Revolusi Mental dan PSSI
"Ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala," kata Bung Karno.
Menariknya, pondasi Revolusi Mental yang digagas Bung Karno begitu kuat ditanamkan pertama kali justru di olahraga, khususnya sepakbola. Sebagai presiden pertama Bung Karno melihat olahraga sebagai kekuatan utama menata Indonesia. Ia berkeyakinan, olahraga selain media pembentukan jasmani yang sehat, juga sebagai alat pembangunan mental dan rohani yang efektif.
Hal ini tergambar, ketika pada tiga tahun pertama kepemimpinannya, ia justru menggagas Pekan Olahraga Nasional (PON) 1948 di Surakarta, Solo. Alih-alih membawa para pejabat teras dalam kunjungan kerja pertamanya ke Uni Soviet (28 Agustus – 12 September 1956), Bung Karno justru lebih memilih membawa timnas sepakbola. Ia berpidato lantang di Stadion Sergey Kirov, St. Petersburg sebelum menyaksikan laga persahabatan antara kesebelasan Leningrad dan "Tim Merah Putih".
Setahun berselang, dibandingkan membangun pusat-pusat perbelanjaan dan perhotelan, Bung Karno lebih membangun prasasti terbesar olahraga di Indonesia yang kini dikenal dengan sebutan Stadion Utama Gelora Bung Karno. Ia juga menggolkan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Setelah itu Bung Karno juga menggagas digelarnya Pesta Olahraga Negara- Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces, atau yang dikenal dengan GANEFO. Semua ini adalah pondasi dasar national character building dengan Revolusi Mental sebagai dasarnya.

"Asian Games bukan hanya sebatas pertandingan olahraga, tapi juga mengusung harga diri bangsa. Event olahraga dapat digunakan sebagai medium membentuk karakter bangsa," kata Bung Karno.
Perenungan tentang Revolusi Mental membutuhkan rasa romantisme, energi dinamisme dan kecerdasan dialektis. Sepakbola adalah olahraga yang penuh dengan romantika, dinamika dan dialektika. Romantisme kesebelasan Indonesia menahan seri 0-0 Rusia (baca: Uni Soviet, 2 NovemberNovember 1956 pada Olimpiade Melbourne, Australia) adalah satu kebanggaan yang diceritakan turun temurun.
Energi yang terkumpul akibat penuh sesaknya Stadion Gelora Bung Karno dalam berbagai pertandingan antarklub ataupun timnas merupakan pengalaman yang diceritakan berulang-ulang. Pencapaian prestasi dan pembinaan mutlak membutuhkan kecerdasan dialektis untuk mengurai permasalahan dan mencari solusi yang kreatif.
Jika Revolusi Mental aktualisasi dari nilai-nilai luhur Bung Karno, tentunya di dalamnya juga termasuk merevolusi sepakbola ke panggung yang lebih terhormat, yakni panggung pemersatu bangsa dari Sabang Sampai Merauke. Panggung national and character building dengan kepengurusan yang kuat, berintegritas, beretos kerja yang profesional, dan berjiwa gotong royong sehingga dia menjiwai filosofi sepakbola sebagai olahraga yang humanis, sportif, fairplay, dan kompetitif. Panggung mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui prasasti prestasi yang diidamkan bersama.
Relevankah Revolusi Mental untuk PSSI? Herankah kita melihat minimnya prestasi Timnas?
Sering kita mendengar ketika sebuah kesebelasan meraih kemenangan, bayang-bayang pengaturan skor, sepakbola gajah, tawuran dan gagal bayar gaji menghantui pencapaian klub atau timnas di Indonesia. Putusan wasit bersifat final terdengar hampa karena seringnya putusan ini menjadi legitimasi pengaturan skor. Ketika perilaku ini berlangsung tersistematis dan terus menerus, wajar jika permasalahan muncul. Untuk mengurai permasalahan ini, PSSI berperan penting selaku guardian (penjaga) karakter mental yang utama. Tuntutan Reformasi PSSI adalah langkah kongkrit untuk membangun karakter pemenang.
Perjalanan transformasi PSSI penuh liku sejak 2009 dan menghadapi risiko kehilangan arah setelah berlarut-larut hingga saat ini. Breakaway League Liga Primer Indonesia (LPI) bergulir satu musim di luar PSSI sebagai tantangan langsung terhadap Indonesian Super League (ISL). Breakaway League berakhir dengan terpilihnya kepengurusan PSSI 2011-2015 pada Kongres Solo 9 Juni 2011 dengan Prof Dr Djohar Arifin Husin selaku Ketua Umum PSSI.
Harapan baru sepakbola nasional pun berumur pendek. Sayangnya, pengambilan keputusan dalam rapat Exco yang bersifat collective collegial memunculkan breakaway league jilid 2 di bawah pimpinan empat Exco (La Nyalla Mattalitti, Tony Apriliani, Erwin Budiawan, dan Roberto Rouw) yang membentuk Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Keempatnya mempunyai pandangan yang berbeda dari tujuh Exco lainnya dalam satu rapat yang berujung dihukum Komite Etik PSSI yang diketuai Dr. Todung Mulya Lubis. Breakaway League 2 berakhir ketika keempat Exco terhukum, atas rekomendasi FIFA, dikembalikan ke posisinya dalam Kongres PSSI pada 17 Maret 2013 di Hotel Borobudur, Jakarta.
Kembalinya keempat Exco membawa dampak pada pemecatan dan larangan beraktivitas di sepakbola selama 10 tahun bagi enam Exco. Keputusan pemecatan diambil pada Kongres PSSI pada 17 Juni 2013 di Surabaya yang hanya berlangsung lima jam. Alasannya, keenam Exco terlibat pemalsuan tanda tangan Djohar Arifin Husin, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelanggaran sporting merit atau Statuta PSSI maupun FIFA. Pemalsuan adalah ranah pidana dan semestinya dibuktikan di pengadilan umum, bukan kompetensi Komdis.
Mulusnya pemecatan 6 anggota Exco pro-perubahan berujung kembalinya PSSI ke pro-status quo akibat dukungan dari Menpora saat itu dan FIFA. Fakta itu terlihat dari gagalnya Kongres PSSI (yang dilaksanakan 7 Exco di Palangkaraya, pada 10 Desember 2012) karena tak mendapat izin dari Polri, dan tak diakui FIFA walau kongres itu sendiri dihadiri FIFA. Sementara, saat bersamaan, KPSI melakukan Kongres di Jakarta berjalan mulus.
Seakan membentuk lingkaran penuh, episode ketiga dalam kurun waktu 2011-2015 kepengurusan PSSI ditandai dengan pembekuan PSSI oleh pemerintah. Maka pembekuan PSSI yang dilakukan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, lewat surat bernomor 0137 Tertanggal 17 April 2015 dapat dipahami sebagai upaya untuk me-reset keluarga besar sepakbola menuju mentalitas yang berintegritas, beretos kerja dan bergotong royong.

