Wartawati Olahraga: Lebih dari Sekadar Cantik

"Perempuan bicara tentang taktik sepakbola, itu sungguh indah. Saya pikir, itu fantastis. Anda tahu maksudnya formasi 4-3-3, kan?" ujar pelatih Paris St Germain, Laurent Blanc, menanggapi pertanyaan seorang wartawati bernama Johanna Franden.
Sebelumnya, wartawati dari media Aftonbladet (Swedia) itu menanyakan soal perubahan taktik oleh Blanc. Lantas Franden membalas ucapan pelatih PSG itu dengan mengatakan "ya memang pekerjaan saya untuk mengetahui apa artinya". Blanc pun menimpali "Maksud saya, ada banyak taktik dalam sepakbola. Ha ha--saya hanya bercanda". (“Sexism in sport: Why do internet trolls target women?”, CNN.com, 6 Maret 2014).
"Cukup sulit jika Anda reporter (olahraga) yang masih muda, dan Anda adalah perempuan. Setiap saya mendapatkan berita bagus, saya harus berhadapan dengan orang-orang yang berpikir bahwa berita bagus itu bersumber dari mimpi saya. Itu mengerikan. Kritiklah apa yang saya tulis, bukan mengkritik hanya karena saya seorang wanita," kata Laura Williamson, wartawati sepakbola dari Daily Mail (Inggris).
Dua alinea di atas menggambarkan bagaimana besarnya tantangan yang dihadapi jurnalis perempuan (atau wartawati) olahraga. Di dunia olahraga yang "maskulin", kaum hawa menjadi minoritas. Di Inggris Raya misalnya, jumlah wartawati olahraga hanya 10 persen dari total seluruh jurnalis olahraga. Angka tersebut lebih kecil dari jumlah perempuan anggota House of Commons (22 persen) dan rohaniwan perempuan di Gereja Inggris (20 persen). (“The top 12 women sports journalists”, sportsgazette.co.uk, November 2014).
Wartawati olahraga lebih sering diperhatikan dari sisi kecantikan, pakaian, serta dandanan; tetapi tidak dari pengetahuan mengenai olahraga yang mereka miliki. Ketika kita mengetik kata "top women sports journalist" melalui mesin pencari Google, maka yang muncul adalah nama-nama presenter olahraga yang terkenal karena keglamoran mereka, tetapi tidak mencantumkan kemampuan mereka sebagai jurnalis.
Wartawati Olahraga: Disepelekan dan Dilecehkan
Soal kualitas teknis, wartawati olahraga masih sering disepelekan. Bahkan ketika mereka memiliki pengetahuan olahraga yang mumpuni sekali pun, para wartawati itu tetap diremehkan. Mereka yang menganggap remeh umumnya adalah narasumber, audiens, dan bahkan rekan sejawat, dan seluruhnya adalah laki-laki.
Kasus yang sangat buruk terjadi di tahun 1990 di Amerika Serikat, menimpa wartawati Lisa Olsson. Ketika itu Olsson masuk ke ruang ganti pemain, guna mewawancarai pemain bernama Jimmy Williams. Olsson menunggu Williams di depan ruang perawatan. Namun para pemain yang lain menuding Olsson berada di situ hanya karena ingin melihat para pemain dalam keadaan tanpa busana, bukan melakukan liputan. Bukan hanya tuduhan miring yang menimpa si wartawati. Seorang pemain, Zeke Mowatt, mencoba melakukan pelecehan seksual pada Olsson (“Women in Sports Journalism”, 2009: 15-16).
Setelah kejadian itu, sial bagi Olsson, para pemain, fans, dan pelatih justru ramai-ramai mencibirnya. Fans meludahi Olsson, di depan apartemen Olsson tertulis grafiti “wanita tuna susila”, sekelompok fans pria melakukan chant di depan tribun media (press box), meminta Olsson untuk menyingkap pakaian dan memamerkan tubuhnya. Tak tahan dengan itu semua, Olsson memilih pindah ke Australia.

