Menuju Thomas Cup Mengenang Dompet Donasi untuk Ferry Sonneville

Indonesia memiliki Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, juga Kevin Sanjaya Sukamuljo, dan Marcus Fernladi Gideon ke Thomas Cup 2020. Dulu, kita memiliki Ferry Sonneville yang disokong donasi untuk pulang demi membela Indonesia.
Thomas dan Uber Cup 2020 dilangsungkan mulai 16 hingga 24 Mei di Aarhus Idraetspark, Denmark. Tunggal pertama Anthony baru saja menjadi juara Indonesia Masters 2020, tunggal kedua Jonatan merupakan pemilik medali emas Asian games 2018 Jakarta.
Di sektor ganda, Indonesia mempunyai jagoan-jagoan yang bisa dibilang cukup banyak menghiasi podium turnamen dunia. Ada Kevin /Marcus dan Hendra Setiawan/Mohamad Ahsan, serta Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto.
Kegemilangan atlet-atlet bulutangkis putra tersebut tentunya menjadi harapan Indonesia untuk membawa pulang trofi Thomas Cup . Apalagi, sudah cukup lama piala tersebut dibawa pulang, yakni pada 2002. Saat itu, Indonesia memiliki Taufik Hidayat, Hendrawan, juga Candra Wijaya dan Sigit Budiarto.
Trofi itu menjadi koleksi ke-13 Indonesia. Merah Putih masih menjadi negara paling sering menjadi juara Piala Thomas.
***
Rekor sip pebulutangkis putra Indonesia di Thomas Cup itu dimulai pada 1958 di Singapura (yang saat itu masih menjadi bagian dari Malaya). Trofi itu didapatkan dengan modal otot, bahkan Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) tak memiliki cukup uang untuk memulangkan satu pemain top yang sedang bersekolah di Belanda Ferry Sonneville.
Begini ceritanya:
Menjelang Thomas Cup 1958, PBSI melakukan persiapan serius. Pada edisi keempat Piala Thomas itu, Indonesia bertekad mendobrak hegemoni Malaysia yang selalu keluar sebagai juara sejak kali pertama ajang bulutangkis beregu putra itu dilangsungkan.
PBSI menyeleksi pemain-pemain bulutangkis Indonesia di dua kota, yakni Semarang dan Surabaya. Pemain yang dipanggil seleksi itu, didasarkan atas peringkat, kedudukan pemain dalam daftar perebutan kejuaraan, hasil PON IV, serta hasil-hasil seleksi setelah melawat ke Selandia Baru dan Australia.
Dalam prosesnya, ada 22 pemain yang dipanggil untuk mengikuti seleksi, sebanyak sebelas pemain masuk dalam Regu A yang ditempatkan di Semarang dan sebelas lainnya berada di Regu B, yang ditempatkan di Surabaya.
Tan Yoe Hok, Eddy Jusuf, Gan Liang Hay, Masduki, Tutang, Lim Eng Chin, Tjan Tiam Boen, Tjioe Wie Hong, Tan Thiam Beng, Kwik Hian Soei, dan Lim Kim Hian, adalah mereka yang mengikuti seleksi di Semarang.
Sementara itu, Olich, Lie Po Djian, M. Jasin, Njoo Kiem Bie, Tan King Gwan, Tio Tjoe Djen, Tan King Gie, Gouw Soen Lok, Gan Khay Houw, Idris, dan Thio Siang Tho, mengikuti seleksi di Surabaya.
Sejatinya, PBSI mendambakan satu nama lagi untuk bergabung dalam seleksi tersebut. Ferry diharapkan bisa turut meramaikan persaingan.
Tapi, masalah besar mengadang. Ferry, yang memiliki nama lengkap Ferdinand Elexander Sonneville, sedang berada di Belanda. Ia kuliah jurusan Ekonomi di Nederlandse Economische Hoogeschool (NEH) di kota Rotterdam.
Harapan PBSI itu tak berlebihan. Ferry, putra dari Dirk Jan Sonneville, seorang Belanda-Perancis, dan Leoni Elizabeth, memulai karier di bulutangkis ketika bergabung menjadi anggota perkumpulan bulutangkis yang bernama BUKTI (Badan Usaha Kesatuan Tenaga Indonesia) yang dipimpin oleh Ramli Rikin dan berpusat di Kepu, Kemayoran.
