Ziarah Sepakbola Inggris (1)
Keliling London, Mampir di Stamford Bridge

Sebagai pendukung tegas Liverpool FC, kalau ketemu ya ngomongin Liverpool. Adalah Simon Nainggolan -- me-nickname-kan dirinya dengan Don Carlione -- yang mengompori trip ke Anfield. Singkat kata, ditetapkanlah waktu penting itu: kami harus menjadi saksi kemenangan Liverpool atas Spartak Moskow di Liga Champions awal Desember lalu. Pede banget 'kan?
Setelah minta restu sana-sini, menerima wejangan ini-itu dari beberapa tetua dan ... sponsor (!), akhirnya kami berempat yang akan "mewakili" fans Liverpool dari Indonesia untuk ke Inggris. Sayangnya, karena waktu pengurusan visa terlalu mepet, yang satu tidak keburu alias batal. Maka "misi" ini diemban oleh saya, Don Carlione, dan Valentino "Si Jebret" Simanjuntak.
Cek Toko Sebelah Dulu
Mendarat di London kami langsung bertukar pakaian dengan seragam winter. Maklum, cuaca di Eropa sedang dingin-dinginnya, suhu bisa mencapai 0 derajat celcius. Hikmahnya, kami jadi punya tambahan stok foto jalan-jalan di negara orang dengan jaket bulu dan syal tebal.
Oh iya, dari awal kami meniatkan tidak sekadar ziarah bola ke Anfield. Sayang betul kalau sudah ada di Inggris (London) tapi tidak mengunjungi tempat-tempat bola yang lain. Kebetulan, sehari sebelum pertandingan Liverpool, Chelsea pun melangsungkan laga Liga Champions-nya di Stamford Bridge melawan Atletico Madrid. Jadi, kami pun perlu mengecek "toko sebelah".
Kami mampir ke Bridge hari Senin, atau sehari sebelum match day mereka. Sebagai stadion pertama yang dikunjungi, kecuali Simon, saya dan Jebret sama sekali tidak punya perbandingan dengan stadion Inggris lainnya. Aroma sepakbola cukup kental sejak kiami tiba di stasiun undergound (kereta bawah tanah London) Fulham Broadway.
Saat tiba di sekitar stadion, Chelsea langsung memperkenalkan para pemainnya yang aktif bermain saat inj. Poster pemain Chelsea bertebaran di sekitar jalan menuju stadion. Jebret berseloroh, "Bilakah klub di Indonesia mestinya juga melakukan ini. Aku pernah sampaikan hal ini sebetulnya ke salah satu klub di Indonesia. Sekarang ada bukti kongkrit, akan aku sampaikan lagi," kata Valent serius.
Menuju gerbang utama, deretan pemain besar The Blues menghiasi dinding kiri lorong stadion, termasuk salah satu pemain Chelsea yang paling saya kagumi: Gianfranco Zola.
Sepertinya, salah satu cara menghormati legenda sepakbola oleh klub sepakbola Inggris adalah dengan membuat patung sang tokoh. Setidaknya itu yang tergambar dari Chelsea, patung Peter Osgood berdiri gagah di situ.
Dari Stamford Bridge kami bergeser ke Craven Cottage yang hanya berjarak sekitar 20 menit dengan menumpang mobil. Kandang Fulham FC ini terasa lebih hangat. Letaknya berada di tengah-tengah perumahan dan juga memiliki patung pahlawan sepakbola mereka, di antaranya Johnny Haynes.
Sementara saya masih takjub dengan stadion kedua ini, Si Jebret mulai bekerja dengan kameranya untuk mengabadikan setiap sudut stadion yang pernah memiliki kontroversi terkait patung Michael Jackson.
Dari dua stadion ini ada tiga hal lain selain patung yang menarik perhatian saya. Pertama, jadwal pertandingan berikut terpampang jelas di banyak sudut. Kedua, toko suvenir. Keberadaan toko suvenir di lingkungan stadion juga menjadi bukti paling sederhana bahwa sepakbola memang sebuah industri di Inggris. Dan ketiga, tur keliling stadion, yang pastinya lumayan untuk menambah kas klub.
Pada perjalanan kami selanjutnya, tur stadion dan toko cinderamata hampir selalu kami jumpai di setiap stadion di sini. Klub-klub sepakbola di Inggris sangat percaya diri bahwa selain pertandingan, klub mereka dapat menjadi ketertarikan tersendiri bagi penggemar mereka dari seluruh dunia.
![]() |
Stadion ketiga yang kami sambangi adalah Emirates. Walaupun tidak di tengah perumahan, stadion ini tidak cukup apik menata lingkungan sekitar. Si Jebret sempat membuat Vlog dari balik dinding batu bata, garasi yang menawarkan tempat parkir mobil untuk pengunjung Emirates. Sebagai informasi, parkir di Inggris sangat mahal dan kalau ada pun tidak semua orang bisa menggunakannya.
