#Nyetadion ke Marseille, Lyon, dan Nice: Jebreeet!

Babak kedua telah berlangsung, Indonesia masih tertinggal 0-1 atas Thailand. Di bagian penonton kelas II, saya melihat wajah-wajah yang tegang dan cemas menyaksikan timnas yang sedang tertinggal. Bersama seorang teman saya berinisiatif menaiki pagar pembatas penonton depan, berteriak untuk mengajak suporter kembali bersuara untuk memberi dukungan dengan terus berteriak, bernyanyi, menyemangati. Tak lama berselang, lagu yang sedang dinyanyikan tergantikan dengan teriakan "gooooool". Saya tidak tahu siapa yang mencetak gol, tetapi yang jelas saya terus mengajak penonton berteriak, bernyanyi. Dan tak lama kemudian kembali terdengar teriakan "goooooooool", yang sekali lagi saya tidak tahu proses dan siapa yang mencetaknya. Namun yang saya tahu suara saya yang sudah mau habis tidaklah sia-sia karena Indonesia berbalik unggul 2-1 dan menjadi modal sebelum bertandang ke Thailand.
Itu adalah momen spiritual terbaik yang saya rasakan dan berada dalam titik klimaks pengalaman saya #Nyetadion di sepanjang tahun 2016, baik di mancanegara maupun dalam negeri.
Spanyol: Mestalla & Camp Nou
Pada bulan Mei 2016 saya berkesempatan menjadi bagian dari tim PERADI FC, Perhimpunan Advokat Indonesia yang bermain di Lawyers World Cup di La Manga, Spanyol. Setelah 10 hari berkompetisi, kami mampir ke Valencia dan Barcelona. Karena sudah off season dan memasuki masa persiapan Piala Eropa, tidak ada lagi pertandingan liga yang bisa saya saksikan di sana, baik di Mestalla maupun di Camp Nou .
Meski demikian, di Mestalla saya masih bisa tur stadion, sementara di Nou Camp saya mendapatkan tiket untuk menyaksikan malam inagurasi FC Barcelona yang sehari sebelumnya baru mendapatkan gelar Copa Del Rey dengan menaklukkan Sevilla secara dramatis. Minus Lionel Messi dan Luiz suarez, saya melihat secara langsung aksi mereka, termasuk pidato perpisahan Dani Alves yang hengkang ke Juventus.
Dari #Nyetadion tanpa menyaksikan pertandingan ini saya menyadari bahwa sejarah dan prestasi serta fasilitas yang ada di stadion dapat dijual kepada para penggemar, karena untuk mengikuti tur di kedua stadion tadi dikenakan tiket masuk. Belum lagi berbelanja di toko resmi merchandise klub masing-masing. Membangun hubungan yang dekat antara fans dan pemain tidak hanya melalui match namun juga acara-acara seremonial seperti inagurasi yang dilakukan, di mana pemain memberikan ucapan terima kasih dengan membawa keluarga mereka ke dalam lapangan.
Prancis
Di bulan Juni 2016, Piala Eropa dimulai sejak tanggal 10 dan momen yang sudah saya impikan sejak kecil pun terwujud, yakni menyaksikan langsung ke sana. Dengan biaya sendiri -- sebenarnya dapat pinjaman dari teman, hehehe--, saya bermodal smartphone dengan kamera yang bagus dan selfie stick alias tongsis dengan 2 ukuran, juga dokumentasi untuk mengisi konten video di channel yang saya miliki. Saya berangkat dari Jakarta menuju Milan dan melanjutkan perjalanan dengan bus menuju kota pertama di Prancis, yakni Marseille. Mengapa rutenya demikian? Baca tulisan saya di sini.
Stade Velodrome, Marseille: Inggris vs Rusia
Tensi panas sudah terasa jauh-jauh hari sampai beberapa jam sebelum kickoff, ketika kepolisian Prancis dikerahkan dengan jumlah yang lebih dari pengamanan normal. Gas airmata beberapa kali dilemparkan untuk menghalau sejumlah bentrokan yang melibatkan suporter, baik sebelum, saat maupun setelah pertandingan.
Saya sempat berada dalam satu bus di tengah-tengah fans kedua negara yang berseteru itu. Saking panasnya adu chant di antara mereka, sampai ada yang memukul-mukul bagian atas bus, sopir sampai memaksa semua penumpang turun, dan kami terpaksa berjalan kaki sejauh 10-15 km menuju stadion.
Menurut saya, penonton Inggris lebih berisik dan kreatif dalam menyanyikan lagu-lagu di luar dan di dalam stadion, juga yang paling sembarangan. Mereka seenak udelnya saja melempar-lemparkan botol minuman yang habis mereka tenggak.
