Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Umpan Silang

    Sentilan Sassuolo

    Yoga Cholandha - detikSport
    Foto: Giuseppe Bellini/Getty Images Foto: Giuseppe Bellini/Getty Images
    Jakarta - Ketika bicara tentang Serie A, mudah untuk menunjuk Juventus sebagai contoh klub yang dijalankan secara benar. Hasilnya memang sudah terlihat jelas. Dalam lima tahun terakhir, tak ada klub Italia yang mampu menyamai level "Si Nyonya Tua". Mereka seperti punya segalanya, mulai dari stadion milik sendiri, manajemen yang rapi, keuangan yang sehat, hingga ujungnya, pemain-pemain berkualitas.

    Namun sejatinya, Juventus tak sendiri. Meski belum sampai pada level yang sama, sudah ada beberapa klub Italia yang paham betul bahwa satu-satunya cara keluar dari keterpurukan adalah menjalankan klub dengan cara yang benar. AS Roma, misalnya. Meski terlambat, mereka perlahan bergerak maju, salah satunya dengan rencana pembangunan stadion yang diharap akan kelar pada 2019.

    Lalu ada pula Sassuolo.

    Ya, Sassuolo, klub yang baru tiga musim terakhir berlaga di Serie A, setelah sejak didirikan pada 1922 selalu berkubang di divisi bawah. Klub yang pada musim ini akhirnya mampu menembus kompetisi antarklub Eropa setelah finis pada peringkat keenam musim lalu, mengungguli AC Milan dan Lazio.

    Apa yang didapat Sassuolo bukanlah dongeng, karena sesungguhnya tidak ada rahasia atau keajaiban apapun yang membantu mereka mencapai level di mana mereka berada saat ini. Kuncinya hanya dua: kerja keras dan perencanaan yang matang.

    Presiden Sassuolo, Giorgio Squinzi yang juga merupakan bos perusahaan material bangunan multinasional, MAPEI, membeli klub ini pada tahun 2002. Squinzi sendiri adalah seorang penggemar AC Milan dan MAPEI pun berbasis di kota mode tersebut. Ketika dibeli Squinzi, Sassuolo masih bermain di Serie C2 (divisi empat).

    Sulit untuk menjadi ambisius di kota seperti Sassuolo. Dengan jumlah penduduk yang cukup untuk ditampung di Juventus Stadium, menjadi besar bukanlah sifat natural mereka. Dengan udara yang masih sejuk dan tempo kehidupan yang relatif lambat, Sassuolo adalah jenis kota yang cocok untuk dijadikan tujuan tempat tinggal ketika pensiun.

    Squinzi mengubah semua ini. Bahkan sejak pertama kali datang, ia sudah berani berbicara soal Serie A, sesuatu yang nyaris tabu untuk bahkan dipikirkan. Siapa Squinzi? Ia jelas tidak sekaya para Agnelli. Ia juga tidak secerdik Moratti, atau seberkuasa Berlusconi. Pendeknya, Squinzi saat itu hanya terlihat seperti orang kaya iseng yang ingin "bermain" klub sepakbola karena tim kesayangannya sudah terlanjur dimiliki Berlusconi.

    Giorgio Squinzi (Foto: Mario Carlini / Iguana Press/Getty Images)

    Awalnya memang mereka berjalan lambat. Butuh empat tahun bagi Sassuolo untuk bisa meraih promosi ke Serie C1, namun dari situlah lesatan mereka dimulai.

    Hanya dua musim di Serie C1, mereka langsung mampu naik kelas ke Serie B pada musim 2008/09. Keberhasilan Sassuolo naik ke Serie B kala itu juga merupakan keberhasilan individual bagi pelatih mereka yang kemudian dikontrak Cagliari, Massimiliano Allegri.

    Serie B jelas tak semudah Serie C1. Butuh empat kali percobaan dan tujuh pelatih sebelum Sassuolo akhirnya benar-benar mampu lepas darinya untuk promosi ke Serie A. Di bawah komando eksgelandang andalan AS Roma, Eusebio Di Francesco, Sassuolo akhirnya mampu menjuarai Serie B musim 2012/13 dan lolos otomatis ke level tertinggi.

    Musim pertama Sassuolo di Serie A dijalani dengan susah payah. Mereka nyaris terdegradasi kembali sebelum akhirnya memenangi head-to-head atas Catania. Neroverdi finis di peringkat ke-17 dengan 34 poin, sementara Catania di peringkat ke-18 dengan raihan 32 angka. Pada musim ini, Di Francesco sempat diberhentikan dan digantikan oleh Alberto Malesani. Namun pada akhirnya, manajemen Sassuolo pun kembali mempekerjakan Di Francesco karena Malesani tak mampu membawa tim tampil lebih baik.