Beberapa turnamen yang digelar belakangan ini bukanlah solusi yang tepat dari sebuah pembekuan sebuah federasi. Turnamen ini belumlah mencerminkan kegotong-royongan karena banyak pemain yang belum mendapatkan giliran bermain. Turnamen yang terus menerus mereduksi objektivitas yang terkandung dalam prinsip-prinsip sporting merit dan lisensi klub profesional untuk sebuah kompetisi.
Deja vu PSSI dengan IPL vs KPSI dengan ISL sangat mungkin berulang antara PSSI dengn ISL vs Tim Transisi Menpora dengan liga baru. Pilihan lainnya dengan mencermati perkembangan sepakbola saat ini adalah permainan adu kesabaran antara PSSI, Liga dan Menpora. Dampaknya adalah ketidakpastian bagi nasib ribuan pemain. Apabila ini suatu duel, pertempuran ini ibarat duel antara Musashi dan Sasaki Kojiro. Sayangnya, kita juga harus bertanggung jawab atas dampak kebijakan masing-masing.

Standar ganda penerapan Statuta dan peraturan lainnya sesuai kenyamanan, pemaksaan kehendak, pemerkosaan sistem menjadi milik pribadi adalah akar daripada minimnya prestasi, buruknya mentalitas dan lemahnya pembinaan usia dini yang beujung pada frustasi sepakbola nasional.
Di hadapan 503 Kepala Sekolah penerima Anugrah Berintegritas di Istana Negara 21 Desember 2015, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemimpin dan rakyat harus memiliki integritas dan nilai kejujuran sebagai sesuatu yang fundamental dalam membangun karakter bangsa. Jokowi juga menekankan bahwa nilai-nilai seperti etos kerja, kerja keras, integritas, kejujuran, optimisme, disiplin, gotong royong, bisa ditumbuhkan dan menjadi kebiasaan yang dimulai dari ruang kelas. Dalam konteks sepakbola, nilai-nilai ini dimulai dari kompetisi dan usia dini di lapangan.
=======
* Penulis adalah mantan anggota EXCO PSSI dan Ketua Kompetisi 2011-2014.
(krs/a2s)














