Pertempuran Sang Superhero di Saint-Denis

Sang megabintang tergeletak tak berdaya di atas tandu dan wajah para suporter Portugal tampak tercengang tak percaya dengan mata berkaca-kaca dalam sorotan kamera. Namun mereka serempak berdiri --termasuk suporter Prancis-- dan bertepuk tangan untuk sang pahlawan yang terpaksa harus meninggalkan laga. Begitu cepat, baru 25 menit pertandingan final yang ditunggu-tunggu itu berjalan.
Sepakbola bukanlah cerita superhero. Tetapi para pahlawan lapangan hijau kerap diibaratkan sebagai sesosok superhero oleh para pecintanya. Seorang kawan saya—penulis dan wartawan—dalam sebuah artikel belum lama berselang contohnya, sempat mengutip "Heroes of Euro 2016" yang dirilis situs ESPN FC and Marvel Comics tentang bagaimana Marvel memarodikan sejumlah bintang sepakbola yang berlaga di Prancis dengan karakter-karakter superhero-nya: Wayne Rooney menjadi The Punisher, Zlatan Ibrahimovic sebagai Thor, Gareth Bale sebagai Quicksilver, Paul Pogba adalah gabungan antara Spiderman dan Dare Devil, serta Ronaldo menjadi Iron Man.
Tentu saja, ada sejumlah argumen dibuat untuk pemilihan itu. Ronaldo dianggap setara dengan Tony Stark alias Iron Man misalnya, lantaran keduanya dianggap sama-sama arogan dengan ego meluap-luap namun dikaruniai skill yang luar biasa cemerlang. Apabila Iron Man memiliki sinar laser dan peluncur rudal, Ronaldo punya tubuh atletis, tendangan bebas misil, dan kecepatan mengagumkan di lapangan hijau. Mereka juga sama-sama melakoni gaya hidup highclass dengan dikelilingi mobil mewah, perempuan cantik, dan rumah megah.
![]() |
Sementara itu pada versi lain, yakni "X-Men The Football Edition"—seperti yang diturunkan oleh sejumlah situs olahraga—CR7 ditampilkan sebagai Deadpool, Luis Suarez sebagai Wolverine, Luka Modric sebagai Profesor X, Zlatan Ibrahimovic sebagai Apocalypse, Lionel Messi sebagai Phoenix dan Jose Mourinho sebagai Magneto.
Saingan Marvel, DC Comics sebelumnya juga pernah memparodikan Messi sebagai Superman. Bahkan salah satu saluran Youtube, The Football Republic, kemudian mengembangkan parodi itu dengan mengibaratkan rivalitas Messi vs Ronaldo sebagai Superman vs Batman.
Namun demikian, para suporter Portugal agaknya lebih menginginkan Ronaldo menjadi Superman dengan wajah ganteng, badan tegap berotot, dan rambut "shampo Clear"-nya itu. Terbukti, dalam laga-laga Seleccao das Quinas di Piala Eropa 2016, tampak oleh kita dari sorotan kamera bagaimana sejumlah suporter Portugal mengenakan seragam tandang Portugal lengkap dengan jubah (bahkan topeng) dan simbol 'S' di dada—simbol Superman yang jika merujuk ke dalam cerita si Manusia Baja, merupakan lambang Keluarga El di Planet Krypton yang mengandung makna "Hope".
Ya, harapan yang nyaris pupus dinihari kemarin di Stade de France, Saint-Denis, akibat terjangan Dimitri Payet ketika pertandingan baru berjalan tujuh menit. Terjangan yang menyebabkan sang superhero terjatuh dan mengerang kesakitan sambil memegangi lutut kirinya.
Dan seperti dikatakan Pepe kepada pers selepas kemenangan mereka yang gilang gemilang: "Itu berat sekali. Kami kehilangan pemain utama kami dan kami meletakkan semua harapan kami padanya karena ia bisa mencetak gol kapan saja."
