Antara Mourinho dan Cao Cao

Tiongkok, sekitar sekitar tahun 200, seorang penguasa mengeksekusi mati dua orang panglima perangnya karena ia mencurigai adanya upaya pengkhianatan. Hal tersebut berkontribusi kepada kekalahan besar kerajaan si penguasa tersebut dalam pertempuran.
Inggris, tahun 2015, seorang manajer klub “menyingkirkan” dua staf medisnya. Hal tersebut ikut mengiringi raihan hasil minor tim yang bersangkutan sejauh ini.
Langkah Chelsea di musim 2015/16 masih tersendat. Belum meraih kemenangan di kompetisi Liga Inggris, plus baru saja kehilangan trofi Community Shield di awal musim. "Konflik" internal di Stamford Bridge mengiringi raihan hasil tidak memuaskan tersebut. Perselisihan manajer Jose Mourinho dengan staf medis tim -- Eva Carneiro dan John Fearn. Masalah berawal dari tindakan tim medis Chelsea dalam laga sebelumnya yakni melawan Swansea. "Keputusan" Carneiro dan Fearn untuk memberikan perawatan kepada Eden Hazard yang cedera, dipandang oleh Mourinho justru merusak strategi tim dan menghalangi The Blues mengalahkan Swansea --pertandingan itu berakhir seri.
Pasca konflik itu Mou memutuskan “menepikan” Fearn dan Carneiro. Keduanya tidak masuk dalam daftar ofisial tim London Barat dalam pertandingan menghadapi Manchester City tadi malam (16/8). Hasil akhir, Mourinho dipaksa melihat “Si Biru” digelontor tiga gol oleh anak buah Manuel Pellegrini. Dalam laga tersebut, terlihat pemandangan "menarik" ketika pemain Chelsea yang cedera memperoleh perawatan dari staf medis City.
Kekalahan plus konflik internal ini tentu menambah berat beban Chelsea dan Mourinho. Apa yang dialami manajer asal Portugal itu hampir mirip dengan apa yang dialami Cao Cao, penguasaa Kerajaan Wei, di Pertempuran Karang Merah (masa Tiongkok Kuno, sekitar tahun 208 Masehi).
Cao Cao berambisi melakukan ekspansi ke wilayah selatan. Itu diwujudkan dengan mengerahkan ratusan ribu pasukan perang ke arah Sungai Yangtze. Meski jumlahnya lebih banyak dibanding lawan (persekutuan kerajaan Wu dan Shu) dan sering memenangi peperangan, namun pasukan Wei belum terbiasa melakukan pertempuran di perairan.
Itu sebabnya Cao Cao merekrut dua komandan yang sudah fasih dengan pertempuran laut, yakni Cai Mao dan Zhang Yuo. Tetapi, sebelum pertempuran berlangsung, Cao Cao justru mengeksekusi keduanya. Apa penyebabnya? Cao Cao termakan isu dari pihak lawan bahwa Cai Mao dan Zhang Yuo hendak berkhianat pada dirinya.
Ketika isu tentang pengkhianatan itu masuk ke telinga Cao Cao, ia kemudian memanggil Cai Mao dan Zhang Yuo. Cao Cao bertanya, apakah angkatan laut Wei sudah siap untuk menyerang? Kedua komandan itu menjawab belum. Ada dua alasan yang mereka kemukakan yakni sebagian besar prajurit masih mengalami mabuk laut hingga butuh waktu melatih keseimbangan mereka, dan sebagian besar prajurit Wei belum terbiasa dengan pertempuran air. Sehingga butuh waktu setidaknya tiga bulan untuk melatih pasukan (Romance of the Three Kingdoms, 2014 hal. 76-78).
Cao Cao, yang sudah termakan hasutan lawan, justru menangkap penjelasan itu sebagai bentuk nyata pengkhianatan. "Tiga bulan?! Aku rasa saat itu kepalaku sudah digantung di Xiaoku!" ujar Cao Cao. Tanpa mau mendengar klarifikasi dari Cai Mao dan Zhang Yuo, Cao Cao langsung memerintahkan eksekusi mati bagi keduanya. Belakangan, Cao Cao menyadari telah tertipu tetapi semuanya sudah terlambat (Romance of the Three Kingdoms, 2014 hal.76-78).