Suporter Rusia lebih tidak terlihat saat di luar stadion karena mereka memilih minum-minum sebelum pertandingan di dalam kafe. Di dalam stadion mereka tidak sekreatif fans Inggris namun sangat khas dengan teriakan-teriakan yang menggema. Dengan postur tubuh yang relatif di atas rata-rata penduduk Eropa, mereka tampak "pendiam tapi disegani".
Ketika jelang akhir pertandingan terjadi kerusuhan, dari tribun saya terlihat jelas semua pendukung inggris yang bersebelahan dengan Rusia di tribun utara lari tunggang langgang dikejar-kejar pendukung Rusia yang tak berbaju.
Ada satu cerita di luar stadion yang menggambarkan bagaimana bernyalinya suporter Rusia walau terlihat cenderung kalem. Saat hendak mengambil barang-barang yang harus diitipkan, saya dan ratusan penonton sedang antre, tiba-tiba tiga penonton pemuda Inggris menyerobot antrean. Melihat hal tersebut seorang remaja Rusia memarahi mereka dan meminta mereka mengantre. Tidak terima dimarahi, ketiga pemuda inggris ini megancam akan menusuk dengan pisau si remaja Rusia, yang ternyata tidak takut dan tetap menyuruh mereka antre β dan akhirnya diiyakan.
Stade de Lyon: Italia vs Belgia
Cerita berbeda dengan #NYETADION pertandingan Inggris vs Rusia, atmosfer suporter Italia dan Belgia terbilang hangat. Mereka oke-oke saja makan bareng di restoran yang sama, menggunakan kereta bawah tanah yang sama, dan menaiki bus yang sama yang sudah disediakan panitia menuju stadion.
Sampai di depan stadion suasana pesta dari kedua fans berlanjut. Mereka saling bernyanyi, saling chanting, juga foto-foto bareng. Di dalam stadion saya berada di sektor pendukung Italia,yang langsung terlihat berbeda dibandingkan di luar. Saat di dalam mereka jauh lebih serius dan cemas menyaksikan timnya berlaga. Chant kreatif ala Lega Calcio tak terdengar. Hanya ada satu chant yang mereka teriakkan: ITALIA! ITALIA!
Sebaliknya, fans Belgia lebih kreatif dalam memberian dukungan bagi negaranya. Saat menyaksikan inggris saya berada di kerumunan suporter yang sedih karena Inggris kebobolan di menit akhir, sementara bersama Italia saya berada dalam posisi yang kegirangan karena mereka mendapat gol di menit akhir.
Akhir pertandingan semua tertib bahkan pendukung Belgia juga tidak larut dengan hasil yang mereka derita.
Stade de Nice: Spanyol vs Turki
Di kota ini saya kembali menyaksikan suasana kekerabatan antarpendukung. Tadinya saya berpikir kalau Spanyol dengan fanatisme Barcelona dan Madrid-nya akan mendatangkan banyak penonton garis keras. Ternyata mereka jauh lebih santai. Mereka benar-benar seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan film atau musik dibandingkan pertandingan sepakbola.
Saya duduk di tribun selatan belakang gawang, suasana tertib santai bahkan menurut saya terlalu santun dan santai untuk sebuah pertandingan semegah ini. Justru Turki yang menunjukkan layaknya mereka mendukung klub-klub mereka dengan teriakan-teriakan, nyanyian dan akhirnya saya bisa melihat koreografi yang dibuat selain mexican wave yang sudah biasa.
Saat saya keluar stadion, saya sempat berfoto dengan Robert Pires dan Eric Abidal yang sedang jadi pundit di sana. Saya juga tetap merasa rileks, bahkan berjalan santai tanpa alas kaki, karena para suporter dengan cepat meninggalkan stadion begitu pertandingan selesai.
Di Stade de Lyon dan Stade di Nice, penonton diberi fasilitas wifi gratis. Berbeda dengan di Indonesia, penonton yang duduk di bangku stadion kerapkali kesulitan mendapatkan sinyal telepon.
Saya harus pulang sebelum saat Piala Eropa memasuki babak sistem gugur, dengan alasan pekerjaan -- sejujurnya sih masalah dana (hehehe). Perasaan bangga, terharu, senang bercampur tidak percaya campur aduk dalam diri saya, karena salah satu impian saya terwujud dengan menyaksikan Piala Eropa dan berjanji untuk hadir ke Piala Dunia 2018 di Rusia.
Namun, setelah tiba di Indonesia, beberapa waktu kemudian ternyata yang saya alami di Eropa tidaklah se-JEBREEET dengan yang terjadi di negara Indonesia tercinta. Lho kok bisa? Apa yang terjadi? Saya akan ceritakan untuk anda semua di tulisan selanjutnya.
Salam Jebreeet,
Valentino Simanjutak
@radotvalent
![]() |