Catatan Imam Nahrawi
Sepakbola dan Tata Kelola Olahraga Indonesia

Pekan ini adalah masa-masa krusial bagi tata kelola olahraga Indonesia. Dalam pekan inilah nasib Indonesia Super League (ISL) akan ditentukan. Dalam beberapa hari ke depan, kita semua akan melihat apakah kick-off ISL akan bergulir pada 4 April atau tidak, juga bisa melihat klub-klub mana saja yang layak mengikuti ISL musim (2015) ini.
Mungkin banyak pembaca yang bertanya mengapa saya menyebut kick-off ISL sebagai hal penting bagi tata kelola olahraga? Bukankah olahraga bukan hanya sepakbola? Bukankah sepakbola tidak pernah menghasilkan prestasi sehingga tak perlu merepotkan diri sendiri dengan mengurusi sepakbola?
Perlu saya tegaskan bagaimana standing point saya dalam pengelolaan keolahragaan. Menurut hemat saya, salah satu persoalan olahraga di Indonesia adalah tata kelola. Saya percaya tata kelola olahraga sebagai hal penting karena menjadi dasar dari pengorganisasian olahraga, dari mulai aspek pembinaan, manajemen organisasi, keuangan, hingga kompetisi. Kesimpulan saya: tanpa tata kelola yang baik, tidak akan ada prestasi yang baik.
Persoalan tata kelola inilah yang menjadi masalah mendasar olahraga Indonesia saat ini. Masalah itu terjadi dari hulu hingga hilir. Di hulu ada persoalan antara Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Jangan heran jika ribut-ribut di tingkat kepengurusan juga menurun ke induk organisasi. Belum lagi di tingkat pengurus provinsi; ada saja masalah terkait konflik di tingkat kepengurusan.
Selain masalah struktur kepengurusan, persoalan tata kelola kadang muncul di aspek yang lain. Misalnya saja pola rekrutmen atlet untuk Pelatnas. Tidak sedikit laporan yang masuk mengenai ketidakpuasan rekrutmen atlet. Ada tuduhan pilih kasih, kongkalikong, dan lain-lain.
Persoalan tata kelola juga sering muncul dalam pengelolaan kompetisi. Padahal tanpa kompetisi yang tata kelolanya baik, akan sulit mengharapkan datangnya prestasi yang bagus. Kompetisi sebagai kawah candradimuka para atlet mesti dikelola dengan iklim yang bagus dan manajemen yang baik.
Inilah yang sesungguhnya menjadi persoalan sepakbola Indonesia, khususnya terkait penyelenggaraan kompetisi ISL.
Kompetisi tertinggi sepakbola Indonesia ini cikal bakalnya sudah berusia panjang. Jika mengacu penggabungan Galatama dan Perserikatan pada 1994, usia kompetisi semiprofesional ini sudah mencapai 21 tahun. Tentu sudah tidak muda lagi. Jika dihitung dari dimulainya ISL sebagai kompetisi profesional dengan merujuk aspek-aspek dan persyaratan AFC dan FIFA, usianya kini sudah hampir mencapai tujuh tahun. Juga bukan waktu yang pendek bagi mereka yang serius untuk membenahi dirinya.
Nyatanya, hingga menjelang dimulainya musim ke-7, persoalan yang sama masih saja terjadi. Yang paling laten adalah persoalan tunggakan gaji yang selalu saja muncul. Menurut laporan yang masuk, ketika musim 2015 belum dimulai saja sudah ada setidaknya klub yang bermasalah dengan penggajian.
Alasan bahwa tunggakan gaji itu muncul karena pengunduran kick-off ISL sebenarnya tidak tepat. Laporan yang saya terima, tunggakan gaji sudah lebih dari dua bulan. Padahal pengunduran jadwal ISL diputuskan pertengahan Februari. Artinya, sebelum ada pengunduran pun persoalan tunggakan gaji itu sudah muncul.
Belum lagi persoalan-persoalan administratif yang tidak bisa dianggap sepele karena terkait dengan aspek-aspek legalitas. Selama hampir tujuh tahun mayoritas klub ternyata bermasalah dengan aspek legalitas ini. Bahkan klub besar dengan suporter loyal dan berlimpah juga tetap bermasalah dengan aspek legalitas ini.
