Johan Cruijff (dan Ingatan yang Kini Selesai)

Semua bermula di tahun 1974. Piala Dunia. Saya berusia enam tahun.
TVRI waktu itu setiap sore sehabis ashar hingga menjelang maghrib memutar rekaman (cuplikan) pertandingan. Di kampung tempat kami tinggal, setidaknya seingat saya, hanya ada dua keluarga yang mempunyai televisi. Kedua keluarga itu setiap hari memperbolehkan warga kampung untuk menonton TV mereka.
Adalah sangat menjengkelkan bahwa hampir semua orang, yang jauh lebih tua dari saya, memuja tim Belanda dan Johan Cruijff (atau Cruyff dalam ejaan bahasa Inggris). Belanda yang paling hebat lah, permainannya paling indah lah, Crujff pemain terbaik dunia lah, Rinus Michels pelatih terbaik dunia, Belanda merevolusi permainan sepakbola, dan segala macam atribut keluarbiasaan lainnya.
Kalau cuplikan pertandingan Belanda yang dimainkan, bisa puluhan orang tua-muda berkumpul menonton. Kalau tidak, terkadang hanya saya -- entah mengapa saya mau mengorbankan waktu bermain di sore hari selama Piala Dunia -- dan pemilik rumah yang menonton. Seolah bagi mereka hanya Belanda yang layak ditonton. Belanda bukan sepakbola.
Dalam benak saya: ini Belanda yang menjajah Indonesia. Belanda yang menyengsarakan Indonesia. Belanda yang selalu kami jadikan musuh ketika kami bermain perang-perangan lewat syair lagu: Londo mati dibondo, Inggris mati dilinggis, Jepang mati ditepang (Belanda mati kita ikat, Inggris mati kita linggis, Jepang mati kita tendang).
Sungguh, otak anak kecil berusia enam tahun tak habis mengerti. Bagaimana mungkin Belanda masih dibela?
Saya bahkan kemudian menjadi pegiat anti-Belanda ke sesama teman yang suka sepakbola atau siapapun yang mau mendengarkan. "Jerman Barat. Pemainnya lebih hebat-hebat," kata saya sok tahu.
Saya pun menyerocos tentang sekian nama standard seperti Franz Beckenbauer, Sepp Maier, Bertie Vogts, Paul Breitner, dan Gerd Mueller. Nama-nama dari halaman koran langganan bapak yang saya rajin baca gara-gara Piala Dunia. Penyebab pertama saya gemar baca koran dikemudian hari.
Saya yakin di koran saat itu pasti ada pembahasan -- dan pasti membacanya -- tentang Total Tootball, Cruyff Turn, dominasi pemain Ajax yang menjadi juara Piala Champions Eropa tiga tahun berturut-turut di timnas Belanda, dan lain sebagainya. Tetapi itu tak penting. Tidak ada artinya buat anak sekecil saya. Saya bayangkan sekarang, sulit sekali bagi anak umur enam tahun untuk berabstraksi, memahami, dan menghubungkan apa yang tertulis di koran dengan penampilan tim Belanda seperti terlihat di televisi.
Ketika Belanda kalah dari Jerman Barat di final saya sangat senang. Bagi saya kemenangan adalah bukti akhir bahwa mereka pasti lebih baik dari yang dikalahkan. Dan Belanda yang begitu dijago-jagokan bukanlah yang terbaik.
Saya simak berbagai laporan yang berhari-hari menghiasai halaman koran. Baik tentang tim Jerman Barat dan Belanda. Apakah saya mengerti sepenuhnya yang saya baca? Saya bisa memastikan tidak. Menarik untuk seorang bocah. Tetapi hanya semacam cerita dari antah berantah.
Saya sangat kecewa ketika di Piala Dunia 1978 Belanda hadir tanpa Cruijff. Bagi saya Belanda tanpa Cruijff bukanlah lagi Belanda. Mungkin di hati kecil saya ingin mereka gagal lagi lengkap ketika bintangnya masih ada. Untuk memberi pembenaran bahwa Belanda tetaplah bukan yang terbaik.
Ketika Belanda kalah dari tuan rumah Argentina di final, tidak ada kegembiraan seperti empat tahun sebelumnya. Suasana sudah berubah. Argentina disamping menjadi menjadi tim favorit saya, juga menjadi tim favorit kampung kami.
