Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Umpan Silang

    Orientasi Estetik vs Orientasi Heroik dalam Olahraga

    Narayana Mahendra Prastya* - detikSport
    Ilustrasi: AFP Ilustrasi: AFP
    Jakarta - <p>Di era sekarang, olahraga tidak hanya sekadar hasil akhir: menang atau kalah. Gaya permainan pun juga ikut menjadi pertimbangan apresiasi publik. Menang tapi dengan cara yang membosankan, sudah pasti dikritik. Sementara kalah tetapi telah bertanding dengan gaya, masih layak mendapat pujian. Pelaku olahraga pun menghadapi dilema, harus memilih orientasi estetik atau orientasi heroik guna mewarnai langkah perjuangannya.<br /><br />Membosankan. Mungkin itu yang terlintas ketika mencermati sejumlah pertandingan olahraga berlangsung dalam beberapa hari terakhir. Dari cabang sepakbola, Chelsea --yang berhasil mengunci gelar juara Premier League 2014/2015- dicap sebagai tim yang menunjukkan gaya bermain yang bikin ngantuk. Dari ring tinju, Floyd Mayweather Jr kemarin menang angka atas Manny Pacuqiao dalam laga bertajuk <em>&ldquo;Fight of The Century&rdquo; &ndash;</em> label yang sangat &ldquo;wah&rdquo; &ndash; dengan gaya bertarung yang tidak "<em>gentle"</em>. Di lintasan MotoGP, Jorge Lorenzo berhasil memenangi adu cepat di sirkuit Jerez, Spanyol, dalam balapan yang berlangsung tanpa <em>greget.</em><br /><br />Mundur ke beberapa tahun silam. Tahun 2004, tim nasional Yunani menjadi buah bibir karena kesuksesan menjuarai Piala Eropa sekaligus melangkahi negara negara unggulan macam Prancis dan tuan rumah Portugal. Tetapi, tim asuahan Otto Rehhaggel juga dicibir karena strategi bertahan yang mereka terapkan. Nicky Hayden menjuarai MotoGP 2006 usai memenangi persaingan dengan pembalap top seperti Valentino Rossi. Tak Cuma prestasi, namun gaya membalap Hayden yang cenderung &ldquo;main aman&rdquo; juga menjadi sorotan.<br /><br />Sudah jamak terjadi, sebuah tim atau atlet yang meraih prestasi melalui cara yang membosankan cenderung menjadi buah bibir. Cara mereka meraih prestasi menjadi topik yang dominan, melampaui dari prestasi yang telah diperoleh.<br /><br />Lain halnya dengan mereka yang berasil memperoleh juara dengan gaya. Tim nasional Spanyol sempat mempesona dunia dengan gaya<em> tiki taka.</em> Begitu pula dengan Barcelona yang menerapkan gaya sepakbola indah. Belanda dengan gaya <em>Total Voetbal </em>terus mendapatkan acungan jempol. Meski begitu, kita juga tidak dapat memungkiri fakta bahwa keindahan tersebut tak selalu berujung dengan kesuksesan.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/sport-detik/FotC.jpg" alt="" width="460" height="324" /><br /><br />Sebenarnya, apa salahnya bermain (dengan cara yang dianggap) buruk tetapi juara? Asalkan tidak melanggar aturan permainan, tentu itu sah sah saja. Tuntutan itu, menurut Jay Coakley dalam buku <em>Sports and Societies: Issues and Controversies</em> (2003) hadir akibat komersialisasi olahraga, khususnya peran media. Kehadiran media telah menjadikan olahraga menjadi komersil. Hal tersbut membuat olahraga tidak hanya melulu soal prestasi, tetapi juga harus bisa dijual. Agar bisa dijual, olahraga harus menarik perhatian orang banyak. Tuntutan komersial tersbut membuat para pelaku olahraga atlet, pemain, pelatih, perlu menambahkan orientasinya.<br /><br />Ada dua orientasi para pelaku olahraga yakni orientasi estetis (<em>aesthtetic orientation</em>) dan orientasi heroik (<em>heroic orientation</em>). Beberapa ciri dari orientasi estetis adalah: (1) pergerakan yang menonjolkan keindahan dan kesenangan, (2) kemampuan untuk menunjukkan kemampuan teknis, dan (3) keinginan untuk mengeksplorasi sampai batas mana kemampuan dia. Sementara orientasi herois menekankan pada (1) pergerakan pergerakan yang mengundang decak kagum, (2) kemampuan untuk menampilkan ekspresi ekspresi dramatis, (3) keinginan untuk melampaui batas keamampuan (Coakley, 2003: 378). Itu berarti, orientasi aestetis hanya membutuhkan sedikit show untuk menghibur, sementara orientasi herois membutuhkan banyak show untuk menghibur.