Toh, kita semua melihat bagaimana lelaki kelahiran 5 Februari 1985 itu awalnya mencoba bertahan usai mendapatkan penanganan medis. Ia berusaha untuk terus bermain. Meskipun pada menit ke-17 harus kembali terduduk di atas rumput dan sekali lagi terpaksa meninggalkan lapangan untuk memperoleh perawatan ulang. Ia masuk lagi ke lapangan pada menit ke-19 dan ikut membantu serangan balik Portugal yang berujung kegagalan. Tetapi rasa sakit itu rupanya memang kelewat berat untuk ditanggung. Ia terlihat kesulitan saat menggiring bola dan tampak melangkah terpincang-pincang. Hingga akhirnya terduduk lagi di atas lapangan untuk kedua kali; meringis kesakitan dan terisak!
Benar, seorang pahlawan memang tak harus selalu menang. Mereka kerapkali kalah, bahkan mati. Termasuk pahlawan super. Para komikus dan sineas saya kira telah memikirkan hal ini dengan cukup suntuk sembari terus berimprovisasi; merombak dan mengembangkan skrip. Kendati mereka kemudian acapkali mesti mencari argumen yang "agak logis" untuk menghidupkannya kembali; karena pembaca atau penonton tidak boleh ditinggalkan.
Itulah yang terjadi pada banyak cerita superhero. Superman pernah mati, Batman pernah mati, The Flash apalagi, begitu pula Captain Amerika dan Wolverine.
Dalam "Batman v Superman: Dawn of Justice", Superman tewas ketika berusaha menyelamatkan dunia dari Doomsday—monster dari alam kematian yang diciptakan Lex Luthor dari jasad Jenderal Zod lewat rekayasa genetika. Ide ini, "Superman is Dead" bukanlah gagasan baru. DC pertama kali menerbitkannya pada Edisi #75 (Vol. 2) tahun 1992 dengan judul "The Death of Superman" yang segera menuai sukses besar serta mendapatkan sorotan luas dari media dan pecinta komik.
Tentu, tak pantas rasanya kita mengamsal Dimitri Payet pada laga itu sebagai karakter Doomsday, sang penghancur Superman. Kendati kita tahu bagaimana selama ini timnas Portugal kerap tak terlepas dari sosok seorang Ronaldo. Ronaldo adalah Portugal; ia adalah kaki Seleccao das Quinas. Sehingga banyak yang meyakini Portugal tanpa CR7 adalah ibarat orang timpang. Karenanya, untuk mematahkan Portugal haruslah mematahkan seorang Ronaldo.
Payet pada dinihari itu, barangkali lebih cocok menjadi Bruce Wayne alias Batman, yang dalam "Batman v Superman: Dawn of Justice" terlebih dulu mengalahkan Superman berkat siasat cerdik dan Kryptonite. Dan Batman bukanlah si antagonis. Ia hanyalah seorang superhero yang lain.
Kepada media seusai kekalahan Les Bleus, Payet menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidaklah berniat mencederai Ronaldo. Ia hanya ingin merebut bola yang dikuasai CR7.
"Saya mendapatkan bola kembali dan jika saya mencederainya, itu tidak sengaja. Bukan watak saya untuk jadi orang jahat di lapangan. Tidak ada keraguan soal itu," demikian tukas pemain West Ham United itu.
***
![]() |
Ah, Ronaldo tentu saja tidak mungkin sesempurna Superman seperti yang diangan-angankan oleh suporter Portugal dan para penggemar fanatiknya. Tetapi ia agaknya juga bukan Iron Man sebagaimana diparodikan Marvel. Sebab kita tahu, dalam "Captain America: Civir War", Manusia Kaleng itu kalah telak setelah energi murni di dadanya dihancurkan oleh perisai Steve Rogers dan untuk sementara berakhir dengan lunglai dan putus asa akibat keangkuhan dan kekeliruannya sendiri.
