Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Umpan Silang

    Emas Olimpiade dan Budaya Kompetitif

    Fritz E. Simandjuntak - detikSport
    Foto: David Ramos/Getty Images for BEGOC Foto: David Ramos/Getty Images for BEGOC
    Jakarta - Keberhasilan Indonesia meraih tiga medali (1 emas dan 2 perak) di Olimpiade Rio 2016 menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah prestasi yang dicapai Tontowi Achmad/Lilyana Natsir, Sri Wahyuni dan Eko Irawan, memberikan inspirasi dan budaya baru bagi seluruh insan masyarakat di Indonesia? Kenapa pertanyaan ini saya munculkan?

    Pertama, apa yang dicapai oleh keempat atlet tersebut merupakan sebuah proses panjang. Lilyana Natsir, atau dikenal dengan panggilan Butet misalnya, sejak usia 12 tahun berani meninggalkan sekolah dan keluarga di Manado untuk berlatih bulutangkis di Jakarta. Setiap hari Butet berlatih sekitar 7-8 jam.

    Misal yang lain, atlet angkat besi peraih medali perak Olimpiade Rio 2016, Sri Wahyuni Agustini, menjalani latihannya dengan fasilitas yang sama sekali tidak memadai dan layaknya berada di kolong jembatan karena panas yang sangat menyengat.

    Foto: REUTERS/Stoyan Nenov

    Kedua, dukungan orangtua sejak usia dini sangat dibutuhkan. Dalam perjalanannya, kangen orangtua sempat membuat Butet berpikir untuk berhenti sebagai atlet bulutangkis. Apalagi Butet sudah tidak melanjutkan sekolahnya lagi sejak lulus SD. Tetapi ibunya memberi semangat agar Butet terus berlatih dan menekuni karier sebagai pebulutangkis. Dorongan ibunya membuat Butet lebih fokus untuk meraih prestasi terbaiknya.

    Ketiga, para patriot olahraga adalah atlet yang mengibarkan bendera merah putih, bahkan lagu Indonesia Raya, sebagai WNI yang sebagian besar waktunya menekuni latihan di Indonesia. Meskipun ada tawaran pindah kewarganegaraan dengan fasilitas latihan, honor dan masa depan yang lebih baik, mereka tidak pernah mau kompromi dengan tawaran tersebut.

    Proses yang dijalankan oleh patriot olahraga di Olimpiade Rio 2016 merupakan sebuah artikulasi nilai-nilai bangsa Indonesia dalam mencapai prestasi tinggi: ketekunan, kejujuran, pantang menyerah, kerja sama, kecintaan akan tanah air. Ini sekaligus memberikan pelajaran yang sangat baik bagi kita dalam menatap dan menjalani masa depan kehidupan yang lebih kompetitif yaitu: memiliki tujuan setinggi-tingginya, bersikap positif, suasana hati yang selalu damai.

    Terbangunnya budaya kompetitif inilah yang diharapkan bisa kita bangun dari olahraga. Budaya kompetitif berarti ada yang menang dan ada yang kalah. Persaingan ketat di dunia olahraga membuat presentasi yang gagal jauh lebih banyak dari pada yang berhasil. Dari 28 atlet yang berlaga, hanya 4 atlet yang berhasil meraih medali di Olimpiade Rio 2016. Hal yang sama juga dialami negara lain. China mengirimkan 416 atlet dan hanya berhasil menempati peringkat ke-3 dengan mengumpulkan 70 keping medali. Bisa dikatakan, lebih dari 300 atlet China pulang tanpa medali apapun. Meskipun demikian pemerintah negara seperti China, Korea Selatan, Inggris Raya (Great Britain) dan Malaysia terus menggelontorkan dana besar untuk pembinaan olahraga. Agar budaya kompetitif tetap tumbuh di masyarakat.


    Sayangnya di Indonesia proses pengembangan olahraga di akar rumput dan usia dini sebagai awal proses membangun budaya kompetitif tidak berjalan dengan baik. Di samping karena pemerintah lebih banyak menggelontorkan dana besar untuk pembinaan atlet elit atau yang sudah jadi, juga minimnya infrastruktur sarana dan prasarana olahraga yang memadai untuk berlatih dan bertanding olahraga di tengah-tengah masyarakat. Padahal dari sanalah dimulai proses membangun nilai-nilai sebagai bangsa olahraga (Sport Nation).


    Perhatian kepada atlet usia dini dan pelajar diperlihatkan oleh Amerika Serikat. Selain sekolah-sekolah memiliki fasilitas olahraga yang lengkap, anak-anak tingkat SD, SMP dan SMA yang berprestasi dalam kompetisi lokal mendapat tanda penghargaan langsung dari Presiden AS. Meskipun tanda tangannya berupa cetakan, namun itu memperlihatkan besarnya perhatian seorang kepala negara terhadap pembinaan olahraga di akar rumput.

    Hubungan sosial di era demokrasi ini membutuhkan perangkat lunak perilaku masyarakat dengan nilai-nilai kerjasama, konsensus, sportif, jujur, taat pada aturan main, prestasi tinggi, untuk meningkatkan daya saing lebih tinggi lagi. Semua nilai-nilai tersebut telah ditunjukkan sebagai karya besar parta atlet Indonesia di Olimpiade Rio 2016. Kerja nyata tanpa kualitas tinggi bukan milik masyarakat olahraga seperti Owi/Butet, Sri Wahyuni dan Eko Yuli Irawan. Sebagai patriot olahraga mereka layak mendapat lebih besar dari Rp 5 miliar.

    Terima kasih Patriot Olahraga!

    ====
    * Penulis adalah sosiolog, pengamat olahraga.


    (a2s/fem)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game