![]() |
Kemudian, Ferry bergabung dengan Bakti, divisi bulutangkis PORI (Persatuan Olah Raga Republik Indonesia), yang saat itu diketuai oleh Sudirman.
Ferry muda mulai menunjukkan potensinya lewat gelar juara pada turnamen-turnamen yang diadakan di dalam maupun luar negeri. Dari tahun 1953 hingga 1955, ia juga aktif menjadi pengurus PBSI Jaya.
Ketika para pebulutangkis Indonesia uji tanding melawan tim dari Penang, Ferry berhasil mencuri perhatian, karena dari sebelas perwakilan Indonesia, hanya ia yang meraih kemenangan setelah mengalahkan Cheah Thien Kioe.
Waktu itu, pebulutangkis Malaysia memang disegani. Merekalah yang menjuarai Piala Thomas di tiga edisi awal, 1949, 1952, dan 1955.
Darah bulutangkis Ferry berasal dari ibunya. Wisnu Subagyo, dalam buku Ferry Sonneville: Karya dan Pengabdiannya, menerangkan bahwa Leoni Elizabeth gemar bermain bulutangkis, dan terkenal sebagai pemain yang tangguh. Pada tahun 1935, Leoni menjadi juara tunggal bulutangkis dalam Ikatan Badminton Jakarta atau Bataviaasche Badminton Bond (hlm. 6).
***
Gayunng bersambut, Ferry juga menyimpan harapan besar untuk tampil bersama tim Indonesia di Piala Thomas 1958 itu. Tapi, biaya menjadi kendala. Dia mengajukan syarat biaya perjalanan pulang perginya ditanggung oleh PBSI.
Harapan itu nyaris pupus. Sebab, PBSI tak segera memberikan penjelasan karena rupanya terjadi pertentangan di internal PBSi untuk memulangkan Ferry.
"Menurut pendapat dewan pengurus PBSI, agak diragukan apakah dapat dipertanggungjawabkan, agak riskan bila orang mengeluarkan biaya-biaya untuk mendatangkan Ferry Sonneville ke sini (Indonesia) kemudian memulangkannya lagi ke tempat belajarnya, sebab bagi Indonesia, biaya-biaya itu luar biasa tinggi," majalah Star Weekly, edisi 1 Maret 1958
Tidak dapat orang merasa pasti benar bagaimana kondisi, keadaan, Ferry sekarang: dapatkah ia sesungguhnya memperkuat regu kita, terutama regu Thomas Cup kita? Kalau Ferry pulang sendiri, yakni membayar sendiri biaya perjalanannya pulang pergi itulah lain perkara, demikian pendapat orang dalam PBSI."
Ferry, masih menurut Star Weekly, "ingin sekali datang asalkan ditanggung biayanya pulang pergi. Ada suatu suara dari kalangan PBSI yang mengatakan, bahwa PBSI pasti akan membayar semua biaya untuk Ferry kalau kelak ia menangkan kejuaran-kejuaraan All England."
Kabar kesulitan dana untuk membawa Ferry ke Indonesia yang diwartakan Star Weekly itu direspons nyata oleh pemaca. Tjoa Keng Lin, seorang pembaca Star Weekly dari Bogor menginisiasi pengumpulan dana untuk Ferry.
"bulutangkis adalah satu-satunya cabang olahraga di mana kita mempunyai harapan menjadi kampiun dunia, untuk itu kita harus berani berkorban".Tjoa Keng Lin |
Tjoa Keng Lin mendatangi kantor redaksi Star Weekley pada 3 Maret 1958. Dia membawa uang sebesar Rp. 1.000 dan menyerahkan sebagai bentuk donasi untuk membantu biaya perjalanan pulang-pergi untuk Ferry.
Kerelaan Tjoa Keng Lin mengawali penggalangan dana bagi Ferry didasari oleh sebuah alasan yang masih relevan hingga saat ini, yakni "bulutangkis adalah satu-satunya cabang olahraga di mana kita mempunyai harapan menjadi kampiun dunia, untuk itu kita harus berani berkorban".
Redaksi Star Weekly pun melanjutkan upaya memulangkan Ferry itu dengan meminta jaminan kepada PBSI andai uang untuk memulangkan Ferry sudah terkumpul PBSI benar-benar bisa mendatangkan Ferry sekaligus membiayai keberangkatannya lagi ke Belanda.