<br /><br />Orientasi heroik menimbulkan perdebatan di kalangan olahraga. Ada yang pro karena sebagai atlet mereka merasa perlu memberikan kepada penonton aksi aksi menghibur. Sementara yang kontara menilai bahwa menampilkan aksi heroik akan berisiko terhadap karir mereka, mulai dari cedera parah hingga kegagalan mencapai tujuan utama.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/sport-detik/lone1.jpg" alt="" width="460" height="306" /><br /><br /><strong>Tuntutan Komersial versus Tuntutan Prestasi</strong><br /><br />Semua pelaku olahraga sudah jelas punya keinginan untuk meraih prestasi terbaik. Guna mewujudkan keinginan itu, pelaku olahraga harus memperhitungkan sumber daya yang mereka punyai. Bagi sebuah tim, sumber daya tersebut misalkan kuantitas dan kualitas pemain. Sebagai contoh Juventus. Beberapa saat usai mengantar Bianconeri merengkuh juara Serie A musim 2014/15, pelatih Massimiliano Allegri mengatakan tidak malu apabila Gianluigi Buffon dkk. harus main bertahan dan hanya menang dengan skor tipis.<br /><br />Ini tentu berkaitan dengan sumber daya Juventus yang juga tengah bertarung di Coppa Italia dan Liga Champions. Allegri mungkin menilai skuatnya bakal habis jika harus selalu &ldquo;menggeber gas&rdquo; di tiga front. Itu sebabnya ia kemudian mengatur cara agar pasukannya dapat bertahan di semua kompetisi yang diikuti. Seandainya Allegri mengedepankan &ldquo;orientasi herois&rdquo;, mungkin Juventus tidak akan dapat melaju sejauh ini (khususnya di Liga Champions).<br /><br />Kejadian hampir mirip muncul dalam laga Chelsea kontra Crystal Palace. Laga yang dimenangi <em>The Blues </em>itu sekaligus mengatarkan gelar juara Premier League 2014/15 mendarat ke Stamdord Bridge. <em>Guardian </em>online menulis, Chelsea mengakhiri pertandingan itu dengan enam pemain bertahan. <em>&ldquo;Today was not a game to enjoy. Today was a day to finish the job,&rdquo;</em> tukas manajer Jose Mourinho.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/sport-detik/mou-eden.jpg" alt="" width="460" height="298" /><br /><br />Komersialisasi olahraga telah menambah tuntutan dalam olahraga. Tidak hanya kemenangan, tetapi juga cara yang indah dalam meraih kemenangan tersebut. Pelaku olahraga tidak hanya dituntut untuk berprestasi, tetapi juga tampil menghibur. Jika sekadar berprestasi, maka yang gembira mungkin hanya kalangan kecil yakni kalangan suporter klub atau atlet tersebut. Tetapi jika dapat merengkuh hasil terbaik via penampilan indah, maka klub atau atlet tersebut akan mendapatkan apresiasi dari kalangan luas. Bahkan bukan mustahil apabila para rival juga kemudian memberikan respek. Para rival merasa &ldquo;pantas kalah&rdquo; dari musuh yang tampil bagus.<br /><br />Perdebatan tersebut akan terus muncul dalam waktu mendatang. Mereka yang menggunakan strategi &ldquo;negatif&rdquo; tentu harus terus memberikan klarifikasi atas pilihan mereka. Mereka yang menggunakan strategi &ldquo;pragmatis&rdquo;, &ldquo;yang penting menang&rdquo;, tentu harus terus menambahkan kata kata &ldquo;tidak malu&rdquo; dalam pernyataan mereka.<br /><br />Wajar apabila orang menuntut lebih dari para pelaku olahraga. Motivasi orang menonton olahraga di antaranya adalah mencari hiburan, pelepasan dari tekanan, dan untuk membangkitkan semangat (<em>A Cognitive Psychology of Mass Communication</em>, Richard Jackson Harris, 2009). Itu sebabnya, pelaku olahraga perlu menambahkan aksi heroik agar mampu menarik perhatian audiens dalam jumlah besar. Tuntutan menghadirkan aksi herois itu makin besar karena sebagian dari penonton olahraga saat ini merupakan audiens massa yang mencari dan fokus pada hal hal heroik. Mereka kurang mengetahui teknis olahraga secara detil (Coakley, 2003).<br /><br />===<br /><br />* Penulis adalah dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.<br /><br /></p> (a2s/roz)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game