Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Umpan Silang

    Dewa Pagan Itu Bernama Sam Allardyce

    Isidorus Rio - detikSport
    Foto: Getty Images/Matthew Lewis Foto: Getty Images/Matthew Lewis
    Jakarta - Dalam sejarahnya, etnis dan suku di Inggris adalah kaum barbar yang menyembah pagan, mengagungkan sikap urakan ala petarung jalanan, dan memiliki sikap bebal dan arogansi yang tinggi.

    Dari bangsa Kelts, Saxon, Druid di utara, sampai Iceni sekalipun, semuanya mewariskan sikap dan sifat seperti apa yang kita lihat di masyarakat Inggris sekarang: keras dan insular. Insular berasal dari kata Latin insularis, sebuah kata sifat yang menggambarkan sikap yang abai, tidak tertarik dengan budaya dan pemikiran orang lain, tidak tertarik dengan yang ada di luar jagat kehidupan mereka ataupun wilayah pengalaman kelompok lain

    Dibanding Romawi yang taktis dalam perang dan lengkap dengan baju zirahnya, pejuang barbar di Inggris lebih nyaman berlarian menyerang musuh dengan sporadis dan membabi-buta. Sekarang paham bukan kenapa Inggris identik dengan sepakbola lari sekencang-kencangnya dan tendang sekeras-kerasnya? Sejarah tidak pernah salah.

    Satu yang kemudian menyatukan mereka menjadi satu kesatuan dan mau untuk menyerang Romawi, hanya kepercayaan mereka terhadap dewa pagan yang esa, Andraste, dewa yang dipuja para barbar di Inggris yang disimboliskan dalam rupa burung gagak hitam. Andraste adalah pemersatu rakyat Britania di saat masa-masa awal penjajahan Romawi di Britania. Andraste adalah simbol yang menyatukan hasrat tempur rakyat Inggris untuk bertarung melawan Roma.

    Rasionalitas untuk Sam Allardyce

    Beberapa hari lalu, kita mengetahui bahwa Samuel 'Sam' Allardyce telah ditunjuk menjadi manajer timnas Inggris untuk mengisi kursi kosong usai Roy Hodgson mundur. Hodgson meninggalkan kursi tersebut pasca-kegagalan surealis di Piala Eropa 2016, di mana The Three Lions dikirim pulang oleh sebuah negara yang populasinya hanya setara satu kecamatan di Jakarta.

    Skeptisme memuncak, cibiran melanda, pantaskah 'Big Sam', julukan eks pelatih Bolton ini, menukangi timnas Inggris? Sebuah timnas sepakbola yang banyak dihuni pemain miskin tactical awareness, beberapa di antara mereka banyak yang overpaid, overrated --dan banyak istilah 'over' lain lagi yang bisa disematkan ke kumpulan pemain sepakbola dari Inggris.

    Kepantasan itu bisa dijelaskan dengan beberapa alasan yang logis. Beberapa di antaranya, untuk mewajarkan kenapa berangkat dari kultur dan semangat orang asli Britania, Big Sam adalah sosok yang pantas dibandingkan misal, kompatriotnya, Roy Hodgson.

    Alasan pertama, pria tambun yang sebelumnya menukangi Sunderland ini bukan pria yang asing dengan asam garam Liga Inggris. Ia salah satu pionir perkembangan penggunaan sport science di sepakbola Inggris, selain tentu saja, monsieur Arsene Wenger dari Arsenal.

    Ia paham kultur kick and rush, dia paham bagaimana cara orang Inggris daratan memainkan sepakbola, ia tahu luar dalam kebiasaan dan tekanan yang ada di kursi timnas dan yang paling utama, dia memiliki kualitas man-management yang baik, jauh lebih baik dari Sven-Goran Eriksson atau Hodgson sekalipun.

    Getty Images/Ian MacNicol

    Man-management ini perlu karena ekspektasi bagi pemain yang berseragam The Three Lions sangatlah besar. Media Inggris adalah perwujudan asli bagaimana ekspektasi yang berlebih dari publik dibumbui dengan sangat sempurna oleh media-media di Inggris. Hanya media Inggris yang bisa melabeli Harry Kane lebih baik dari Sergio Aguero dan hanya media Inggris yang percaya bahwa Jamie Vardy cukup pantas bermain bagi Real Madrid.