    Meski terseok-seok, Sassuolo tetap menuai pujian, terutama atas keberanian Di Francesco menurunkan pemain-pemain muda dan bermain ofensif. Nama Domenico Berardi, Simone Zaza, dan Nicola Sansone pun menjadi buah bibir. Domenico Berardi dan Simone Zaza pun kemudian langsung dikaitkan dengan klub-klub besar Italia seperti Juventus dan Internazionale.

    Foto: Giuseppe Bellini/Getty Images

    Musim berikutnya, Sassuolo mempekuat tim dengan mendatangkan fullback kanan Kroasia, Sime Vrsaljko serta penjaga gawang Atalanta, Andrea Consigli. Dengan skuat yang nyaris sama dengan musim sebelumnya, Sassuolo menjadi lebih solid dan akhirnya mampu mengakhiri musim di peringkat ke-12.

    Meski terlihat lebih baik, Sassuolo sempat mengalami periode sulit di mana sejak 14 Februari s/d 2 Mei 2015 mereka hanya mampu mendulang delapan poin dari 36 yang tersedia. Belajar dari pengalaman musim sebelumnya, Sassuolo tetap mempertahankan pelatih yang kala masih bermain terkenal dengan tendangan geledeknya. Hasilnya pun baru terlihat jelang musim kompetisi mendekati akhir. Empat kemenangan beruntun, termasuk ketika mengalahkan AC Milan, membuat posisi Sassuolo aman di papan tengah.

    Pada musim lalu, barulah Sassuolo menunjukkan secara nyata hasil kerja keras serta perencanaan matang mereka selama lebih dari satu dekade. Mengawali musim dengan impresif dengan mengalahkan Napoli, Lazio, dan Juventus, serta menahan imbang AS Roma, Sassuolo muncul sebagai kuda hitam yang benar-benar diperhitungkan.

    Kehilangan juru gedor utama dalam diri Simone Zaza yang hijrah ke Juventus, Sassuolo menemukan pengganti dalam diri penyerang asal Prancis, Gregoire Defrel. Meski pada awal tahun 2016 sempat pula mengalami masa sulit, Sassuolo kemudian bangkit dan muncul sebagai wakil Italia baru pada ajang Liga Europa.

    Laga Eropa pertama Sassuolo sendiri dilakoni di markas FC Luzern, klub asal Swiss, dalam babak kualifikasi putaran ketiga Liga Europa. Pertandingan tersebut berakhir imbang 1-1, di mana Domenico Berardi mencatat sejarah sebagai pencetak gol pertama Sassuolo pada ajang antarklub Eropa. Pada laga yang sama, Andrea Consigli juga mampu menahan tendangan penalti dari mantan klub Kurniawan Dwi Yulianto.

    Optimisme pun merebak di kota yang berada di region Emilia-Romagna ini. Pada 5 Agustus nanti, mereka akan menjamu FC Luzern di kandang sendiri. Jika mampu memenangi putaran ini, Sassuolo akan bermain pada babak play-off untuk menentukan siapa-siapa yang berhak lolos ke fase grup.

    Seperti yang sudah saya sebutkan pada awal tulisan, pencapaian Sassuolo bukanlah cerita dongeng, dan tidak ada rahasia apapun di balik ini semua selain kerja keras dan perencanaan yang matang. Pertanyaannya kemudian adalah, perencanaan matang seperti apa yang dilakukan oleh Giorgio Squinzi dan segenap manajemen Sassuolo?

    Jika kita melihat anggota skuat Sassuolo (setidaknya sampai saat ini), hanya ada empat pemain asing dari 29 pemain yang terdaftar di skuat utama. Keempat pemain tersebut adalah Gregoire Defrel (Prancis), Alfred Duncan (Ghana), Claud Adjapong (Ghana), serta Pol Lirola (Spanyol) yang baru saja dipinjam dari Juventus untuk menggantikan Sime Vrsaljko. Bek kanan Kroasia itu sendiri baru saja dilego ke Atletico de Madrid dengan banderol 16 juta euro.

    Kepercayaan Sassuolo terhadap pemain muda adalah bagian pertama dari perencanaan matang tersebut. Dari 29 pemain, ada 17 pemain yang lahir setelah tahun 1990, termasuk keempat pemain asing di atas. Sassuolo memfungsikan 13 pemain senior sebagai pembimbing bagi para pemain masa depan tersebut. Selain di lini belakang yang jarang diutak-atik komposisinya, pemain-pemain muda seperti Lorenzo Pellegrini, Karim Laribi, Alfred Duncan, Diego Falcinelli, Matteo Politano, Domenico Berardi, dan Nicola Sansone secara reguler terus mendapat kesempatan bermain.