CR7 boleh saja kecewa, ketika ia akhirnya dipaksa menyerah oleh rasa sakit di lututnya dan sambil bercucuran air mata mesti menyematkan ban kapten ke lengan Nani lalu membiarkan dirinya ditandu keluar oleh petugas medis. Tetapi ia tidak kalah. Sama sekali tidak. "Kepergiannya" itu justru meninggalkan sesuatu kepada rekan-rekannya di lapangan: semangat tempur! Bahwa mereka mesti berjuang demi tim, demi kemenangan, juga demi dirinya yang tak lagi bisa ikut berlaga. Dan hanya seorang pahlawan yang bisa melakukan hal demikian.
Memang, sepanjang Piala Eropa 2016 berlangsung ia acapkali menunjukkan hal-hal yang kurang terpuji. Ia mencemooh permainan Islandia dan menolak bersalaman dengan para penggawa negeri es itu. Sesuatu hal yang sebetulnya sudah tidak terlalu aneh dilakukan oleh dirinya.
Di balik ragam aktivitas kemanusiaannya yang mengagumkan di luar lapangan selama ini, CR7 bukanlah figur yang santun seperti Messi. Ia kerapkali membantah wasit dan menghina lawan. Ia pun tak segan memukul atau menendang lawan. Bahkan sering rekan-rekannya sendiri juga tak luput dari kegusarannya. Awal tahun lalu contohnya, ia pernah tertangkap kamera meneriakkan kata-kata kasar di lapangan karena tidak mendapatkan passing dari Bale sebagaimana yang ia harapkan. Sebuah TV Spanyol yang mencoba melakukan analisa menemukan makian itu berbunyi "La puta que te pario!" atau "The w*** that gave birth to you" jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Maka dari sisi ini, alih-alih Superman, ia justru lebih mirip Bizarro, alter-ego Superman yang bizarre. Bizarro adalah sebuah "mirror image" Superman, sebuah bayangan terbalik. Kreatornya, Otto Binder, menyatakan bahwa karakter Bizarro merupakan Franskenstein dengan kekuatan Superman. Meski begitu, ia bukanlah sosok yang sepenuhnya jahat seperti Venom alter-ego Spiderman atau Reverse-Flash, alter-egonya The Flash. Tetapi lebih kepada sebentuk wujud kesedihan bercampur kemarahan.
Namun, dalam laga final Euro 2016 di Stade de France, Saint-Denis, Senin (11/7/2016) dinihari WIB kemarin, CR7 seyogianya juga membuktikan bahwa ia bukanlah Bizarro.
"Sikapnya luar biasa. Ia selalu banyak membantu teman-teman setim kami, ia selalu punya banyak kata-kata motivasional dan seluruh tim jelas bereaksi, jadi itu sangat bagus," demikian kata bek Portugal, Cedric Soares seperti dikutip ESPN FC.
Ya, sebagaimana bisa kita saksikan, selepas dirawat di dressing room, Ronaldo lantas muncul lagi dengan lutut dibebat di bangku cadangan. Bahkan kemudian, seakan-akan dirinya seorang pelatih atau asisten Fernando Santos, ia tampak hilir-mudik di pinggir lapangan dengan kaki terpincang-pincang dan tak henti-hentinya berteriak memompa semangat rekan-rekannya yang sedang berjuang. Dan salah satu gesturnya yang paling disorot adalah gayanya menunjuk-nunjuk jam tangan ala Sir Alex Ferguson, mantan pelatihnya di Manchester United. Bahkan, menurut Soares, Ronaldo membakar motivasi skuatnya lewat pidato singkat saat turun minum di ruang ganti.
"Saat jeda, Cristiano punya kata-kata yang fantastis untuk kami. Ia memberi kami banyak kepercayaan diri dan bilang 'dengar, saya yakin kita akan menang, jadi tetap bersatu dan berjuang'. Itu benar-benar tidak bisa dipercaya. Saya pikir seluruh tim punya sikap yang luar biasa. Dan malam ini kami menunjukkan bahwa ketika Anda berjuang sebagai satu kesatuan, Anda jauh lebih kuat," lanjut pemain Southampton FC itu.
