Kolom
Tragedi Kanjuruhan, Budaya Pembiaran, dan Tantangan ke Depan

Pasca Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan korban telah menimbulkan dorongan di tengah masyarakat agar pemerintahan Presiden Jokowi secara serius ikut menyelesaikan kekisruhan sepakbola di tanah air, di mana isu suporter masuk di dalamnya. Namun tantangan tersebut kembali datang lebih cepat. Baru-baru ini terjadi aksi anarkis perusakan kantor klub Arema FC, pelemparan bus ofisial, dan ancaman-ancaman di ruang publik.
Kelemahan kita selama ini adalah melakukan apa yang dikenal sebagai culture of omission (budaya pembiaran/pelumrahan). Tindakan tidak profesional, kontra-disiplin, dan kadang anarkistis, baik yang dilakukan oleh pengurus klub, pemain, dan juga suporter, sering dibiarkan atas nama pelumrahan.
Tindakan-tindakan anarkistis ini, dalam konteks aksi kekerasan termasuk perusakan terhadap kantor Arema FC, jangan dibiarkan begitu saja padahal jelas sudah masuk ranah pelanggaran hukum. Akibatnya tidak pernah ada keseriusan dan resolusi final apa dan bagaimana arah persepakbolaan nasional kita.
![]() |
Masalah Budaya Pembiaran dan Tantangannya
Perlunya langkah-langkah tepat dan cepat untuk menyelesaikan persoalan culture of omission ini, antara lain memahami bagaimana budaya ini muncul.
Pertama, persoalan munculnya pembiaran terjadi karena adanya pemahaman keliru tentang social/community bond atau ikatan komunitas. Seolah-olah bila kita bertindak tegas dan benar dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengurus, pemain atau suporter dapat merusak ikatan sosial. Padahal ini asumsi keliru yang tidak berdasar.
Kedua, pembiaran ini dianggap suatu kebanggaan atau pride. Di mana asosiasi yang terbentuk misalnya pada kasus perusakan dan tindakan anarki oleh oknum pendukung Arema FC dianggap tindakan yang lumrah. Arema dan Aremania kini, sayangnya, terasosiasi kepada sesuatu yang kasar, keras, dan brutal sebagaimana pada suporter Inggris yang kerap diasosiasikan dengan kerusuhan, penyerangan, dan penjarahan.
Ketiga, setelah pembiaran di tahap social bond, dan kebanggaan (pride) ini berlanjut maka pada akhirnya akan terbentuk apa yang disebut dengan identitas. Seperti dalam banyak kasus yang terus dibiarkan, maka muncul identifikasi bila sepakbola di tanah air tidak pernah serius untuk dibenahi. Padahal kita sepakat bila identitas adalah sesuatu yang sudah melekat dan memiliki nilai sentimentilnya yang positifnya. Antara lain menjadi faktor pengikat, solidaritas, faktor kebersamaan dan gotong royong, dan tentu saja faktor kebanggaan.
Sesuai dengan adanya perubahan maka identitas ini juga bergerak kepada hal yang semakin positif atau sebaliknya ia mengarah kepada asosiasi negative. Identitas itu sudah mengalami sintesis dan anti-tesisnya dan kadang kala sering dimanipulasi antara lain melalui proses culture of omission atau budaya pembiaran tadi.
![]() |
Di titik ini kita berharap profesionalisme aparat kepolisian Polresta kota Malang sebagai penegak hukum, untuk dapat memutus culture of omission tadi. Bahwa yang bersalah dalam aksi kekerasan dan perusakan, dengan Arema FC sudah menjadi korban, harus dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Apa yang dimaksud dengan profesional di sini adalah menempatkan segala sesuatu dalam proporsi dan tempat yang tepat.
Semoga kita semua, khususnya insan dunia sepakbola termasuk suporter, sungguh-sungguh bisa memetik pelajaran dari Tragedi Kanjuruhan. Apalagi jika kemudian hal itu, ironisnya, dijadikan motif pihak tertentu melakukan aksi kekerasan dan perusakan. Semoga penuntasan itu semua, secara profesional sesuai hukum dan proporsi tepat, dapat memutus rantai budaya pembiaran. Semoga, kali ini, ada keseriusan dari semua pihak yang lantas berujung pada resolusi final demi menciptakan persepakbolaan nasional yang kita semua idamkan.
Baca juga: Media Asing Masih 'Kawal' Tragedi Kanjuruhan |
-----
![]() |
Penulis
Budi Setiawan
Pemerhati sepakbola nasional, Founder Football Institute