Maka wajar saja jika persoalan legalitas yang berantakan ini kemudian melahirkan persoalan lain, misalnya kewajiban membayar pajak. Hampir semua klub bermasalah dengan persoalan pajak ini. Jika klub saja bermasalah, apalagi para pemain. Kasus tunggakan gaji juga tak bisa dilepaskan dari aspek ini, tak semata soal kegagalan dan ketidakmampuan mencari sponsor.
Sikap keras dan tegas yang saya pilih dalam tata kelola sepakbola Indonesia pada akhirnya membuat klub berbondong-bondong membenahi aspek legalitas ini. Mau disangkal seperti apa pun tetap tidak bisa menutupi kenyataan bahwa sikap tegas dan tanpa kompromi yang saya pilih yang akhirnya berhasil memaksa klub-klub di Indonesia untuk membenahi persoalan administratif ini.
Jika saja tata kelola kompetisi ini sudah berjalan dengan baik, tidak perlu saya mengambil langkah seperti ini. Sudah hampir tujuh tahun persoalan ini dibiarkan dengan standar yang kendor dan kompromi yang terlalu besar. Saya terpaksa mengambil risiko, termasuk risiko politik dicecar oleh teman-teman DPR atau dimaki oleh suporter dan pengurus klub. Semua agar perbaikan tata kelola sepak bola Indonesia bisa berlangsung dengan cepat.
Selain persoalan olahraga, ini juga menyangkut kewajiban pemerintah untuk menegakkan peraturan dan perundangan. Sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam bidang olahraga, saya berkewajiban untuk memastikan bahwa peraturan dan perundangan ditaati oleh semua pihak. Ini merupakan tugas yang harus saya pertanggungjawabkan.
Pekan ini, persoalan tata kelola ISL akan memasuki babak akhir. Sebelumnya saya sudah mengeluarkan keputusan tegas dan tanpa kompromi dengan tidak mengeluarkan rekomendasi bagi pelaksanaan ISL pada Februari lalu. Dan untuk keputusan yang tanpa kompromi ini saya mendapatkan kritik dari berbagai pihak, mulai dari yang halus hingga kasar. Tapi di sisi lain saya juga mendapat banyak dukungan dari masyarakat dan suporter.
Setelah semua "ketegangan" dan "ribut-ribut di media", saya tak mungkin mundur lagi. Saya juga tidak dalam posisi untuk mengendorkan standar yang pada Februari lalu memaksa Kemenpora tidak mengeluarkan rekomendasi pelaksanaan ISL.
Saya menganggap situasinya sudah cukup baik apalagi klub-klub itu akhirnya mau tak mau menyadari bahwa mengurus aspek legal dan kelengkapan-kelengkapan lainnya memang harus dilakukan. Dan sebagian besar dari klub sudah berusaha memenuhi standar yang sebelumnya dibiarkan seadanya saja.
Situasi cukup baik ini harus terus dipelihara. Bukan dengan mengendorkan standar dan memperbanyak kompromi, tapi dengan terus menegaskan bahwa semua persyaratan harus dipenuhi. Tujuannya sederhana yaitu agar tata kelola kompetisi sepakbola Indonesia dijalankan dengan memenuhi standar, khususnya standar menurut peraturan dan perundangan yang menjadi kewenangan pemerintah.
Setelah semua ribut-ribut yang sempat terjadi, kita akan rugi waktu jika harus melangkah mundur. Jika itu dilakukan, kita akan mendapati masalah yang sama di tahun depan. Akan begitu terus, dari musim ke musim dari tahun ke tahun.Tidak mengeluarkan rekomendasi pelaksanaan ISL yang saya ambil pada Februari lalu memang "keputusan politik". Setiap keputusan yang diambil oleh pejabat negara apalagi setingkat menteri sudah pasti merupakan "keputusan politik". Saya tidak hendak menutup-nutupi dan berpura-pura manis.
Dan untuk setiap "keputusan politik" selalu ada harga dan risiko politiknya. Biarlah saya ambil dan telan risiko politik itu. Sebab saya merasa tidak bisa membiarkan begitu saja para stakeholder olahraga di Indonesia melanggar dengan santai atau meremehkan peraturan dan perundang-undangan terus menerus, dari tahun ke tahun.
Saya tidak memiliki masalah jika saya harus menjelaskan sikap dan keputusan ini hingga larut malam pada teman-teman di DPR seperti terjadi pada akhir Februari lalu. Saya juga siap jika banyak orang mengkritik dan memaki saya.