Dua dekade kemudian, kondisi tersebut mulai mengalami perubahan. Para pemain, manajer, tidak lagi memandang wartawati olahraga sebagai "makhluk asing" -- meski masih terjadi manajer atau pelatih menyebut wartawati dengan panggilan “darling” atau “love”. Sebuah contoh menarik dari pengalaman wartawati Ann Killion. Saat ia tengah hamil, para narasumber berbicara dengan nada yang lebih lembut kepadanya. Namun begitu para pembaca/pemirsa (audiens) laki-laki masih menjadi "musuh" terbesar bagi para wartawati. Terlebih lagi dengan hadirnya internet, audiens dapat mengekspresikan apa yang mereka inginkan. Audiens (laki-laki) masih menganggap wartawati olahraga tidak mengerti apa-apa tentang olahraga, karena mereka adalah perempuan.
Berkaitan dengan audiens tergambar dalam beberapa kasus berikut. Ketika pertama kali ditunjuk sebagai komentator untuk program acara "Match of the Day" di BBC (tahun 2007), Jacqui Oatley mendapatkan respons minor dari publik. Sebuah surat kabar membuat jajak pendapat apakah Oatley layak atau tidak untuk mengisi acara "Match of the Day". Bahkan ada surat kabar yang mengangkat headline "Apakah Sepakbola sudah siap dengan Jacqui Oatley?" Kejadian hampir mirip dialami Laura Williamson, di mana redaksi Mail Online kerepotan menyaring komentar-komentar pembaca yang bernada miring berkaitan dengan tulisan Williamson (“Sexism in sport: Why do internet trolls target women?”, CNN.com, 6 Maret 2014).
Pandangan rendah juga hadir dari rekan seprofesi. Betthany Shine dalam tulisan berjudul "Where are all the female sports journalists?" di Sports Gazzette menceritakan pengalamannya datang ke konferensi pers turnamen rugbi di Wales. Dia adalah satu-satunya jurnalis perempuan di ruangan itu. Kemudian ada seorang jurnalis laki-laki bertanya pada Shine soal kapan teh dan kopi akan dihidangkan. Shine menjawab tujuannya hadir di jumpa pers adalah mewawancarai Alun Wyn Jones, bukan bertemu dengan seksi konsumsi. Menurut Shine "sikap dan pola pikir lama seperti itu, tak diragukan lagi, telah membuat perempuan berpikir dua kali untuk menjadi jurnalis olahraga”.
Wartawati Olahraga: Kondisi di Indonesia
Bagaimana dengan di Indonesia? Berdasarkan pengamatan dari susunan redaksi di beberapa media di Indonesia, rata rata jumlah wartawati dalam desk olahraga sebuah media rata rata 25 persen dari total awak redaksi.
Wartawati olahraga menjalani jadwal yang relatif sama dengan para koleganya yang laki-laki. Ketika kita mengakses dari media online Indonesia, kita akan menemukan nama-nama wartawati menulis berita pertandingan yang berlangsung pada malam hari hingga dinihari. Itu berarti, para kaum hawa tersebut bekerja pada malam hingga pagi hari. Tak hanya itu, beberapa presenter olahraga perempuan juga bersiaran di waktu pertandingan dinihari. Itu berarti si presenter sudah harus hadir di studio televisi maksimal satu jam sebelum kick-off. Ketika pertandingan berlangsung pukul 1 atau 2 dinihari, bisa Anda perkirakan, jam berapa si presenter sudah harus standby.
Sebuah waktu kerja yang cukup besar risikonya bagi kaum perempuan. Wanita yang kerap dapat shift malam sulit untuk mengandung, berisiko terkena kanker payudara, berpotensi meningkatkan peluang gangguan siklus menstruasi, dan keguguran. (“Kerap Dapat Shift Malam, 80 Persen Wanita Sulit Hamil”, detikHealth.com, 10 Juli 2013). Tak hanya risiko kesehatan, tetapi faktor keamanan ketika berangkat dan/atau pulang bekerja serta faktor pandangan masyarakat, turut menjadi tantangan bagi para wartawati olahraga.
Memang, belum ada riset secara khusus yang membahas tentang perempuan jurnalis olahraga di Indonesia. Riset yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen berjudul “Jejak Jurnalis Perempuan” (2012) dapat menjadi gambaran seperti apa tantangan yang dihadapi para wartawati di Indonesia secara umum. Berdasarkan Indeks Importance Performance Analysis ada sejumlah hal yang menurut para responden perlu diperbaiki. Prioritas pertama adalah: cuti haid, kesempatan untuk laktasi, tempat penitipan anak dan pemberian waktu istirahat. Prioritas kedua adalah kondisi jam kerja, perlindungan kerja, asuransi, jamsostek, cuti melahirkan dan kesempatan menjadi pengambil kebijakan. Priorotas ketiga adalah gaji rutin, tunjangan makan, tunjangan transportasi, cuti tahunan dan kesempatan mendapatkan pendidikan tambahan.