Gayung bersambut, redaksi Star Weekly mendapat jaminan dari pengurus pusat PBSI, dengan catatan Ferry mampu menembus semi final All England yang sedang berlangsung bulan Maret 1958.
Harapan bahwa Ferry akan segera datang ke Tanah Air segera muncul ketika Ferry berhasil melaju ke semi final All England walaupun gagal melaju ke final setelah dikalahkan wakil Denmark, Finn Kobbero.
Star Weekly pun serius membuka donasi kepada pembaca. Pada 29 Maret 1958, Star Weekly memuat pengumuman penggalangan dana untuk Ferry Sonneville dengan tajuk "Diminta Bantuan Pembaca Supaya Ferry Sonneville Dapat Menjunjung Nama Indonesia."
Dana yang dibutuhkan sebesar Rp. 50.000. Waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dana hanya sekitar sebulan, karena Ferry sudah harus mendarat di Tanah Air pada bulan Mei untuk berlatih bersama pemain-pemain lain, sementara Thomas Cup akan dihelat pada bulan Juni.
"Bantuan uang sekecil apapun hendaknya dikirim kepada redaksi mingguan ini, Pintu Besar 86-88, Jakarta Kota", redaksi Star Weekly mengumumkan.
Penggalangan dana ini mendapat respon yang cukup baik. Tak cuma dari perorangan, bahkan beberapa perusahaan pun ikut andil, sehingga dana yang terkumpul terus bertambah tiap pekan.
Pada 24 Mei 1958, Star Weekly mengumumkan bahwa "Dompet Ferry Sonneville Ditutup", meskipun dana yang terkumpul baru berjumlah Rp 40.025, belum memenuhi target awal. Ferry Sonneville pun sudah tiba pada pertengahan Mei.
Walaupun sudah ditutup, masih ada donatur yang mengirimkan uang ke redaksi Star Weekly. Per tanggal 7 Juni 1958, dana yang terkumpul sebanyak Rp. 40.460,80. Bahkan redaksi Star Weekly masih mengumumkan adanya uang yang masuk dari para donatur pada 21 Juni 1958, hingga jumlah total uang yang terkumpul sebanyak Rp. 40.545, 80.
Sehari sebelum menuju Singapura, Ferry menulis surat yang berisi ucapan terima kasih kepada redaksi - yang dimuat dalam Star Weekly edisi 7 Juni 1958 - atas penggalangan dana yang telah dilakukan.
![]() |
"Mudah-mudahan dalam pertandingan-pertandingan yang akan datang kita berhasil mencapai apa yang kita idamkan", tulis Ferry dalam penutup suratnya.
Dalam catatan Wisnu Subagyo, Ferry didaulat sebagai coach dan non-playing captain bagi tim Indonesia (hlm. 16), sebuah beban yang cukup berat tentunya. Namun, melihat pengalaman Ferry yang mempunyai jam terbang cukup tinggi di level internasional, rasanya tak heran jika ia mendapat tugas tersebut.
Ferry pun pernah menulis tentang kelemahan-kelemahan pemain Denmark di majalah Star Weekly, sebuah tulisan yang tak mungkin dihasilkan apabila ia tak mempunyai pengalaman bertanding yang mumpuni dengan pemain-pemain Denmark yang notabene tim kuat dalam Thomas Cup 1958.
Setelah itu, yang tercatat adalah sejarah manis. Ferry menjadi salah satu tumpuan regu Indonesia yang tak diunggulkan, dan berhasil membawa pulang Piala Thomas untuk pertama kalinya. Penampilan cemerlang Ferry Sonneville, Tan Yoe Hok, Tan King Gwan, Njoo Kiem Bie, Eddy Jusuf, membuat lawan (sekaligus negara unggulan), Thailand dan Denmark gigit jari, sekaligus meruntuhkan dominasi Malaya (Malaysia).
***
Menjelang Thomas Cup 2020, boleh dibilang PBSI tak akan menghadapi masalah serupa. Kantong PBSi cukup tebal untuk membiayai pemain ke turnamen internasional. Para pemain juga bisa berfokus menyiapkan diri dengan berlatih di pelatnas Cipayung. Semoga, trofi Thomas Cup kembali dibawa pulang.
***
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta beredar lewat Facebook: Arienal Aji Prasetyo, atau Instagram: prasetyoarienal