Ketika Liverpool Tak Lagi Beraroma Scouse

Keputusan Steven Gerrard meninggalkan Liverpool tak hanya memutus cerita 17 tahun kesetiaannya bersama The Reds. Kepergian Gerrard juga seolah menjadi penegas kian memudarnya aroma Scouse di kubu Merseyside Merah.
Perhatikan susunan pemain dalam skuat Liverpool musim ini. Dari sekian nama hanya Jon Flanagan dan Jordan Rossiter yang merupakan pemain lokal Merseyside. Keduanya sama-sama lahir di kota Liverpool dan produk asli akademi The Reds.
Selain Flano dan Rossiter sebelumnya ada Rickie Lambert, pemain kelahiran Kirkby yang juga menuntut ilmu di akademi Liverpool hingga berusia 15 tahun. Akan tetapi Liverpool kemudian menerima tawaran 3 juta pound dari West Bromwich Albion untuk membeli Lambert.
Lembert tak masuk dalam rencana masa depan manajer Brendan Rodgers. West Brom sangat berminat padanya sejak musim lalu dan Liverpool harus melepas sejumlah striker lawas menyusul bergabungnya Danny Ings dan Christian Benteke. Di lain sisi, Lambert juga tak ingin menghabiskan sisa kariernya di bangku cadangan.
Tinggallah Flanagan dan Rossiter sebagai pemain asli Merseyside di dalam skuat Liverpool. Dua orang Scouse di klubnya Scouser. Ini jadi yang tersedikit sejak Premier League bergulir 23 tahun lalu. Bagi fan tradisional Liverpool, ini mungkin fakta yang tak mengenakkan. Terlebih status Flanagan cuma di atas kertas kontrak, sebab bek berusia 22 tahun ini masih bergelut dengan cedera panjang.
Tampil impresif di musim 2013/14, Flanagan jadi pesakitan dengan tak sekalipun bermain sepanjang musim 2014/15. Ia bahkan terancam absen hingga pertengahan musim 2015/16. Masuk akal jika manajemen klub hanya memberinya perpanjangan kontrak selama setahun beberapa waktu lalu.
Jika nanti dinilai tak tampil bagus saat pulih dari cedera, Flanagan boleh pindah ke klub lain dengan status bebas transfer tahun depan.
Rossiter juga baru saja mendapat cedera parah. Ia diragukan bisa mendapat menit bermain yang cukup mengingat lini tengah Liverpool sesak oleh gelandang-gelandang senior lebih berpengalaman.
Nostalgia Kejayaan Pemain Akademi
Kondisi ini berbeda jauh dari saat Liverpool tengah berada di masa jaya, atau setidaknya hingga 2000-an awal. Saat di mana banyak pemain asli Lancashire (sebelum dipecah menjadi dua wilayah pada April 1974) dan kemudian Merseyside yang menghiasi daftar skuat, sebagian besar di antaranya merupakan lulusan akademi klub.
Di era 80-an "Si Merah" punya John 'Aldo' Aldridge sebagai andalan di lini depan. Kisah bergabungnya striker kelahiran kota asal The Beatles tersebut sungguh emosional.
Aldridge sempat menjalani trial di Melwood pada 1974, namun Liverpool hanya memberinya janji "akan mengabari via telepon" saat masa trial berakhir. Tak pernah ada telepon dari Liverpool untuk Aldridge. Ia dinilai tak prospektif saat itu. Telepon dari Anfield baru diterima Aldridge 13 tahun kemudian. Aldo "dipulangkan" dari Oxford United untuk mengisi kekosongan di lini depan pasca-kepergian Ian Rush ke Juventus.
Pembelian Aldo mirip dengan bergabungnya Lambert pada 2014 lalu. Perbedaannya terletak pada akhir cerita. Aldridge berkembang sebagai striker utama dan mempersembahkan masing-masing satu gelar juara liga dan Piala FA, plus dua trofi Charity Shield. Keberadaan Aldo membuat Rush susah payah merebut kembali posisinya di tim inti Liverpool ketika kembali bergabung pada 1988.
Sementara itu, Lambert harus puas menjadi penyerang pelapis dan nirgelar. Ia hanya mencetak dua gol dari 25 penampilan di liga, sampai akhirnya dijual ke West Brom menyusul perombakan lini depan yang dilakukan manajer Brendan Rodgers musim ini.
