Menyoal Brand Bernama 'Manchester United'

Manchester United adalah sebuah klub, tidak, mungkin sudah lebih tepatnya disebut brand yang kini sudah sangat identik dengan sepakbola. Sebuah brand yang bahkan orang awam pun tahu mengenainya dan selalu dianggap salah satu yang terbaik.
Coba tanya begini sesekali: "Kamu tahu klub bola apa?" Orang yang paling awam sekalipun, bisa jadi, akan memasukkan United dari sekian sedikitnya daftar nama klub yang mereka ingat.
Atau kalau terlalu malas, silakan mulai obrolan di warung kopi dengan teman yang sama gila bolanya mengenai United. Anda akan terkejut mengetahui sebanyak apa kritisi, pujian, hingga olokan, yang akan muncul dalam percakapan tersebut.
United memang merupakan brand terbaik di dunia --jika mengacu pada data BBC, Juni 2015-- mengalahkan Real Madrid dan Barcelona, pula Bayern Munich. Ataupun mengacu pada data yang diumumkan oleh brandtix, yang mengatakan United merupakan brand berpengaruh di Liga Premier kini, meski performanya sendiri tak patut kita sebutkan. United juga memiliki 650 juta fans di seluruh dunia sesuai klaim mereka sendiri.
Dan kita akan sangat percaya mengenai hal ini jika mengacu pada apa yang tampak di kasat mata. Sangat mudah bagi menemukan orang yang menyukai United sambil menggunakan kostum merah mereka, ketimbang menemukan hal yang sebaliknya. Segila itu.
Hal ini tentu tak bisa dilepaskan dari strategi mereka sendiri untuk ekspansi, sekaligus membawa nama Premier League, dan mengubah klub mereka yang dulunya hanya dikenal skala nasional, menjadi merk yang dikenal di seluruh dunia. Dengan memanfaatkan sejarah mereka, ataupun menjual jargon "glory glory" yang tersohor itu, dan kejayaan di masa Sir Alex Ferguson, mereka membangun keselarasan yang sempurna. Mereka bisa menggandeng perusahaan kelas dunia sebagai sponsor. Mereka sukses merevolusi klub(nya) menjadi sebuah brand, dan berbagai perusahaan akan sangat tertarik untuk mendanai mereka.
![]() |
Semua dimulai dari tahun 2002, ketika menandatangani kontrak kerja sama dengan Nike. Perjanjian tersebut tidak main-main, mengingat nilai kontraknya sendiri mencapai angka 303 juta poundsterling. Dan sebagaimana data yang dilansir pada tahun 2013 oleh Sportskeeda, United setidaknya telah mengajak 44 brand lain untuk bekerja sama.
United pun berubah dari klub menjadi brand yang amat menjual. Imbasnya, Wayne Rooney dkk. pun muncul dalam iklan yang kadang tak ada sangkut pautnya dengan tendang-menendang bola --misal: iklan film X-Men Apocalypse ataupun iklan minuman bervitamin yang biasa muncul di televisi. Imbas lainnya: publisitas United dan pemberitaannya di media menanjak, sehingga mereka bisa mempertahankan diri sebagai brand besar dan memiliki banyak penggemar seperti saat ini.
Maka, bayangkan bermain dan melatih untuk klub yang tidak hanya besar di atas lapangan, tetapi juga dari sisi bisnis seperti itu. Anda bisa jadi bukan siapa-siapa, namun saat sudah masuk ke dalam United, Anda akan jadi siapa-siapa dan jadi perhatian. Atas sebab ini jugalah mengapa angka penjualan kostum United dengan nameset Memphis Depay, sebagaimana data yang disadurkan dari DailyMail, sampai bisa menyaingi nama sekaliber Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo.
Atas alasan bisnis yang menggiurkan seperti itu juga, Keluarga Glazer enggan minggat, meski sudah banyak protes dilayangkan oleh penggemar klub karena mereka membebankan utang pribadi --yang digunakan saat membeli klub-- menjadi utang klub. Penggemar juga menilai, Glazer telah menjadikan United sebagai sapi perah.
[Baca Juga: Malcolm Glazer: Dipuja di Amerika, Dihujat di Manchester]
[Baca Juga: Club for Sale: Ketika Kepemilikan Berpengaruh pada Klub]
Kendati pun sukses di lantai bisnis, pencapaian mereka di lapangan dalam beberapa musim terakhir berbicara sebaliknya. United menjelma menjadi penggemar Liverpool --yang terus merasa bangga dengan sejarah mereka namun tak bisa terlalu bicara banyak mengenai prestasi mereka di liga dalam tahun-tahun belakangan. Beruntung, musim lalu ada Piala FA yang membuat mereka bisa lega dan merasa lebih unggul dari rivalnya itu.
