Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Umpan Silang

    Van Gaal Buruk, tapi Membandingkannya dengan Sir Alex Percuma

    Arrad Fajri - detikSport
    Reuters Reuters
    Jakarta -

    Anda, penggemar Manchester United, yang masih bernostalgia dengan era keemasan Sir Alex Ferguson, sebaiknya lekas-lekas bangun. Era Louis van Gaal memang, kaku, dingin, dan beku, tapi tak ada gunanya membandingkan keduanya kini.

    "The Most Romantic Club in the History of World Football, and that would never change," demikian ucap Sir Alex. Ya, romantis... Romantisme. Jika mengacu kepada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bisa diartikan bersifat mesra ataupun mengasyikkan.

    Dulu, melihat Manchester United bermain, memang mengasyikkan. Tidak hanya tampil menyerang, United juga kerap menang dengan dramatis. Selama lebih dari 25 tahun, Sir Alex memanjakan para penggemar United dengan kejutan-kejutan yang sangat berkesan. Gol di menit akhir laga, membalikkan keadaan saat tertinggal... Bahkan Sir Alex sendiri mengakui, hal-hal seperti itu bikin jantungnya copot.

    Romantisme yang dibangun Sir Alex selama bertahun-tahun memang mulai tidak dirasakan lagi oleh para fans United saat ini. Sistem "main aman" yang diperagakan Van Gaal dengan penguasaan bola dan operan-operan pendek dirasa sangat tidak sejalan dengan gaya permainan asli United yang eksplosif dan cepat.

    Karena sudah kelewat lama dimanjakan dengan hal-hal seperti itulah para pendukung United tak puas dengan performa tim di bawah arahan Van Gaal. Begitu peluit panjang dibunyikan, di mana United dikalahkan Norwich City 1-2, seruan "Huuuu!!" langsung membahana memenuhi seisi Old Trafford.

    Segala bentuk permainan membosankan United musim ini, ditambah tindak-tanduk manajernya, memang bikin penggemarnya susah move on dari Sir Alex. Tapi, Sir Alex adalah sesuatu yang langka. Ia bahkan mampu melebihi pencapaian manajer legendaris United lainnya, Sir Matt Busby. Tapi, barangkali, Sir Alex adalah kejadian sekali seumur hidup buat United. Mungkin saja tidak akan ada lagi manajer seperti itu untuk 'Setan Merah'.

    Yang bikin pendukung United susah move on bukan hanya dari sisi permainan, tetapi juga sikap Sir Alex. Lihat bagaimana ia --dalam usianya yang sudah menginjak kepala tujuh-- masih memiliki tenaga untuk turun dari dogout Old Trafford demi memprotes Hüseyin Göçek, asisten wasit Cüneyt Çakır, karena memberikan kartu merah kontroversial kepada Luis Nani saat United menjamu Real Madrid di Liga Champions 2012/2013.



    Van Gaal? Jika Sir Alex biasa berteriak memberikan komando langsung dari pinggir, Van Gaal lebih suka duduk manis sambil mencatat di "buku tugasnya".

    Van Gaal memang sempat terlihat memprotes asisten wasit, tapi itu dilakukannya pada laga persahabatan sebelum musim perdananya bersama United dimulai. Selebihnya,ia terlihat lebih sering duduk manis. Tugas memberikan komando lebih sering dilakukan oleh asisten-asistennya, termasuk Ryan Giggs.

    Di mata para pendukung, sikap Van Gaal yang demikian begitu kaku, begitu dingin. Sekaku dan sedingin permainan United di lapangan. Tapi, Van Gaal memang begitu: tim-timnya didesain untuk bekerja dengan saklek, seolah-olah pemain-pemainnya adalah komponen kecil dari sebuah mesin besar. Ya, memang seperti itulah ciri permainan United di bawah arahan Van Gaal: kaku seperti mesin.

    Saat United dalam keadaan tertinggal dan tim bermain buruk, teriakan Sir Alex seperti mewakili emosi yang dirasakan oleh para fans. Suatu hal yang amat jarang dilakukan oleh Van Gaal.

    ***

    Tapi, benarkah keterpurukan United dalam dua musim terakhir (atau tiga musim, kalau mau menghitung era pendek David Moyes) adalah kesalahan-kesalahan manajer yang sedang menukanginya? Mari, kita lihat dulu.

