Jangan Manja, Pep!

Quote itu langsung terlintas di kepala saya ketika melihat meme-meme murung dan parodi yang ditujukan kepada Pep Guardiola setelah Man City dicukur 0-4 oleh Everton.
Secara kualitas kepelatihan, tentu Pep "dianggap" jauh diatas segalanya dibanding Ronald Koeman. Kita tidak bisa menutup mata dengan raihan trophy yang sudah diraih oleh Pep sejauh ini. Secara kualitas pemain Man City juga lebih mumpuni dengan gelontoran total ratusan juta pound.
Lalu, apa yang bikin Pep berkali-kali dipermalukan dan tidak superior di Premier League?
==
Semua tentu tau bagaimana superiornya Barcelona & Bayern Muenchen saat ditangani Pep. Gelar juara La Liga & Bundesliga seperti menjadi template saat itu. Tiki-taka seolah mudah diaplikasikan di tim manapun yang dilatihnya.
Total di usianya yang baru 46 tahun, Pep sudah mendapatkan lebih dari 20 Major Trophy. Bandingkan dengan seorang Sir Alex Ferguson yang di usia tersebut baru mendapatkan 12 trophy. Bahkan, seteru Pep, Jose Mourinho, hanya memiliki 14 Trophy saat seusia itu.
Tapi, layaknya seorang karyawan kantoran yang sudah berada di zona nyamannya, mungkin Pep merasa bahwa dia harus mencoba ke tempat yang lebih untuk mendapatkan hal baru & sebagai pembuktian pada para pengkritiknya.
==
Banyak yang mengatakan Barcelona-nya Pep sudah bagus dari sananya. Pep memang berhasil menyempurnakan Tiki-taka pada duet Xaviesta (Xavi-Iniesta), menemukan fungsi Sergio Busquets, memaksimalkan seorang Victor Valdez menjadi pelopor sweeper keeper, dan tentunya dibuktikan dengan sejarah 6 trophy dalam 1 tahun.
Tapi, hal ini masih dipandang sebelah mata karena La Liga hanyalah perlombaan 2 ekor kuda. Pertandingan besar Barcelona hanya saat El Clasico melawan seteru abadi mereka, Real Madrid.
Kehebatan Pep masih tidak diakui karena saat itu Madrid dalam masa transisi dan baru memulai era Galacticos jilid 2. Keraguan akan kejeniusan Pep makin diperjelas dengan raihan treble yang mampu diulangi oleh Luis Enrique, yang notabene-nya adalah pelatih gagal di AS Roma, 3 tahun setelah Pep mundur. Dan selepas Pep, segitiga Xavi-Iniesta-Busquets masih bermain dengan gaya masing-masing, dan tentunya Messi masih jadi pemain terbaik dunia.
Ketika menjelang masa akhirnya di Barcelona, di mana Pep mulai mendapat tekanan dari Mourinho, keluarlah keinginan untuk sabbatical (istirahat) dari sepakbola.
Dan di tahun 2011-2012, yang merupakan tahun terakhir Pep menangani Barcelona, ditutup dengan melihat Jose Mourinho bersama Real Madrid mengangkat trophy La Liga.
==
Selama masa istirahatnya di New York, datanglah banyak tawaran melatih dari beragam tim dan liga. Dan pilihan pun jatuh kepada Bayern Muenchen.
Banyak yang dibuat kecewa oleh pilihan Pep.
Jika saat di La Liga hanya ada 2 kuda, di Bundesliga bisa dikatakan hanya ada 1 Serigala. Sisanya hanyalah para Domba yang siap dimangsa.
Dengan kapasitas Pep, tentu Bundesliga terlalu mudah baginya. Tanpa dilatih Pep, Bayern Muenchen sudah menjadi raksasa tunggal Bundesliga. Tim yang didapatkan Pep adalah tim warisan Jupp Heynckes yang memberikan Bayern treble pertama dalam sejarah mereka. Dengan tambahan Mario Goetze yang didapat dari rival terdekat saat itu, Dortmund, makin membuat Bundesliga tidak kompetitif.
Bersama liga yang tidak kompetitif dan tim yang super, 3 tahun Pep diisi dengan semua raihan gelar domestik. Liga Champions? Tidak banyak yang bisa dibicarakan Pep di Eropa. Di bantai Real Madrid pada semifinal 2013-14, lalu dihentikan oleh Barcelona, dan digagalkan Atletico Madrid setahun setelahnya.
Praktis trophy Eropa yang didapat Pep hanyalah Super Eropa dan Piala Dunia Antar Klub pada musim 2013-14, dimana hanya melanjutkan kesuksesan sebelumnya, yang semakin membuat kritikus sangsi dengan kehebatan Pep.
==
Pep merasa bahwa 3 tahun cukup baginya mengarungi Bundesliga. Lalu muncullah keberanian untuk berenang di kolam yang lebih ganas bernama Premier League.