    Eusebio di Francesco (Foto: Giuseppe Bellini/Getty Images)

    Efisiensi transfer menjadi bagian kedua dari perencanaan ala Sassuolo. Kejelian direktur olahraga mereka, Giovanni Rossi, dalam mendatangkan pemain-pemain berkualitas dengan harga miring juga menjadi kunci. Lima pilar lini belakang mereka musim lalu, Francesco Acerbi, Federico Peluso, Paolo Cannavaro, Sime Vrsaljko, dan Andrea Consigli didatangkan dengan uang tak lebih dari 11,5 juta euro. Kemudian, suksesor Gregoire Defrel dan Alfred Duncan masing-masing didatangkan dengan banderol 7 juta dan 6 juta euro.

    Pada musim lalu, neraca transfer mereka memang negatif setelah mengaluarkan uang 30 juta euro (termasuk untuk mendatangkan Defrel dan mempermanenkan Berardi) dibanding pendapatan 25 juta euro (menjual Zaza, Jasmin Kurtic, Leonardo Pavoletti, Sergio Floccari, dan Thomas Manfredini). Akan tetapi, pada musim ini Sassuolo berhasil membalikkan neraca setelah (sejauh ini) hanya mengeluarkan 9,5 juta euro (untuk mempemanenkan Alfred Duncan serta Matteo Politano) dan mendapat 16 juta euro dari penjualan Vrsaljko. Model bisnis nan cermat macam ini sudah dilakukan Squinzi sejak pertama kali ia datang ke Sassuolo.

    Terakhir adalah soal stadion. Pada Desember 2013 Squinzi memutuskan untuk membeli stadion Citta del Tricolore. Stadion ini sebelumnya biasa dipakai oleh klub sepakbola AC Reggiana serta klub rugbi dari Parma, Zebre. Carpi, klub promosi Serie A musim lalu juga pernah menggunakan stadion ini pada musim 2011/12. Laga final Liga Champions Wanita 2016 juga digelar di stadion berkapasitas 42 ribu penonton ini.

    Stadion Citta del Tricolore yang mulai dipakai sejak 1995 ini tidak terletak di kota Sassuolo. Jelas tidak masuk akal memiliki stadion berkapasitas 42 ribu di kota yang hanya berpenduduk 41 ribu jiwa. Meski begitu, stadion ini terletak di dekat kota tersebut dan mudah dijangkau oleh para pendukung Sassuolo. Keputusan Squinzi untuk membeli stadion ini sendiri ia lakukan sekitar setahun setelah MAPEI menjalin kerjasama dengan pengelola stadion untuk menjadi sponsor.

    Kepemilikan stadion ini masih merupakan masalah krusial yang bisa menjadi pembeda di Italia. Selain karena pemasukan yang tak harus dibagi dengan pihak ketiga seperti pihak pengelola maupun pemerintah daerah setempat, Squinzi pun menemukan cara lain untuk memaksimalisasi kapita yang bisa didapat. Setelah membeli stadion, Squinzi pun menawarkan kepada Reggiana dan Zebre untuk menyewa stadion ini. Mereka pun bersedia untuk menyewa stadion yang kini bernama resmi MAPEI Stadium – Citta del Tricolore dan masih menggunakannya sampai sekarang.

    Foto: Claudio Villa/Getty Images

    Perjalanan Sassuolo untuk bisa menjadi salah satu klub besar Italia memang barangkali masih panjang, karena untuk mendapat label "klub besar", konsistensi prestasi adalah hal yang mutlak dibutuhkan. Asal tidak terburu-buru seperti Lazio dan Parma pada dekade 1990-an, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi salah satu klub besar Italia pada masa mendatang.

    Di tengah kasak-kusuk penjualan duo Milan dan ontran-ontran di Lazio yang belum jelas juntrungannya, Sassuolo muncul sebagai semacam penyejuk di tanah sepak bola Italia yang sedang gersang. Neroverdi berhasil menunjukkan bahwa untuk berprestasi, tak perlu ada sugar daddy, melainkan kecerdasan dalam menjalankan klub, serta kesabaran dan kerja keras, tentunya.


    =====

    * Penulis adalah Co-Founder @Fandom_ID , pemilik akun @@yogacholandha

    (a2s/din)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game