Satu-satunya perbedaan saya dengan orang sekampung hanyalah sementara mereka mengidolakan Mario Kempes, saya mengidolakan Osvaldo Ardiles. Perbedaan yang tidak perlu diperdebatkan.
Di akhir tahun itu kami sekeluarga berpindah keluar Indonesia. Sebuah negara yang gila olahraga walau bukan sepakbola.
Adalah sebuah kebetulan kami berumah tak jauh dari perpustakaan. Dan di perpustakaan itulah segala pemahaman saya yang masih sangat ranum tentang sepakbola tergoyahkan dan dibentuk ulang.
Di bagian rak olahraga, ada puluhan buku , dan seperti tergariskan oleh takdir kalau ada begitu banyak buku yang membahas tentang tahun 1974, "nasib sial" Belanda, total football, dan tentu saja Cruijff. Buku-buku yang berbicara tentang kehebatan Belanda dan Cruijff. Belanda yang bisa jadi bukan juara dunia, tetapi mereka lebih penting dalam perkembangan persepakbolaan dunia dengan sekian macam alasan dan skemanya. Pembahasan yang serius dan ilmiah.
Saya menghabiskan waktu berjam-jam membaca semuanya. Mungkin saya yang berumur 10 tahun, walau jauh dari sempurna, mulai bisa mencerna informasi yang disampaikan oleh literatur bola yang tersedia. Saya mulai bisa mengerti, walau masih samar, konteks dari mengapa Belanda dan Cruijff menjadi penting dan sangat revolusioner untuk jamannya.
Inilah perjalanan awal saya untuk mencoba memahami sepakbola bukan sekadar sebagai sebuah permainan. Berawal dari sebuah upaya untuk membuat peristiwa tahun 1974 masuk akal -- dalam kesimpulan saya di kemudian hari: kekalahan tidak selalu harus berarti kalah.
Secara sadar atau tidak, Piala Dunia 1974 dengan Belanda dan Cruijff-nya menjadi kompas bagi saya untuk memahami dunia sepakbola. Mendorong untuk memahami sepakbola tidak sekadar permainan, tetapi bagian dari sesuatu yang lebih luas.
Apa yang saya lakukan kemudian, ketika menonton, menikmati, menganalisa pertandingan dan kehidupan sepakbola hanyalah sekadar pengulangan pola ketika memasukakalkan pengaruh Belanda dan Cruijff usai Piala Dunia 1974. Pola itu masih juga tak berubah hingga sekarang.
Itulah sebab Johan Cruijff bagi saya adalah rasa tidak suka (berbatas hampir kebencian) yang berubah menjadi kekaguman total.
Johan Cruijff adalah bukti bahwa paduan ketajaman berpikir, keluasan imajinasi, dan kesempurnaan eksekusi di dalam lapangan (permainan bola) dan di luar lapangan (kehidupan) bisa terjadi.
Johan Cruijff adalah orang pertama yang menggugah kesadaran saya akan tautan sekian macam hal dunia kecil (mikro kosmos) sepakbola dengan kehidupan sesungguhnya (makro kosmos).
Lebih lagi, Johan Cruijff adalah sebuah ingatan paling awal mengenal sepakbola yang terpahat di benak, mempengaruhi cara saya menilai estetika permainan dan untuk selalu menarik hasil pertandingan ke konteks yang lebih luas.
Semuanya bukan lewat sebuah kesertamertaan. Cruijff membebatkan sebuah ingatan, kenangan, akan sebuah permainan. Selebihnya, sesudahnya, apa yang saya lakukan hanyalah upaya untuk menerjemahkan dan menafsirkan ingatan itu. Lewat berbagai kajian, tulisan, buku, dan rekaman pertandingan baik ketika ia masih bermain atau tim (Barcelona) yang ia pimpin.
Bagi banyak orang Cruijff meninggalkan warisan Cruyff Turn, "Ajax", total football, La Masia, "Barcelona", Tiki Taka, sepakbola modern, dan sekian kutipan kata-kata berbau nubuat.
Bagi saya ia mewariskan sepakbola itu sendiri. Betapa ingin saya menceritakan itu kepadanya.
====
* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68
Baca juga:
West Ham, Tentang Mimpi yang Mati
Maafkan Kami, Bournemouth
Swansea, Kobar Api Kehidupan
Pesepakbola Skandinavia dan Falsafah Janteloven
Ego Seluas Lapangan Bola
Romantisme tanpa Rasa Congkak
Tragedi Yunani di Stadion Emirates?