Sempat diisukan ditawar oleh Manchester United, namun Pep ternyata memilih tetangga berisik Si Setan Merah, Manchester City. Ada yang mengatakan bahwa Pep tidak mau, atau mungkin tidak berani, melatih Man Utd karena melihat nasib Moyes & Van Gaal yang selalu dibanding-bandingkan dengan kesuksesan Sir Alex Ferguson. Dia lebih ingin menjadi Sir Alex di tim lain, yang membawa kesuksesan tiada tara dan diagung-agungkan oleh fansnya kelak.
Dengan memilih City, tidak membuat para kritikus membuka kedua matanya terhadap Pep. Mereka merasa bahwa Pep main aman karena City pasti belanja jor-joran demi memenuhi keinginan Pep, yang sesungguhnya tidak ada masalah menurut saya.
Perjalanan awal musim City pun amat mulus. 6 pertandingan awal liga disapu bersih dengan kemenangan yang membuat City menjadi pemuncak klasemen. Hal ini cukup membungkam para pengkritiknya.
Lalu petaka bagi Pep diawali dari kekalahan yang diberikan Spurs. Catatan buruk menyertai Pep & City dimana mereka tidak bisa menang selama 7 pertandingan.
Sesungguhnya Pep masih aman dari sorotan, karena saat itu semua mata tertuju pada performa Pogba, si pemain termahal, yang masih dibawah rata-rata. Selain itu, musuh media Inggris bernama Jose Mourinho juga lebih enak untuk diserang, meskipun performanya tidak seburuk Pep.
Tidak ada yang menyoroti performa John Stone yang dibeli seharga 50 juta pound tapi bertingkah seperti mannequin di depatment store. Carlos Bravo bahkan masih dipertanyakan kehadirannya karena City seperti tidak memiliki seorang kiper.
Setelah kekalahan berturut dari Chelsea dan Leicester City pun, Pep masih tidak terlalu menjadi sorotan.
==
Sikap manja Pep mulai terlihat saat City dikalahkan oleh Liverpool pada boxing day.
Meskipun setelahnya menang susah payah melawan Burnley, raut muka Pep terlihat tidak senang. Lalu terucaplah keinginan Pep untuk pensiun dini dengan mengatakan City sebagai jalan menuju akhir karirnya.
Posisi City yang jeblok dan tekanan dari media Inggris akhir-akhir ini dirasa membebani pikiran Pep, yang memang terkenal overthinking dan perfeksionis. Saya membayangkan Jose Mourinho atau mungkin Diego Costa sekalipun pasti
sedang terbahak-bahak mendengar ucapan Pep tersebut.
Ketika Pep sedang mengukir rekor terburuk dalam karirnya saat City gagal menang 7 laga berturut-turut, media lebih suka menyoroti Mourinho yang tidak mampu memaksimalkan skuad mahal Man Utd. Ketika Claudio Bravo, bermain sangat buruk, media lebih suka menyoroti ulah Diego Costa yang cekcok dengan Conte.
Bahkan, pembelian flop bernama John Stone pun luput dari sorotan karena media lebih suka menyorot performa Liverpool yang sedang seret gol ditinggal Sadio Mane.
==
Gaya main yang keras, liga yang kompetitif, dan media yang suka mencari-cari kesalahan harusnya bisa menjadi tempat yang ideal untuk Pep memberi pembuktian bersama City di Premier League.
Untuk media, Pep jauh sangat beruntung dibandingkan dengan rivalnya Jose Mourinho, yang memang sudah jadi musuh media Inggris. Secara permainan, Pep juga beruntung diberikan City dana tak terbatas untuk belanja pemain sesuai skemanya. Yang terakhir, ini lah yang sangat penting. Meski masih bisa diperdebatkan, Premier League adalah liga yang paling kompetitif. Kualitas antar tim bisa dibilang tidak terlalu timpang.
Jika dulu Pep tiap pekannya menghadapi tim sekelas Granada, Osasuna, atau Freiburg, kini Pep dihadapkan pada tim yang lebih setara tiap pekannya. Selesai lawan Man Utd, ada Spurs yang menunggu. Menang lawan Arsenal, Liverpool sudah siap mempermalukan. Bahkan tim promosi sekelas Middlesbrough-pun mampu menahan imbang City. Jika serangkaian hasil buruk ditambah sedikit tekanan media saja sudah membuat seorang pelatih ingin pensiun dini, mungkin kita tidak akan melihat Arsene Wenger melempar botol dari pinggir lapangan.
Barcelona dan Messi, serta Muenchen dengan Neuer adalah zona nyaman-mu, Pep. Premier League, City, dan skuad yang tidak sejenius pemain-pemain yang pernah anda latih, adalah ajang pembuktian terbaik kualitas seorang Pep Guardiola.
Sepakbola adalah olahraga yang keras, apalagi Liga Inggris.
Jadi, jangan manja, Pep! (din/din)