Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Dalipin

    Tragedi Yunani di Stadion Emirates?

    Yusuf Arifin - detikSport
    Jakarta -

    Seorang pemimpin secara otomatis berbeda dengan kelompok yang dipimpinnya. Dibedakan oleh kemampuan untuk menerawang apa yang dianggapnya baik untuk kelompoknya. Visi. Visioner.

    Dibedakan oleh kemauan dan kemampuan untuk mencoba mewujudkan visi tadi dengan segala potensi energi, spiritualitas --percaya akan tujuan yang mulia--, dan intelektualitas. Misi. Misionaris.

    Tanpa perbedaan itu dengan kelompok yang dipimpinnya, seorang pemimpin hanya akan menjadi (sehebat-hebatnya) biasa-biasa saja. Hanya anggota dari sebuah keriuhan.

    Tanpa perbedaan itu, kelompok yang ia pimpin juga tidak akan menjadi istimewa. Sekadar ada dan berputar mengikuti suratan nasib.

    Namun yang paling sulit bagi pemimpin bukanlah kepemilikan visi dan misi. Yang paling sulit, terutama sekali bagi mereka yang sukses, adalah membaca tanda-tanda zaman untuk memutuskan kapan harus berhenti. Untuk mengatakan cukup adalah cukup. Sebab, kalau tidak selalu akan ada mimpi baru, selalu ada tantangan berikutnya, selalu ada yang belum selesai, selalu ada utang yang belum terbayar, dan seringkali ego yang terus membesar.

    Itu sebab di negara-negara maju dengan sistem politik (demokrasi) yang mapan ada pembatasan masa jabatan. Sebuah pemaksaan sistemik eksternal untuk memberi closure (akhir-penutupan-batas) atas masa sebuah kepemimpinan.

    Sebuah pembatasan untuk mencegah pembengkakan ego. Pengakuan akan keterbatasan energi, melemahnya intelektualitas, dan dalam beberapa hal kemungkinan kaburnya spiritualitas.

    Sebuah pembatasan berdasar kesadaran bahwa visi mempunyai batas rentang masa. Apa yang visioner sepuluh tahun lalu menjadi tidak lagi visioner pada waktu sekarang atau lima tahun kedepan. Waktu dan tantangan selalu bergerak seirama dan terus membutuhkan ide-ide baru dan segar untuk mengantisipasinya.

    Kalaupun harus berhenti sebelum waktunya karena berbagai sebab yang force majeure sifatnya, itu juga bisa dilakukan.

    Tetapi itu politik. Ketika (dianggap) kemaslahatan manusia dan kemanusiaan menjadi taruhannya. Karenanya tak bisa disepelekan.

    Bagaimana kalau hanya untuk urusan sesederhana sepakbola misalnya? Lebih sempit atau lebih sepele lagi, bagaimana kalau hanya untuk urusan manajer/pelatih sepakbola? Bisakah narasi dan logika kepemimpinan yang sama digunakan?

    Ini untuk mencoba memahami apa yang sedang terjadi dengan Arsenal dan Arsene Wenger-nya. Ketika suara terpecah antara mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin memberhentikan manajer asal Prancis yang telah memegang klub London utara itu selama 20 tahun terakhir.

    Sudah menjadi pengetahuan umum, kedatangan Wenger ke Inggris bukan hanya mengubah wajah persepakbolaan di Arsenal tetapi juga Inggris. Ia mengoyak insularitas dunia persepakbolaan Inggris yang merasa segala sesuatu yang datang dari luar layak dicurigai. Tercermin dari pertanyaan cemooh pendukung Arsenal sendiri, -- Arsene who?-- diawal kedatangannya menjadi pernyataan takluk total In Arsene we trust di belakang hari.

    Bekas manajer Inggris Graham Taylor menyebut Wenger-lah yang bertanggung jawab memperkenalkan filosofi totalitas hidup untuk sepakbola di Inggris. Saat pemain harus menyeimbangkan pola latihan dan istirahatnya, menjaga apa yang dikonsumsi, dan mendekati segala sesuatu secara ilmiah. Saat segala daya hidup -- bahkan konon hingga merancang akustik stadion dan mengukur ketebalan rumput lapangan -- terpusat hanya untuk menampilkan permainan paling maksimal di lapangan.

    Jelas bahwa Wenger seorang visionaris dan misionaris dengan kapasitas energi, spiritualitas, dan intelektualitas yang lebih dari cukup. Ia mempunyai mimpi tentang bagaimana hidup dan sepakbola bisa bersatu dengan indah dan harmonis. Di dalam dan luar lapangan.