Lepas dari generasi Aldridge ada Steve McManaman, gelandang yang disebut situs resmi UEFA sebagai pemain tengah Inggris tersukses di level Eropa. Macca memberi trofi Piala FA dan Piala Liga untuk Liverpool sebelum pindah ke Real Madrid, di mana ia sukses merebut dua gelar Liga Champions, masing-masing satu gelar Piala Interkontinental dan Piala Super Eropa, plus dua gelar La Liga dalam rentang empat musim.
Habis era McManaman di Anfield muncullah Robbie Fowler, Evertonian yang lebih memilih bergabung dengan Liverpool. Julukan yang diberikan Liverpudlian padanya, The God (Dewa), sudah menjelaskan betapa besarnya peran Fowler bagi tim.
Satu tim dengan Fowler ada Michael Owen, Stephen Wright dan Alan Navarro. Kuartet ini merupakan lulusan akademi Liverpool dan menembus skuat utama setelah tampil memikat di tim junior. Mereka berempat ikut merasakan treble-winners yang diraih The Reds pada 2001. Tak sekadar numpang tenar, Owen mengakhiri musim sebagai top skorer klub baik di liga maupun di semua ajang. Sedangkan Fowler dipercaya sebagai wakil kapten.
Tak lama berselang Jamie Carragher dan Gerrard promosi ke tim senior. Lagi-lagi tak cuma masuk dalam daftar skuat, Gerrard dan Carragher tumbuh sebagai dua pemain penting tim. Hanya berselang empat tahun sejak promosi, keduanya mempersembahkan gelar juara Liga Champions kelima bagi klub.
Begitulah. Musim demi musim pemain lokal lulusan akademi terus dipromosikan ke tim senior Liverpool. Ada yang kemudian menjadi tulang punggung tim seperti McManaman, Fowler, Owen, Gerrard dan Carragher. Tapi tak sedikit yang hanya 'numpang lewat' seperti Richie Partridge, John Welsh, Jon Otsemobor, Paul Harrison, David Raven, Darren Potter, Mark Smyth, Jay Spearing dan terakhir Martin Kelly.
Efek Tuntutan Prestasi?
Gelombang promosi pemain lokal dari akademi ke tim senior mulai mandeg sejak musim 2005/06. Musim itu unsur Scouse diwakili oleh Gerrard, Carragher, Warnock dan Fowler yang bergabung kembali dari Manchester City. Tak ada muka baru dari akademi yang promosi.
Semusim berselang ada banyak pemain akademi yang dipromosikan oleh manajer Rafael Benitez, tapi hanya Lee Peltier, Stephen Darby dan James Smith generasi asli Merseyside. Bersama Gerrard, Carragher dan Fowler, total ada enam Scouse dalam skuat inti Liverpool musim 2006/07, jumlah yang terhitung masih lumayan.
Jumlah pemain lokal Merseyside terus bertahan di angka setidaknya lima orang hingga musim 2012/13, lalu tersisa empat orang semusim berselang. Itu pun dengan peran terbatas, termasuk Gerrard yang oleh Rodgers mulai dibatasi jam bertandingnya. Angka tersebut kembali turun menjadi tiga orang pada 2014/15, satu di antaranya Lambert yang bergabung dari Southampton.
Musim 2015/16, unsur lokal yang tersisa tinggal Flanagan yang tengah menjalani proses pemulihan cedera dan Rossiter yang juga belum lama pulih dari cedera panjang.
Dua orang Merseyside di klub asal Merseyside. Terasa sedikit sentimentil, tapi rasanya tidak salah andai ada yang bilang Liverpool sudah kehilangan 'rasa asli'-nya, jika tidak mau dikatakan kehilangan identitas lokal. Sesuatu yang pernah dibangga-banggakan Liverpudlian dengan spanduk "We are Scouse, not English."
Tuntutan prestasi agaknya membuat pemilihan pemain tak lagi soal lokal atau nonlokal. Bahkan tak penting ia hasil didikan akademi sendiri, bila dinilai tak mampu mendongkrak performa tim maka tak ada tempat bagi si pemain. Ditambah lagi industrialisasi yang menjadikan klub sepakbola tak ubahnya sebagai perusahaan, di mana prestasi berarti potensi pemasukan dan keuntungan.
Andai Liverpool sukses dengan skuat minim pemain lokal seperti sekarang, sepertinya Liverpudlian tak akan peduli siapa saja yang bermain di atas lapangan. Menjadi menarik apabila kemudian prestasi tak kunjung diraih, sementara identitas sebagai klub Merseyside sudah semakin dilupakan.
=====
* Penulis adalah fan Liverpool FC, pengelola blog iniLiverpool.com. Berkicau mengenai berbagai hal di akun Twitter personalnya:@bungeko_