petinggi Barcelona saat itu untuk memilih Guardiola ketimbang Mourinho terbukti tepat. Guardiola menghadirkan zaman keemasan. Lebih sukses dari pelatih siapapun yang pernah memegang klub itu.
Guardiola hebat tanpa harus namanya menenggelamkan nama Barcelona. Atau katakanlah dua-duanya sama-sama harum. Setiap tahun selama empat tahun Guardiola dan Barcelona mendominasi dunia persepakbolaan di semua tingkatan.
Tetapi Mourinho dengan egonya, seperti juga telah diperkirakan para petinggi Barcelona itu, juga meraih prestasi yang tidak jelek. Mimpi malah untuk pelatih-pelatih papan atas lain. Treble bersama Inter Milan: Serie A, Coppa Italia, dan Liga Champions. Dan ketika pindah ke Real Madrid, ia membawa klub itu menjuarai La Liga, Copa del Rey, dan juga Super Copa de Espana ditahun yang berbeda selama tiga tahun di sana.
Ego arti sebenarnya tidaklah harus berkonotasi negatif. Ego adalah perasaan, pikiran, dan kesadaran diri seseorang (individu) bahwa yang bersangkutan berbeda dengan yang lain dan objek yang menjadi pemikiran.
Semua orang memiliki ego. Semua orang memiliki kesadaran bahwa diri mereka berbeda dengan yang lain dan obyek yang menjadi pemikiran mereka. Persoalannya adalah karena ego sedikit banyak bersifat relasional --muncul dan menguat atau melemah-- terkait dengan pihak luar yang bukan dirinya.
Bagi pelatih/manajer sepakbola, ego menjadi penting. Ego menjadi kerudung, tempat perlindungan, sekaligus sumber keyakinan bahwa ia (manajer) adalah orang yang paling pintar, paling benar, dan paling tahu di klub yang ia pimpin. Bahwa ia berbeda --lebih tinggi-- dari yang ia pimpin dan (karenanya) ia superior.
Manajer sepakbola tak punya pilihan kecuali bersikap seperti itu karena ia tak pernah lekang dari sorotan. Ia harus membuktikan diri terus menerus dalam rentang waktu yang sangat pendek. Seminggu sekali. Terkadang dua kali.
Pembuktian yang bukan hanya kepada pemilik klub, anak buahnya di lapangan, tetapi juga ke puluhan ribu, ratusan ribu, atau bahkan mungkin jutaan supporter.
Bukan hanya membuktikan kesuperiorannya kedalam klubnya sendiri tetapi juga bila dibanding klub lain. Bahwa dirinya superior dibanding manajer klub lain.
(AFP/Leon Neal)
Karenanya adalah tidak mungkin bagi seorang manajer sepakbola untuk bisa sukses tanpa mempunyai ego yang besar. Tanpa ego yang berlebihan mereka tidak akan cukup punya keteguhan hati dan keyakinan untuk diserahi tanggung jawab menjadi manajer.
Guardiola mungkin benar rendah hati dan santun sehingga kesuksesannya tidak menenggelamkan Barcelona, tetapi ia tidak akan sukses kalau tidak menunjukkan egonya. Para pemain tunduk karena Guardiola dengan sengaja menunjukkan sebuah superioritas dalam pengetahuan, bersikap, dan kemampuan berpikir.
Perhatikan para manajer papan atas selain Guardiola dan Mourinho. Semuanya mempunyai kesamaan: ego lebih luas dari lapangan bola. Kadar ekspresinya saja yang berbeda-beda. Juga cara mengekspresikannya. Tetapi itu persoalan kepribadian.
Yang celaka adalah ketika ego itu kemudian melangkah menjadi egotisme atau rasa self importance (paling penting hingga merendahkan pihak lain). Tidak ada kerendahan hati (humility). Merasa segala sesuatunya berpusat pada dirinya.
Para manajer papan atas rentan sekali terkena gejala ini. Mereka adalah orang yang terus menerus berhasil membuktikan diri dari segala tuntutan yang ada di luar diri mereka.
Ego yang sebelumnya kerudung, tempat perlindungan, sekaligus sumber keyakinan bahwa ia (manajer) adalah orang yang paling pintar, paling benar, dan paling tahu berubah menjadi sebuah tabir (façade), pembeda antara ia yang special dan dunia di luar dirinya yang biasa-biasa saja. Lebih parah lagi ketika ego kemudian menjadi ilusi akan rasa grandeur (kehebatan diri) yang berlebihan.
Mereka yang sudah mencapai tingkatan ini, ketika segala sesuatunya tidak berjalan dengan yang ia inginkan, akan menyalahkan siapa saja kecuali dirinya: pemain, wasit, lawan, jadwal pertandingan, cuaca, rumput, bahkan mengapa bola harus bundar.
Ia hanya akan berhenti: terantuk dan tersingkir, ketika bertemu dengan ego yang lebih besar. Ego seluas bumi. Ego milik para pemilik klub sepakbola atau siapa saja yang mempekerjakan mereka.
====
* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68