Tanpa bantuan orang yang mengerti situasi medan pertempuran, Cao Cao dan pasukannya kalah telak dalam pertempuran Karang Merah. Pasukannya hancur lebur dan banyak yang harus meregang nyawa.
Jika Cao Cao terprovokasi oleh isu yang dihembuskan pihak lawan, lalu siapa yang memprovokasi Mourinho? Padahal, eks manajer FC Porto, Inter Milan, dan Real Madrid itu dikenal sebagai sosok yang sering melindungi pasukannya (misal baca : Mourinho Soal Kontroversi Diving Pemain-pemain Chelsea, detikSport, 29/12/2014, 08:16 WIB). Andai pun ada perbedaan pendapat secara internal, dia akan selesaikan secara internal pula. Namun untuk kasusnya dengan tim medis Chelsea, The Happy One -- yang mungkin tengah tidak gembira untuk saat ini-- justru mengumbarnya kepada media.
Faktor Kultural
Dalam kasus Mourinho, tidak ada faktor eksternal yang menjadi pemicu. Apakah penyebabnya faktor internal? Ada kemungkinan faktor kultural atau kebudayaan, dalam konteks ini adalah kultur Portugal –negara asal Mourinho—berpengaruh dalam situasi ini.
Pembahasan tersebut berangkat dari konsep bahwa “semua aktivitas komunikasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya di sebuah masyarakat”. Begitu pula aktivitas komunikasi yang dilakukan Mourinho. Guna melihat kebudayaan di masyarakat, pakar psikologi sosial asal Belanda, Geert Hofstede, mengenalkan dimensi sebagai berikut, yakni: (1) jarak kekuasaan, (2) tingkat individualisme, (3) maskulinitas, (4) upaya untuk menghindari ketidakpastian, dan (5) orientasi jangka panjang (Global Public Relations Handbook, 2009).
Bagaimana dengan kultur Portugal? Skor untuk jarak kekuasaan adalah 63, individualisme adalah 27, maskulinitas 31, upaya untuk menghindari ketidak pastian 99, dan orientasi jangka panjang adalah 28 . Skor tersebut menggunakan skala 0-100. Untuk skor antara 0-50 masuk kategori rendah, sementara 51-100 masuk kategori tinggi.
Ada tiga dimensi yang akan dibahas di sini yakni upaya untuk menghindari ketidakpastian, individualisme, dan jarak kekuasaan. Dimensi yang paling mencolok dari kultur Portugal adalah upaya untuk menghindari ketidakpastian (uncertainty avoidance). Nilai 99 menunjukkan bahwa budaya Portugal sangat memegang teguh peraturan dan tatakrama yang sangat ketat. Ide-ide dan tindakan yang diluar tatanan tidak dapat ditoleransi. Budaya ini sangat memegang teguh peraturan, bahkan ketika peraturan tersebut kurang relevan untuk menghadapi keadaan.
Faktor tersebut juga berhubungan dengan kultur kolektif Portugal (ditunjukkan dengan nilai rendah dalam kategori individualisme). Dalam kultur kolektif, kesetiaan adalah hal yang utama. Hal-hal yang menyinggung perasaan memicu rasa malu dan kehilangan nama baik. Hubungan antara atasan dan bawahan dipandang dari segi-segi moral (seperti hubungan keluarga).
Dalam kultur kolektif, pemimpin menjadi penentu jalannya organisasi. Hal ini berkaitan dengan faktor jarak kekuasaan. Bos di Chelsea adalah Mourinho. Ketika The Special One merasa dilangkahi oleh tim medis-nya, hal tersebut wajar. Skor untuk kategori jarak kekuasaan di budaya Portugal cukup tinggi yakni 63. Secara garis besar, dimensi jarak kekuasaan menjelaskan bagaimana posisi antara atasan dengan bawahan, antara senior dengan junior, antara manajer dengan karyawan. Bagi negara dengan skor jarak kekuasaan yang tinggi, maka mereka yang menempati posisi lebih tinggi akan lebih dihormati.