    Alasan kedua, Big Sam adalah pribadi yang cukup sistematis walau tak memiliki kapabilitas taktik semewah Josep Guardiola atau Marcelo Bielsa sekalipun. Tudingan bahwa ia penggemar long ball dan permainan medioker tidak sepenuhnya salah, walau tak seratus persen benar.

    Dalam otobiografi resminya, Big Sam, yang memiliki rivalitas panjang dengan Rafael Benitez dan Arsene Wenger, mengeluarkan kutipan yang asyik: "When top clubs hit a 50-yard pass, people called it cultural pass, when me using it, they said it was hopeful hoof." (Jika klub top melepaskan operan sepanjang 50-yard, mereka bilang itu operan yang indah. Jika saya yang menggunakannya, mereka bilang itu umpan panjang asal-asalan).

    Sedikit trivia bahwa publik Inggris tidak pernah adil dengan penilaian mereka terhadap Big Sam.

    [Baca Juga: Gaya Bermain Sepakbola: Antara Idealisme, Realitas, dan Mitos]

    Dengan dua hal tersebut, tidak berlebihan untuk menganalogikan Sam Allardyce sebagai simbol yang (nantinya) bisa diharapkan untuk membawa Inggris pada sesuatu yang lebih baik --ya, walau tidak sepenuhnya menjanjikan gelar juara di ujung lorong gelap sepakbola Inggris yang kemarau gelar bergengsi sejak 1966.

    Fakta menariknya, Big Sam tidak perlu menjadi inovatif dan revolusioner layaknya Guardiola untuk juara. Otto Rehagel melakukannya di Portugal 2004, Roberto Di Matteo membawa Chelsea merajai Eropa di tahun 2012 hingga Fernando Santos yang membawa mimpi indah bagi Cristiano Ronaldo dkk. di awal bulan ini.

    Reuters/Carl Recine

    Alasan apalagi yang membuat pria gendut yang tengah menjadi sorotan publik Inggris ini untuk tidak layak menangani timnas Inggris? Kalau dengan cara medioker dan membosankan saja bisa diharapkan nantinya untuk membawa Inggris pada gelar juara, Big Sam jelas nama yang tepat dari sekian opsi waras yang ada.

    Kalau pragmatisme bisa menjadi cara logis untuk menang, Big Sam bahkan jauh lebih pragmatis ketimbang Jose Mourinho yang bahkan melabelinya "bermain dengan sepak bola abad 19".

    [Baca Juga: Allardyce, Guardiola, dan Percakapan yang Tak Kunjung Usai]

    Kalau sepakbola manis yang dipertontonkan Spanyol dan Jerman beberapa tahun terakhir sudah tidak efektif sebagai cara untuk menjadi juara, Inggris harus sadar bahwa mereka perlu menjadi pemuja pagan di sepakbola. Memuja cara barbar dari pelatih veteran yang sempat menderita disleksia di masa kecilnya ini.

    Allardyce adalah simbol pagan sejati, ia anti-tesis dari sepakbola rancak Arsene Wenger selama bertahun-tahun di Arsenal. Ia seorang British tulen. Paham bahwa sepakbola asli Inggris harus dimainkan dengan keras dan kasar, memainkan umpan panjang berkali-kali dan aktif mengirim umpan lambung dengan frekuensi yang maksimal.

    Kalau cara cantik dipuja dewa-dewi di sepak bola, Big Sam bisa menjadi simbol paganisme yang solid untuk membawa sepak bola Inggris ke arah yang cukup waras, setidaknya, tidak seperti Hodgson yang memilih seorang Jack Wilshere dibanding Danny Drinkwater atau Mark Noble.

    Satu yang paling pokok, Sam Allardyce adalah pilihan yang logis dan rasional karena menunggu dewa pagan sejati yang diidamkan publik Inggris akan sangat lama, karena ia sudah memutuskan berlabuh di Manchester untuk tiga tahun ke depan.

    ====

    *penulis adalah penggemar sepakbola, beredar di dunia maya dengan akun @isidorusrio_

    (roz/roz)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game