Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Umpan Silang

    Olah Alih Bahasa Olahraga dan Sepakbola

    Fajar Rahman - detikSport
    Foto: Rengga Sancaya Foto: Rengga Sancaya
    Jakarta - Bahasa dan sepak bola, konon keduanya memiliki persamaan fungsi: mempersatukan. Tapi di negeri ini, bahasa kerap dimanfaatkan dalam pertikaian.

    Ia dipolitisir sedemikian rupa guna sebuah keuntungan. Di sini bahasa sepakbola yang katanya universal itu lemah kedudukannya karena tak pernah ada standarisasi. Persatuan yang dimunculkan keduanya hanyalah slogan.

    Sebagaimana yang masih kita ingat, ada sebuah kasus yang menyeret bahasa dan sepakbola pada Februari 2013. Tepatnya saat konflik
    dualisme PSSI melawan KPSI (Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia) dalam menerima surat FIFA. Sebuah surat dimaknai lain oleh masing-masing kubu dan mereka saling menuduh suratnya palsu. Bahkan Menpora saat itu, Roy Suryo, sampai harus mempertemukan kubu yang bertikai untuk membahas surat itu dengan seorang ahli bahasa.

    Itu dalam ranah menerjemahkan bahasa asing tentang sepakbola, sementara untuk penafsiran bahasa sendiri juga terjadi baru-baru ini, di 2016, dan kebetulan bulannya sama dengan kasus sebelumnya, Februari.

    Tersirar kabar bahwa dalam pertemuannya dengan Agum Gumelar, Presiden RI Joko Widodo menginginkan Menpora Imam Nahwari mencabut pembekuan PSSI. Lagi-lagi bahasa menjadi masalah, baik PSSI atau Menpora mempersepsikan lain, ribut tentang kata "akan" yang kemudian bersyarat.

    Dua kejadian di atas adalah contoh kasus sekaligus bukti bahwa lemahnya bahasa di sepakbola kita. Ia mudah dipersepsikan lain, dibiaskan sesuai kepentingan. Lemah karena tak ada yang berusaha untuk membuku-bakukannya ke dalam bahasa kita. Bahasa sepakbola belum dibuat menyatu dengan Bahasa Indonesia dan dijadikan standar resmi.

    Lha, bagaimana lagi? Di sini olah-alih bahasa guna menciptakan sebuah standar tersendiri, jarang menjadi pusat perhatian.

    Berharap Badan Bahasa menambahkan kosakata-kosakata baru tentang sepak bola ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)? Lha, si kamus yang seharusnya menjadi pedoman sekaligus kitab suci berbahasa Indonesia itu saja malah kerap dikesampingkan oleh beberapa kalangan pemangku bahasa, dalam hal ini: media.

    Sengkarut Kosakata di Media-Media

    Entah setuju atau tidak, selingkung dan keredaksian media-media di Indonesia saja setidaknya kini terpecah menjadi dua kubu. Satu kubu menerapkan apa yang sudah termaktub dalam KBBI, dan yang lainnya anti atau tak acuh padanya. Selingkung kemudian malah menjadi penjelmaan ego masing-masing media.

    Jika yang menggunakan KBBI mencoba patuh, maka yang anti --karena enggan menggunakan alasan "pokoknya kita beda sama dia"--, kemudian memilih keumuman masyarakat, dalam hal ini pembaca, sebagai dalihnya. Meskipun keumuman itu tidak sesuai dengan KBBI, sang kitab suci.

    Perbedaan akan kerap terlihat dalam pemilihan kata yang digunakan untuk olahraga dan sepakbola. Sebut saja untuk kata "penggawa". Satu pihak akan menuliskannya demikian, sesuai dengan KBBI. Sementara media lain akan menuliskannya dengan "punggawa", berdasarkan keumuman.

    Contoh lain adalah kata "pembalap". Beberapa media memilih seperti yang tertera di KBBI dan keumuman, "pembalap", sementara yang lain lebih menggunakan kata "pebalap".

    Media-media yang memilih kata "pebalap" tak lain bertujuan untuk membedakan mana untuk olahraga dan mana yang bukan. Menurut mereka yang menggunakan madzhab ini, bahwa peluluhan sisipan "em" dalam kata dasar dengan awalan "b" adalah untuk atlet. Sementara kata benda yang non atlet, "em" akan tetap disisipkan.

    Penganut aliran luluhnya "em" ini memiliki alasan bahwa "pebalap" akan setara dengan pelaku cabang olahraga lainnya seperti "pebasket", "pebiliar", "pebulutangkis" dan sejenisnya. Jika memang ditulis "pembalap", maka seharusnya atlet lain ditulis dan disebut sebagai "pembasket", "pembulutangkis" dan lain-lain. Mereka mencoba memberikan status bahwa atlet tak sama dengan "pembantu", "pembunuh", "pemberontak", dan sejenisnya.

    Sayangnya, sengkarut seperti ini masih terjadi dan dibiarkan oleh para pemangku kebijakan bahasa. Belum pernah dirumuskan dan diputuskan sebagai hal yang satu dan baku.