Lebih jauh lagi, dimensi kultur ini menempatkan pemimpin sebagai pihak yang tidak bisa dikritik, tidak boleh dilangkahi. Tindakan tim medis Chelsea untuk segera masuk lapangan sebenarnya demi kebaikan tim sendiri. Bayangkan jika pemain yang cedera tidak cepat-cepat mendapat perawatan, mungkin cederanya semakin parah dan bisa absen lama. Tetapi, faktor kultural tadi membuat Mourinho menganggap tindakan tim medisnya merupakan pembangkangan.
Catatan Penutup
Jika di awal konflik—setidaknya hingga sebelum melawan Manchester City, masih ada pemahaman bahwa konflik internal Chelsea adalah upaya membuat tim lawan lengah. Konflik bisa jadi “sengaja” diciptakan Mourinho untuk menutupi bahwa tim London Barat itu belum stabil. Namun menilik hasil teraktual tim London Barat, konflik tersebut punya potensi risiko besar. Perlakuan Mourinho terhadap tim medis-nya, yang menjalankan tugasnya sebagai paramedis dengan benar, bisa berujung kontraproduktif. Bayangkan apabila Carneiro dan Fearn kemudian merasa tidak dihargai?
Dalam sebuah pertempuran, prajurit tetaplah sebuah aset. Anak buah bukan mesin yang bisa diperlakukan semaunya. Seperti halnya dalam ilmu manajemen, sumber daya yang penting bagi sebuah perusahaan adalah sumber daya manusia – di samping bahan baku, metode, teknologi, modal, dan pasar. Sebagai manusia, tentu mereka bukan sekadar mesin yang bisa diperintah begitu saja. Mereka punya sikap, mereka punya sudut pandang.
Bagi petugas medis, sudah menjadi kewajiban mereka untuk menolong siapa pun yang sakit, tanpa memandang kawan atau lawan. Tentu kita masih ingat bagaimana staf medis Arsenal, Gary Lewin, menyelamatkan John Terry (Chelsea) usai benturan keras dengan Abou Diaby (Arsenal) di final Piala Liga 2007. Padahal saat itu Lewin juga tengah merawat pemain Arsenal yang terkena lemparan dari suporter Chelsea. Tetapi begitu dia melihat cedera Terry cukup serius, Lewin yang berada dekat dengan lokasi kejadian, langsung berlari dan melakukan tindakan penyelamatan terhadap kapten The Blues itu.
Catatan: Lewin saat itu juga bertugas jadi fisioterapis timnas Inggris. Jadi tindakannya ini mungkin ya bisa dimaknai sebagai tugas dia untuk timnas, meski saat itu yang bertanding adalah klub). Bandingkan dengan yang dilakukan Carneiro dan Fearn: menolong pemain Chelsea sendiri, namun kemudian malah kena marah plus dapat sanksi dari bos sendiri. [Baca juga: Lebih Dekat dengan Eva Carneiro dan Profesi Dokter Klub].
Guna menutup tulisan ini, ada refleksi menarik dari kisah peperangan zaman Tiga Negara di Tiongkok. Diceritakan ibu dari seorang prajurit menangis sedih, ketika ia mengetahui anaknya yang terluka ditolong oleh seorang jenderal bernama Wu Qi. Sang ibu menangis karena yakin bahwa anaknya akan mati karena bertempur habis-habisan guna membalas budi bagi Jenderal Wu Qi. Sebelumnya, ibu tersebut juga telah kehilangan suaminya yang juga telah menadapatkan bantuan dari Jenderal Wu Qi. Sebagai catatan, Jenderal Wu Qi bersama pasukannya telah memenangkan 64 dari 76 pertempuran. Ini berarti, Prajurit yang diperlakukan dengan baik oleh pemimpinnya, lebih suka mengorbankan diri daripada mundur. Dalam keadaan sulit, mereka rela mempertaruhkan nyawa bagi sang komandan (100 Strategi Perang, 1995, hal.37-38)
Secara resmi Mourinho adalah komandan di Chelsea, dan Carneiro dan Fearn adalah sebagian dari prajurit Mourinho. Tetapi prajurit tetaplah manusia. Secara psikologis, mereka juga memiliki kebutuhan afeksi (mencintai dan dicintai).
====
*) Penulis adalah staf pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.