    Baik Moyes ataupun Van Gaal sesungguhnya mewarisi skuat yang butuh pembenahan besar-besaran. Maka, tidak heran ketika Van Gaal datang menjadi manajer, banyak pemain dari era Sir Alex ataupun Moyes yang ia lepas. Beberapa pemain, seperti Tom Cleverley, Anderson, Jonny Evans, Danny Welbeck, hingga Darren Fletcher, dinilai tak berkembang dan oleh karenanya layak dilepas. Namun demikian, beberapa pemain lain yang ia lepas masih layak untuk diperdebatkan.

    Kekukuhan Sir Alex untuk mempertahankan beberapa pemain yang sesungguhnya tidak berkembang itu, menunjukkan sedikit watak keras kepalanya. Padahal, sebuah tim raksasa sudah seyogyanya memugar skuatnya tiap musim. Kalaupun ingin belanja besar, United bukannya tidak punya duit. Masuknya pemain-pemain mahal dalam dua musim terakhir menunjukkan kalau mereka punya cukup dana.

    Okelah Sir Alex bersikukuh tidak ingin United menjadi tim kekinian yang gemar jor-joran beli pemain mahal. Namun, keengganan Sir Alex untuk mengikuti gerak dan laju zaman terbukti bikin timnya goyah. Dan ini bukan soal pemugaran skuat saja, tetapi juga soal taktik.



    Magnum opus terakhir Sir Alex adalah tim United yang menjuarai Liga Champions 2007/2008. Tidak hanya dihuni oleh pemain-pemain kelas satu yang sedang berada di puncak kariernya (atau pemain-pemain senior yang masih bisa menawarkan tenaganya), United juga dianggap bermain dengan baik. Trisula Carlos Tevez-Wayne Rooney-Cristiano Ronaldo di lini depan bermain amat cair. Di tengah, mereka masih memiliki gelandang-gelandang kreatif dan juga enerjik. Maka, klop-lah perpaduan itu semua untuk membawa mereka menjadi juara Eropa.

    Namun, tim United tersebut lahir tepat sebelum Barcelona-nya Pep Guardiola muncul. Kemunculan Barcelona-nya Guardiola --yang kemudian kita tahu, ikut mengubah wajah sepakbola Spanyol dan Eropa (kalau bukan dunia)-- membuat magnum opus terakhir Sir Alex itu berakhir lebih dini.

    Di final Liga Champions 2008/2009, kedua tim itu --United-nya Sir Alex dan Barca-nya Guardiola-- bertemu. Guillem Balague menulis dalam buku biografi Guardiola, United awalnya mendominasi permainan lebih dulu. Sir Alex tampak senang. Namun, Guardiola sontak bangkit dari kursinya dan meneriakkan berbagai instruksi dengan cepat. Arus permainan kemudian berubah.

    Hasil pertandingan final ketika itu, Barca menang dua gol tanpa balas atas United. Dua tahun kemudian, kedua kesebelasan kembali bertemu, kali ini di Wembley. Lagi-lagi, Guardiola unggul atas Sir Alex; Barca menang 3-1 waktu itu.

    Dua kali Sir Alex dan United-nya gagal menaklukkan Barca-nya Guardiola, yang bisa kita anggap memiliki taktik lebih modern. Tiki-taka Barca bahkan tidak hanya lebih modern, tetapi juga ikut merevolusi permainan seantero Eropa. Bahkan timnas Spanyol mengadopsinya dengan sangat baik sehingga mereka bisa menjuarai Piala Dunia 2010.

    Pada saat bersamaan meledaknya tiki-taka Barca, dunia taktik sepakbola juga mulai mengenal istilah double pivot (duet gelandang tengah yang biasa ada dalam formasi 4-2-3-1). Peran para winger tak lagi sekadar berlari di pinggir untuk kemudian melepaskan crossing, tetapi juga dimodifikasi untuk langsung melakukan tusukan ke dalam kotak penalti. Pressing ketat mulai diperagakan banyak tim, dan demikian juga garis pertahanan tinggi.

    Sir Alex, sesungguhnya, bukan orang yang bukan taktik. Semasa muda, ia pernah menyaksikan Real Madrid begitu digdaya dengan Ferenc Puskas di dalamnya, Puskas yang merupakan anggota The Mighty Magyars Hongaria --yang katanya ikut melatari taktik modern dan 'false nine' itu. Oleh karenanya, ia senantiasa untuk terus mengevolusi taktik timnya. Tapi, United 2007/2008 itu rupa-rupanya adalah batasnya.

    Ketika tim-tim bermain dengan 4-2-3-1, United masih bermain dengan 4-4-2 flat. Tidak masalah bermain dengan 4-4-2 flat, Manchester City era Roberto Mancini pernah mempraktikkannya. Namun, perlu dicatat, City punya gelandang box-to-box hebat bernama Yaya Toure, ini memungkinkan mereka untuk melapis pertahanan dan membangun serangan sama baiknya.