Ada dua patung yang kami jumpai di Emirates: Dennis Berkamp dan Tony Adams. Toko suvenirnya juga sangat luas. Persis di depan toko, pengunjung diajak untuk bernostalgia di deretan tempat duduk bertuliskan nama-nama legenda Arsenal. Bagi saya, Arsenal adalah Thierry Henry.
Baiklah. Kiranya cukuplah kami menceritakan "toko sebelah", karena kami adalah pemuja Liverpool, hehehe.
Mengintip "Si Biru" Ladeni Atletico
Karena The Reds adalah tujuan utama kami ke Inggris, jika kami kemudian mendapatkan tiket pertandingan Chelsea versus Atletico dan menonton langsung di Bridge, sungguh, itu bukan perbuatan yang disengaja. Mohon tidak menganggap kami "tidak setia" ya.
Tadinya kami cuma ingin melihat-lihat dan merasakan atmosfer sebuah pertandingan Liga Champions di London. Dan itu kami dapatkan dengan amat sangat. Beberapa jam sebelum pertandingan, penjual pernak-pernik seperti syal, pin, topi, dan bendera, bertebaran di mana-mana. Pokoknya, tiba-tiba suasana stadion berubah hingar-bingar.
![]() |
Bergabung dengan kami di TKP adalah Bayu Mahendra, rekan Vanet di Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia), yang selalu dapat beasiswa sejak S2, dan saat ini sedang mengambil program Doktor di Inggris. Syukurlah, dia juga penggemar Liverpool.
Pendukung Atletico malam itu heboh sekali. Kendati bermain di kandang lawan, mereka tidak berhenti bernyanyi. Sebagai pendukung tim tamu, Los Colchoneros mendapatkan gerbang dan blok khusus di dalam stadion. Biasanya, pendukung tim tamu ada di sebelah kiri tribun utama, belakang gawang sebelah kanan.
Saat sedang menikmati nyanyian-nyanyian pendukung Atletico, Si Jebret tergopoh-gopoh datang. "Bro, aku ditawari tiket, ÂŖ120 per orang, ambil tidak?" seru dia, tetap dengan gaya hebohnya. "Sabar," jawab Simon..
Dalam aturan kami bertiga, untuk setiap pilihan keputusan jawabannya akan mengikuti suara terbanyak dan tidak ada seorang pun yang memiliki hak veto. Dalam hal tiket itu, saya setuju Simon untuk menolak. Pertama, Chelsea bukan misi. Kedua, mahal.
Jadi ya sudah, kami tetap istiqomah, tetap menikmati atmosfer di luar ... sampai kemudian datang godaan berikutnya. Ketika theme song Liga Champions sayup-sayup kami dengar, tahu-tahu ada dua orang mendatangi kami. Mereka langsung menawari satu lembar tiket seharga 55 pounds. Katanya sih, teman dia batal datang. Sialnya, Simon melanggar aturannya sendiri, dan ia langsung menyambar tiket itu. Bah!
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Ternyata transaksi jalanan itu diikuti dengan seorang penawar lain. Jika 3 lembar karcis dibanderol cuma 100 pounds, sekuat-kuatnya iman kami, akhirnya runtuh juga. Maka jadilah kami berempat, fans Liverpool ini, menjadi "pemantau" pertandingan Chelsea. Valent menonton terpisah dari kami, karena dapat tiket di tribun tuan rumah .
Berada di tribun kubu tamu anugerah buat kami bertiga. Pendukung Atletico terus bernyanyi dan meneriakkan yel-yel semangat hingga teriakan "Booo..." kepada Alvaro Morata, pemain asal Spanyol yang memang pernah bermain untuk Atletico.
Menurut cerita Si Jebret, pendukung Chelsea merespons pertandingan dengan biasa. "Mereka nonton tapi seperti tanpa jiwa. Mereka penonton sepakbola, penikmat sepakbola tapi bukan pendukung keras Chelsea. Tidak ada nyanyian, hanya tepuk tangan," kata dia.
Kita tahu, pertandingan itu berakhir imbang 1-1. Chelsea selamat dari kekalahan berkat gol bunuh diri Stefan Savic di menit 75, setelah tim tamu membobol gawang Thibaud Courtois 10 menit dari kickoff babak kedua.
Itulah laga Liga Champions pertama yang kami saksikan langsung. Tidak berarti apa-apa buat Anda, tapi bersejarah buat kami. Dan kami menutup sejarah pribadi itu dengan melahap ayam goreng siap saji di dekat stadion.
[Bersambung]
![]() |
====
* Penulis adalah dosen komunikasi politik Universitas Paramadina, Jakarta, pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia.
(a2s/krs)