    Kesulitan dalam Membahasakan Kosakata Sepakbola

    Kosakata sepakbola terus bertambah seiring perkembangan teknologi dan zaman. Si kulit bundar kini diolah-alih lebih lebar, ke ranah statistik yang kemudian dianalisis sedemikian detailnya. Atribut penghitung yang juga bertambah, membuat kosakata sepakbola pun kian bejibun.

    Sayangnya ada kesulitan tersendiri dalam membahasakan kosakata itu. Pembahasan tentang analisis statistik yang mulai digemari di Indonesia masih harus menuliskannya sesuai kosakata aslinya: dalam bahasa Inggris. Sebab, sulit sekali menemukan padanan yang pas dalam bahasa Indonesia untuk istilah-istilah baru dalam sepakbola. Untuk memaksa menuliskan dengan istilah asing pun, kadang masih dinilai sok-sokan.

    Sementara jika ingin menggunakan bahasa Indonesia, para penulis diliputi kekhawatiran apa yang disampaikannya menjadi bias 'nggak ngena'.
     
    Memang beberapa penulis atau media sudah memelopori untuk istilah-istilah sepak bola tersebut. Seperti; "clearance" menjadi "sapuan", "kick off" dituliskan "sepak mula", "pass" adalah "umpan" sementara "assist" untuk "operan", hingga menyerap "intercept" menjadi "intersep".

    Namun, apakah semua seiya-sekata dalam penggunaannya? Jawabannya belum. Daripada menggunakan kosakata baru malah terdengar dan terbaca asing, tak pantas, serta terkesan lucu, masih banyak yang lebih memilih menggunakannya dengan bahasa Inggris, atau kalau tidak lupa dicetak miring.

    Tak usah menyebut istilah baru dalam statistik sepakbola, yang lama saja belum bisa dibuku-bakukan dengan saksama. Sejak sumpah pemuda dicetuskan pada 1928 dan PSSI didirikan selang dua tahun kemudian, para perumus bahasa Indonesia di negeri ini belum bisa menemukan kata pengganti atau padanan yang tepat untuk "offside"!

    Sepertinya, ketidakseragaman seperti di atas akan tetap begitu selalu. Mengingat yang asing tak coba diperkenalkan, yang tak pantas dan terasa lucu itu tidak dicoba untuk dirumuskan sebagai sebuah kosakata baru.



    Tapi, dalam hati kecil berharap, semoga saja tidak selalu begitu. Karena kita sebenarnya masih memiliki Badan Bahasa di bawah Kemendikbud.

    Yah, semoga saja Badan Bahasa ini masih sadar dengan tujuan dari Undang Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang pengaturan bendera, bahasa dan lambang negara yang mereka sediakan unduhannya di laman mereka itu. Dalam pasal 3 butir c di UU tersebut mereka bertujuan, "Menciptakan ketertiban, kepastian, dan standarisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan."

    Tiga hal yang harus digarisbawahi dalam pasal tersebut: ketertiban, kepastian dan standarisasi.

    Badan Bahasa memang mulai aktif, tapi caranya terlihat pasif. Ibarat pemain bola, mereka memang terlihat aktif bermain, ada di lapangan. Tapi pergerakannya pasif dan lebih banyak menunggu bola datang daripada 'jemput bola'.
     
    Seperti yang terlihat kala mereka merilis pengumuman pada November 2015 lalu dan masih terpasang hingga saat ini. Badan Bahasa mencoba membuka kesempatan pada masyarakat dalam program "Pelibatan Masyarakat Dalam Pengayaan Kosakata".

    Masyarakat diminta mengirim, sementara mereka tinggal menunggu. Terlihat aktif tapi pasif.

    Andai Badan Bahasa mencoba lebih aktif, taruh kata mengundang para pengampu bahasa macam pemimpin redaksi media, perusahaan penerbitan dan sejenisnya karena merekalah yang berperan dalam menumbuh-kembangkan bahasa, mungkin istilah-istilah olahraga dan sepakbola akan segera terumuskan. Ada standarnya, menyatu, dan baku.

    Kalau pun mencoba berdikari seperti Italia yang membahasakan sepakbola mereka dengan calcio daripada ikut-ikutan menerjemahkan football dari Inggris seperti tetangga-tetangganya macam Jerman dengan Fußball, Spanyol dengan fútbol, atau Belanda dengan voetbal dan yang lainnya, ya sah-sah saja. Yang penting ada standarnya.

    Dan jikalau standar bahasa sepakbola itu nanyinya lebih banyak serapan, tak usah malu. Karena sepakbola memang bukan olahraga asli negeri ini. Toh memang sudah menjadi tradisi bangsa ini pula. Kok bahasa, olahraga atau sepak bola, agama kita saja hasil dari mengimpor, bukan?

    ====

    *Penulis adalah seorang mantan; mantan jurnalis media sepak bola online yang lama bertugas di Surabaya dan mantan Website Content Manager laman resmi Persib Bandung 2013/2014. Kini menetap di Yogyakarta bersama Gantigol. Sudah dua kali terlibat dalam buku 'keroyokan': Brazilian Football and Their Enemies (2014) dan Sepakbola 2.0 (2016). Bercita-cita bikin buku bola sendiri, tanpa main keroyokan lagi.

    Beredar di dunia maya dengan akun Twitter: @McXoem.

    (roz/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game