    Di kubu United, mereka tak punya gelandang box-to-box sepiawai Toure. United pernah memiliki Paul Pogba di dalam tim mereka. Namun, begitu melihat Sir Alex lebih memilih memasang Rafael da Silva (seorang bek kanan) dan Park Ji-Sung sebagai duet gelandang tengah, Pogba pun memutuskan hengkang. Di kemudian hari, kita tahu bahwa Pogba menjadi salah satu gelandang box-to-box terbaik yang pernah ada.

    Kegagalan Sir Alex untuk membuatnya timnya bisa menghadapi laju zaman menjadi awal jebloknya United.



    Selain dua kali kalah dari Barca di final Liga Champions, ada beberapa bukti lainnya ketidakmampuan United beradaptasi melawan tim-tim yang secara taktik lebih "modern". Salah satunya adalah ketika menghadapi Athletic Bilbao-nya Marcelo Bielsa pada Liga Europa 2011/2012.

    Kala itu, dua kali United dipermalukan Athletic. Tim milik Bielsa itu tidak hanya memperagakan permainan operan cepat dari kaki Iker Muniain, Oscar De Marcos, hingga Markel Susaeta, tetapi juga melakukan pressing dengan agresif. Para pemain United tak diberikan ruang untuk bernafas atau menguasai bola lama-lama. Imbasnya, United tak bisa mengembangkan permainan.

    Di Liga Inggris, United kesulitan ketika harus menghadapi City ataupun Chelsea. Kendati masih bisa menjuarai Premier League pada musim 2010/2011 dan 2012/2013, ada momen-momen di mana mereka kesulitan menghadapi dua tim tersebut. Kecepatan dan keliatan pemain-pemain City, yang diwakili oleh David Silva dan Sergio Aguero, tak mampu mereka redam.

    Kala menghadapi City di Old Trafford pada musim 2012/2013, Sir Alex memilih untuk memasang garis pertahanan rendah. Hasilnya? Anda bisa lihat dari gol Aguero kala itu, pemain City dengan leluasa naik hingga ke final-third dan Aguero dengan enaknya menggiring bola ke dalam kotak penalti United, sebelum akhirnya mencetak gol.

    Musim berikutnya, ketika Sir Alex sudah pensiun dan tongkat estafet diberikan kepada Moyes, perubahan dilakukan. Moyes memasang garis pertahanan tinggi ketika United beruji coba ke Asia Tenggara. Hasilnya? Karena tidak biasa, bek-bek United dengan mudah diterobos oleh umpan terobosan.

    Moyes memang bukan manajer yang luar biasa. Tapi, Everton yang dulu ditanganinya bahkan bisa bertahan dengan amat baik dan rapi, yang bahkan bisa membuat tim seperti City sempat kesulitan.

    ***

    Apes menjadi Moyes dan Van Gaal. Mereka sesungguhnya tidak hanya diserahi tugas untuk meneruskan kejayaan United, tetapi juga memperbaiki berbagai kerusakan di dalam tim. Oleh karenanya, untuk membuat United bangkit lagi, dibutuhkan waktu yang bisa jadi tidak sebentar.

    Van Gaal (seperti yang dituliskan Dex Glenniza dari Pandit Football di artikel berikut: Manchester United Sebenarnya Sudah Lebih Baik) sebenarnya sudah melakukan beberapa perbaikan. Minimnya gol yang masuk ke gawang United di awal musim ini adalah bukti bahwa penempatan posisi dan kedisiplinan untuk setia pada sistem permainan sudah lebih baik.

    Hanya saja, dan di sini masalahnya, Van Gaal belum bisa memperbaiki lini depan United yang tumpul. Ketika bermain mengandalkan keseimbangan di tengah dan belakang, United tidak bisa melakukan penetrasi. Ketika memutuskan untuk bermain ofensif dan tampil all-out, mereka malah rentan kena serangan balik.

    Sampai di sini, Van Gaal memang salah. Ia memang buruk. Tapi, kita tahu bahwa ia diserahi sebuah tim compang-camping, yang kita juga tahu dari mana dan siapa pangkalnya.

    Menyebut bahwa United harus kembali tampil seperti era Sir Alex pun jadi tidak sepenuhnya benar.

    ====

    *penulis adalah penggemar sepakbola, sehari-hari bekerja sebagai manajer produk untuk detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun @arradf.

    *foto-foto: Reuters, AFP, Getty Images.





    (roz/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game