United sedang berada dalam krisis yang berat, di segitiga antara memilih manajer yang ideal, transfer yang pas, dan penggemarnya yang kian rindu dengan Sir Alex Ferguson. Balada gagal move on ini kemudian menjadi krisis yang ada di depan mata United dan membuat mereka ada di kebingungan hebat antara ingin meniru sistem moneyball dan membeli wonderkid, atau membeli pemain bintang demi hasil instan.
Tapi, menyebut kegagapan United pasca-Ferguson sebagai kesalahan manajer sendiri juga keliru. Ed Woodward dan antek-anteknya memiliki andil yang sama besar. Mulai dari era David Moyes hingga Louis van Gaal, mereka selalu diidentikkan dengan upaya membuang-buang uang. Sejarah, tradisi klub, manajer, dan fans yang luar biasa banyaknya tak lagi mampu menjual. Mereka rela bayar sangat mahal untuk pemain yang sebenarnya bisa didapatkan dengan harga yang lebih rendah.
Ketika masih ditangani Moyes, Woodward hanya mampu mendatangkan satu pemain, yakni Marouane Fellaini, di bursa transfer musim panas. Padahal, skuat peninggalan Ferguson itu punya banyak celah dan butuh perbaikan. Berapa harga Fellaini? 27 juta poundsterling. Ketika Fellaini terlihat tidak cukup untuk memperkuat tim, Juan Mata pun didatangkan dengan harga 37,1 juta pounds. Toh, tetap saja Moyes gagal menemukan formula terbaik untuk tim dan akhirnya didepak.
Di masa van Gaal, kekacauan untuk menjadikan galacticos a la United atau berpegang pada prinsip moneyball berada di level yang lebih lanjut. Woodward telah mengeluarkan sekitar 250 juta poundsterling, termasuk Martial dengan 38 juta poundsterling (sebagai informasi saja, Tottenham Hotspur dan Arsenal mundur saat mengetahui harga ini) yang bisa berfluktuasi menjadi 58 juta poundsterling sesuai performanya. Beruntung, perjudian dengan Martial berjalan dengan baik. Namun, metode membeli pemain seperti Memphis Depay tak dapat dikatakan berhasil, dan jangan lupakan pemain kelas dunia seperti Angel Di Maria yang gagal total di United. Lalu, ingat pula rumor Thomas Mueller, Mats Hummels, dan Gareth Bale sebagai bumbu penyedap di era van Gaal.
![]() |
Gelontoran uang yang luar biasa ini nyatanya, secara langsung atau tidak, memberikan tekanan luar biasa terhadap Van Gaal dan kepada skuat. Saat ia mulai menjajal tim sesuai dengan keyakinannnya, seperti menjadikan Ashey Young sebagai striker, Mata dan Martial sebagai winger, dan Jesse Lingard sebagai pemain no. 10, Van Gaal dikritik dan dipandang clueless, tak mengetahui cara memanfaatkan sumber daya klub berharga yang mahal dengan baik dan benar.
Maka, seperti yang dilansir oleh The Independent, di awal tahun 2016 United menurun hingga 500 juta dolar AS dari sisi value (nilai klub). Jelas, mengganti manajer hanya mengungkap persoalan kecil dari United selama empat tahun terakhir.
Jose Mourinho, dengan nama besarnya, jelas akan mendatangkan pemain kelas dunia. Sejauh ini, ia bisa membuat United sukses mendatangkan pemain-pemain seperti Henrikh Mkhitaryan dan Zlatan Ibrahimovic. Mourinho punya visi. Ia selalu tahu pemain-pemain mana saja yang ingin didatangkan --yang dirasanya pas dengan skemanya. Bisa jadi, ini juga yang membuatnya jadi magnet pemain-pemain kelas dunia.
Namun, jika melihat sistem transfer yang mereka lakukan belakangan ini, brand United yang dihormati itu mungkin tak ada lagi. Atau mungkin brand itu sudah beralih identitas, dari klub yang bangga dengan kekuatan sendiri menjadi klub yang mengandalkan nama-nama mahal. Kalau gagal juga, fans United harus bersiap yang terburuk: Mereka harus siap senasib dengan fans Liverpool atau Nottingham Forrest, yang hanya bisa menengok kejayaan masa lalu.
====
*penulis adalah penggemar sepakbola, beredar di dunia maya dengan akun @utamaarif.
(roz/a2s)