    Ia menghadirkan tiga gelar juara Liga Primer dan enam Piala FA untuk Arsenal. Menghadirkan the invincibles di tahun 2002/03. Komentator ternama dan bekas pemain legendaris Liverpool, Alan Hansen, menyebut tim Arsenal 2004 adalah yang paling mematikan sepanjang sejarah persepakbolaan Inggris. Yang lain menyebut Arsenal (di bawah Wenger) dari tahun ke tahun adalah jaminan keindahan dalam bersepakbola dan karenanya jaminan (puncak) hiburan.

    Ia juga menciptakan stabilitas keuangan secara mandiri untuk Arsenal lewat kelihaiannya berjual beli pemain. Merombak sistem akademi untuk memastikan pasokan pemain berkarakter Arsenal yang ia inginkan. Membangunkan stadion mutakhir dengan skema pembayaran, termasuk menjual hak nama stadion, yang pada akhirnya membiayai dirinya sendiri setelah jangka waktu tertentu.

    Tak heran, bekas bosnya di Arsenal dan orang yang bertanggung jawab membawanya ke Inggris, David Dein, menyebut Wenger sebagai manajer terpenting dalam sejarah Arsenal.

    Namun, di tengah semua keluarbiasaannya tersebut ada satu persoalan yang sangat mengganggu: Arsenal tidak pernah bisa mendominasi dunia persepakbolaan domestik Inggris. Apalagi Eropa. Perlu diperhatikan kecuali dua Piala FA di tahun 2013/14 dan 2014/15, semua kesuksesan Wenger diraih di delapan tahun pertamanya memegang Arsenal.

    Untuk semua keluarbiasaannya, entah untuk alasan apa dan bagaimana awalnya, setelah delapan tahun pertamanya di Arsenal, Wenger terkesan mengejar yang penting masuk empat besar Liga Primer yang lain urusan nanti. Mungkin karena alasan beban untuk menciptakan stabilitas keuangan Arsenal. Empat besar Liga Primer member jaminan terlibat di Liga Champions yang berarti pemasukan yang cukup.

    Tetapi ini seperti mengkhianati sosok Wenger di delapan tahun pertamanya di Arsenal. Wenger yang menuntut kesempurnaan untuk selalu berusaha memenangkan Liga dengan segala daya upaya.

    Ini seperti mementingkan kultur perusahaan untuk meraih untung sebesar-besarnya di atas kultur klub sepakbola untuk meraih prestasi sehebat mungkin. Wenger di awal seperti menjanjikan perpaduan.

    Ada sekelompok pengamat dan pendukung Arsenal yang menganggap mementingkan kultur perusahaan inilah yang sekarang sangat berbahaya. Kultur Arsenal sebagai sebuah perusahaan dalam jangka panjang dianggap merusak dan melembekkan semangat bersaing Arsenal sebagai sebuah institusi olahraga. Sebuah pengkhinatan dalam bentuk berbeda.

    Mereka yang berpikir seperti ini adalah yang belakangan kencang menyuarakan agar Wenger mundur saja. Kalaupun tidak mundur total dari Arsenal, untuk berpindah dalam kapasitas yang berbeda. Visi dan misi Wenger telah mulai kedaluwarsa dan dibutuhkan ide baru dan orang baru untuk membawa Arsenal ke tingkat berikutnya.



    Didera berbagai serangan dari berbagai kubu, pengamat dan yang lebih menyakitkan lagi sebagian pendukung Arsenal sendiri yang sebelumnya mendewakannya, Wenger belum lama ini membuat pernyataan yang terkesan kehilangan kontrol: "Saya membangun Arsenal sendirian."

    Mungkin sebuah mekanisme pertahanan diri. Keterpaksaan untuk menunjukkan/mengingatkan para pengritiknya akan arti penting dirinya bagi Arsenal. Mungkin juga sebuah keterusikan ego.



    Lalu apa yang yang harus dilakukan dengan problem seperti Arsenal dan Arsene Wenger ini?

    Ada istilah Greek tragedy (tragedi Yunani) dalam bahasa Inggris. Pelajaran hidup, sesuai namanya, yang berasal dari pentas drama Yunani (kuno). Ketika tokoh protagonis -- biasanya orang penting dan punya kualitas kemanusiaan yang baik--, namun yang bersangkutan terpuruk hancur karena tidak mampu mengelola persoalan pribadi maupun gagal memahami perubahan yang terjadi di sekitarnya.

    Akan menjadi akhir yang pilu kalau itu benar terjadi nantinya.

    ====

    * Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68


    Baca juga:

    West Ham, Tentang Mimpi yang Mati
    Maafkan Kami, Bournemouth
    Swansea, Kobar Api Kehidupan
    Pesepakbola Skandinavia dan Falsafah Janteloven
    Ego Seluas Lapangan Bola
    Romantisme tanpa Rasa Congkak

    (a2s/roz)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game