Benarlah Santos. Dengan demikian, CR7 tidak hanya memberi teladan. Lebih jauh, bahkan ia menjadikan dirinya sesosok pahlawan dengan cara lain, yakni ketika terpuruk pun ia masih bisa memberikan sesuatu yang berharga bagi kesebelasan dan negaranya.
Apa yang ia lakukan tersebut bukan saja serta merta menepis anggapan egois dan cengeng yang sering dialamatkan kepadanya, melainkan juga mendatangkan banyak rasa respek dan empati. Dan itu seolah-olah mengarfimasi kelanjutan dari cerita "The Death of Superman". Dua episode sekaligus pada saat yang bersamaan! Yaitu "The World Without Superman" dan "The Return of Superman".
"The World Without Superman" adalah cerita kepiluan Lois Lane dan warga Metropolis yang ditinggalkan sang metahuman. Dan dalam versi lain, itu merupakan judul artikel Lois Lane yang menjadi headline di koran Daily Planet dalam film "Superman Return". Artikel itu dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan kritis seperti: "Benarkah dunia membutuhkan pahlawan super?", "Haruskah dunia bergantung pada seorang Superman?" dan "Tidakkah manusia bisa berbuat sesuatu untuk membuat dunianya lebih baik tanpa kehadiran Superman?".
![]() |
Ronaldo tentunya mafhum benar, betapa besar ekspektasi publik Portugal pada dirinya dan betapa penting pula kehadirannya dalam tim bagi kawan-kawannya. Tetapi, dengan sikapnya itu, ia pun seperti menegaskan bahwa sepakbola tetaplah permainan 11 orang, bahwa Seleccao das Quinas bukanlah "one-man team" yang hanya bergantung pada "kemampuan supernya" sebagaimana anggapan selama ini.
Sebab tanpa dirinya, toh Portugal tidaklah mengalami Doomsday (Hari Kiamat). Namun seyogianya masih sanggup menggapai puncak kejayaan bernama trofi Euro 2016. Ya, sesuatu yang tak bisa dilakukan Argentina sekalipun dengan Leo Messi sang Juru Selamat (Messiah) di Copa America 2016. Inilah kiranya kebangkitan seorang Superman dari mati!
Memang, tidaklah adil memperbandingkan Messi dengan dirinya dalam konteks ini. Bagaimanapun Messi memiliki beban tersendiri yang begitu berat untuk dipikul. Ronaldo tak pernah dibanding-bandingkan dengan siapapun pesepakbola lain dari negaranya sebagaimana Messi senantiasa dikaitkan dengan (bahkan dianggap duplikasi) Diego Maradona, sang dewa. Hanya saja, airmata kesedihan Messi tatkala Tim Tango kalah dari Chile di final Copa America 2016 adalah airmata patah arang. Sementara apa yang dilakukan Ronaldo setelah diusung keluar lapangan sungguh membuat sebuah perbedaan berarti. Perbedaan yang membuat Leo seolah-olah salah satu tokoh palsu yang mengaku Superman pasca "The Death of Superman".
Ya, dunia barangkali akan selalu mengingat wajah tampannya yang berurai air mata itu saat terduduk tanpa daya di atas lapangan Stade de France. Wajah kesakitan dan memeras yang membuat seekor ngengat terbang mendekat lalu hinggap di antara kedua alisnya, seolah-olah hendak menghibur dan menyatakan rasa empati atau memberikan kekuatan.
Ah. Momen itu, dalam tangkapan kamera terkesan begitu ikongrafis dan puitis. Mengharu-biru. Lalu seperti yang kita tahu selanjutnya, tatkala ia diusung keluar dengan tandu, tak hanya para suporter Portugal di tribun yang serta merta bangkit dari duduk dan serentak bertepuk tangan tetapi juga para pendukung Les Bleus.
Jose Fonte, rekan setimnya, barangkali benar: Perjalanan Seleccao das Quinas pada Piala Eropa 2016 kali ini dapat dijadikan sebuah film.
=======
*) Penulis adalah cerpenis, sementara berdomisili di Taipei, Taiwan.
(a2s/krs)