Lebih baik sedikit repot dan agak berdarah-darah sekarang, agar di musim-musim selanjutnya hal yang sama tidak terulang lagi. Agar kita semua bisa melangkah lebih baik dan bisa dengan tenang menghadapi persoalan-persoalan lainnya yang akan menghadang di kemudian hari.
Jika akhirnya saya bersikap tegas dan tanpa kompromi bahwa ISL bisa dimulai dengan jumlah klub yang lebih sedikit, percayalah itu demi perbaikan tata kelola sepak bola Indonesia. Mungkin ini akan menjadi pil pahit, tapi juga bisa menjadi awal yang baik bagi kompetisi yang lebih baik, lebih sehat, lebih akuntabel dan akhirnya lebih berprestasi.
Tentu saja PR saya tidak selesai hanya dengan mengurusi ISL. Ada banyak cabang-cabang lain yang juga punya permasalahan laten dan tetap menjadi perhatian saya juga. Tidak berarti saya mengabaikan cabang-cabang yang lain dan menghabiskan energi hanya untuk sepak bola. Saya rutin bertemu dengan pengurus olahraga lain dan terus memantau apa yang terjadi di bidang-bidang olahraga non-sepakbola.
Tapi membenahi tata kelola sepakbola memang tidak mudah. Ada banyak benteng-benteng yang harus ditembus. Yang sudah jelas ada benteng FIFA yang selama ini memang mencoba melindungi sepak bola dari intervensi negara. Ancaman sanksi FIFA sesungguhnya merupakan hal yang memang bisa saja terjadi, meski kadang dibesar-besarkan.
Belum lagi benteng-benteng politik yang kerap kali digunakan untuk melindungi kepengurusan sepak bola. Sudah bukan rahasia lagi kalau di mana pun juga sepak bola selalu terkait dengan politik. Sampai hari ini pun hal itu tetap itu terjadi. Tidak sedikit pengurus sepak bola Indonesia dari pusat hingga daerah yang berlatarbelakang orang politik.
Perputaran uang di sepak bola dari tahun ke tahun terus membesar, khususnya dari bisnis komersial dan hak siar, membuat sepak bola memang semakin menggiurkan. Tidak mudah berurusan dengan pihak-pihak yang di dalamnya juga ada perputaran hak komersial yang tidak sedikit. Ketegangan dan kegaduhan menjadi hal yang wajar dan tidak mengejutkan.
Inilah yang membuat sepakbola memang menjadi cabang yang spesial, apalagi jika memperhitungkan jumlah massa yang mencintai sepak bola. Dan hal itu pula yang membuat upaya pihak luar yang ingin membantu memperbaiki tata kelola sepakbola Indonesia mengalami kesulitan. Termasuk di antaranya negara.
Justru karena itulah sepakbola menjadi penting untuk diperbaiki tata kelolanya. Dengan berbagai faktor kendala yang sulit seperti itu, akan menjadi pencapaian yang baik sekali jika negara bisa hadir dalam memperbaiki tata kelolanya. Jika pengelolaan sepakbola yang rumit seperti itu saja bisa diperbaiki, dampaknya semoga bisa terlihat di cabang-cabang olahraga lain. Ini akan menjadi peringatan yang keras juga bagi pengurus olahraga lainnya untuk tidak bermain-main dengan peraturan dan perundangan.
Penandatanganan Memorandum of Understanding antara Kemenegpora dan Komite Informasi Publik (KIP) maupun dengan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) yang dilakukan pekan lalu juga sebagai tindak lanjut dari upaya membangun tata kelola olahraga yang lebih baik, akuntabel dan transparan. Ini berlaku untuk semua cabang olah raga dan tidak hanya untuk sepakbola.
Saya percaya bahwa tata kelola olahraga sebagai hal mendasar. Saya juga yakin tidak ada prestasi yang baik tanpa tata kelola yang bagus. Karena itu saya menggunakan otoritas yang diberikan peraturan dan perundangan untuk ikut membenahi tata kelola sepak bola Indonesia. Dengan mengambil risiko yang sudah dipertimbangkan, saya memutuskan untuk memulainya dari yang paling sulit dulu yaitu sepakbola.
=====
* Penulis adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Akun twitter: @imam_nahrawi