Persoalan lain yang masih adalah belum banyaknya jumlah jurnalis perempuan yang duduk sebagai pengambil kebijakan di media. Padahal untuk mengubah sebuah kebijakan, lebih baik ada banyak jurnalis perempuan lagi yang menduduki posisi ini. Dari pengamatan terhadap susunan redaksi di beberaa media di Indonesia – baik itu media umum yang memiliki desk olahraga atau memang media yang khusus membahas tentang olahraga, mayoritas menempati posisi sebagai reporter. Tidak banyak yang menempati posisi menengah (level wakil redaktur ke atas). Kalau pun ada, umumnya menempati divisi non redaksi (yang tidak mengurusi konten atau isi pemberitaan), seperti sekretaris redaksi, bagian periklanan, bagian pemasaran, dan lain lain.

Kondisi tersebut memberikan tantangan bagi pengelola media tentang bagaimana memperlakukan jurnalis perempuan, termasuk wartawati olahraga. Permasalahan akan semakin kompleks ketika si wartawati sudah berkeluarga dan memiliki anak. Permasalahan yang ada di prioritas pertama dan kedua menggambarkan hal tersebut (kesempatan laktasi, tempat penitipan anak, pemberian waktu isitirahat, kondisi jam kerja, perlindungan kerja, cuti melahirkan).
Perlunya Membalas “Cinta” Wartawati Olahraga
Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang harus dikelola oleh manajemen media (selain itu ada finansial, teknologi, peralatan, bahan baku, pasar, dan metode). Manusia memiliki kebutuhan biologis, psikologis, dan makhluk sosial. Sebagai makhluk biologis, manusia membutuhkan di antaranya asupan makanan dan minuman yang cukup, waktu istirahat yang cukup. Sebagai makhluk psikologis, manusia membutuhkan rasa aman, rasa mencintai dan dicintai. Sebagai makhuk sosial, manusia membutuhkan sosialisasi, berorganisasi, dan sebagainya. Ketika salah satu dari aspek kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka keseimbangan hidup akan terganggu.
Sumber daya manusia adalah aset bagi perusahaan. Ketika wartawati olahraga mencintai pekerjaannya, ada baiknya perusahaan media membalas cinta itu dengan memberikan fasilitas yang selayaknya. Pendapat Edda Sif Palsdottir, mantan wartawati olahraga di Islandia mungkin juga dapat menjadi renungan para pengelola media, termasuk di Indonesia.
Palsdottir mengaku mencintai pekerjaannya sebagai jurnalis olahraga, tetapi pada akhirnya ia memilih menyerah karena ia kesulitan untuk menjalani hidup secara normal. "Saya selalu melewatkan acara ulang tahun, perayaan kelulusan, pernikahan, dan pesta makan malam karena selalu bentrok dengan waktu kerja saya. Bahkan ketika waktu kerja bukan shift saya, saya masih harus mengerjakan tugas lain," lugasnya (“Difficult Environment for Female Journalists”, projourno.org, 23 Juli 2014)
"Gaya hidup saya menjadi sangat melelahkan dan kita tidak bisa seperti ini selamanya, bukan hanya ketika kita sudah punya anak. Kehilangan event event besar dalam hidup saya merupakan alasan saya berganti pekerjaan, meski pun saya mencintai pekerjaan jurnalis ini," tambah dia.
Ada beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan oleh pengelola media. Pertama memberikan fasilitas yang diharapkan, walau mungkin memang tidak bisa seluruhnya terpenuhi. Kedua memberikan waktu kerja yang lebih “ramah” bagi wartawati. Ketiga, memberikan wartawati menempati posisi manajerial agar dapat muncul kebijakan kebijakan yang akomodatif terhadap jurnalis perempuan.
===
*) Artikel ditulis dalam rangka Hari Pers Nasional, 9 Februari. Penulis adalah dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
(krs/a2s)