Mengatasi Kehilangan ala Bayer Leverkusen

Kehilangan pilar penting tak membuat Bayer Leverkusen terpuruk. Bagaimana cara Die Werkself mengatasi perubahan skuadnya itu?
Kehilangan adalah sesuatu yang absolut terjadi dalam hidup seluruh makhluk yang bernyawa. Peristiwa kehilangan bisa terjadi secara tiba-tiba, bisa pula secara sekejap. Sudah barang pasti setiap manusia tak ingin mengalaminya, baik kehilangan harta, pekerjaan, hingga seseorang yang amat berpengaruh. Tentu yang disebut terakhir itu, sungguh sangat mengerikan.
Kehilangan seseorang dapat berujung dengan keterpurukan kalau tak segera move on. Namun, bagi klub sepak bola, kehilangan figur sentral berarti keruntuhan.
Tengoklah kisah dongeng AS Monaco yang berhasil menjuarai Liga Prancis musim 2016/2017. AS Monaco bermain fantastis satu musim penuh. Duduknya AS Monaco di kursi agung puncak klasemen itu berkat gebrakan anak muda bernama Kylian Mbappe. Remaja yang lahir di Paris tahun 1998 itu mampu mengemas 26 gol dan 14 assist.
Kegemilangannya di atas lapangan tentu menyedot perhatian raksasa Paris Saint-Germain. Disokong Nasser Al-Khelaifi yang tajir melintir, tentu membeli Mbappe seperti membalikkan telapak tangan.
Usai Mbappe hengkang, AS Monaco bermain tak terarah. Biasanya Monaco selalu berpegangan pada pundak Mbappe, kini mereka tak punya tempat untuk bersandar. Hasilnya prestasi merosot tajam. Bahkan 2 musim setelah juara, Monaco terperosok di posisi 17. 1 strip di atas zona degradasi.
Klub bola akan terlihat seperti pecandu narkoba bila terlalu bergantung kepada satu pemain. Sekali saja tak menghabiskan hari tanpa menghisap sabu atau menyuntikkan heroin, timbul gejala sakau, yakni kesulitan konsentrasi, gelisah, hingga kecemasan. Persis yang terjadi kepada Monaco tanpa Mbappe. Kolaps.
Ketergantungan adalah kata yang mesti dihapus dalam kamus sepakbola. Sehingga di situlah perlu yang namanya sosok pengganti. Pada birokrasi pemerintah daerah ada yang namanya wakil walikota. Tugasnya mengganti peran walikota bila tak bisa menjalankan fungsinya dengan semestinya.
Jika dua-duanya berhalangan, ada yang namanya pejabat sementara (pjs). Saling mengganti peran, saling mengisi kekosongan ini lah yang perlu dan harus ada pada klub bola. Sebagai pengganti tentu tak bisa asal-asalan. Harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Bila asal-asalan memilih pengganti niscaya akan terjerembap dalam keruntuhan.
Luis Suarez dan Liverpool menjadi contoh sahih akan fenomena ini. Selain sibuk menggigit lengan lawan, Suarez juga sibuk menggetarkan gawang lawan dengan gol-golnya. Liverpool dengan Suarez sebagai nahkodanya mampu bertengger di posisi 2. Tanpanya, The Reds terlempar jauh ke urutan 6.
Trio Balotelli-Lambert-Markovic yang didapuk jadi pengganti Suarez malah lebih sering menjadi bahan guyonan meme akun Twitter bola ketimbang berperan di atas lapangan.
Lalu ada Manchester United yang uring-uringan ketika Sir Alex Ferguson angkat kaki. Seperti senandung Inul Daratista, Man United tanpa Ferguson bagai sayur tanpa garam. Kurang enak, kurang sedap. Beberapa pelatih setelahnya tak mampu mengembalikan kedigdayaan Man United layaknya era Ferguson.
Namun, sejumlah klub ada yang mampu mengatasi kehilangan ini dengan baik. Meski ditinggal oleh pilar-pilar penting seakan tak terpengaruh dengan permainan tim. Hal tersebut dikarenakan apa yang dilakukan oleh sosok penting yang cabut itu mampu digantikan dengan baik oleh orang kedua, orang ketiga, orang keempat dan seterusnya.
Bayer Leverkusen memberi jawaban bagaimana mengatasi kehilangan. Bermain impresif dengan mencetak 18 gol dan 9 assist membuat nama Kai Havertz masuk dalam radar klub-klub bergelimang harta. Chelsea datang meminang Havertz dengan mahar yang cukup besar mengingat sejumlah klub justru memotong gaji para pemainnya karena faktor pandemi Corona.
Seakan belajar dari kasus Tottenham Hotspur yang membelanjakan secara jor-joran uang penjualan Gareth Bale ke Real Madrid, die Werkself tak buru-buru membeli pemain. Pelatih Leverkusen cukup teliti memilah-milih pemain.
Pilihan jatuh kepada Patrik Schick. Didatangkan dari Roma dengan banderol 26,5 juta euro, Schick tampil cukup oke. Menurut transfermarkt, pemuda berusia 24 tahun itu sudah mencetak 5 gol dari 11 kali bermain bagi Die Werkself.
Meski jarang tampil 90 menit, setidaknya Schick cukup sering masuk jajaran starting line up. Selain itu, Leverkusen juga mempercayakan daya gedor mereka kepada anak-anak muda macam Leon Bailey dan Moussa Diaby.
Ketiga sosok ini seakan mampu bertranformasi menjadi penutup lubang yang ditinggalkan Havertz. Ketiga anak muda ini berhasil menggantikan peran Havertz baik untuk mencetak gol, mengumpan, membuka ruang hingga drible. Seakan kehilangan Havertz hanyalah angin lalu bagi Leverkusen.
Kejelian manajemen Leverkusen dalam mengorbitkan pemain patut diacungi jempol. Pelatih Leverkusen, Peter Bosz, mampu menemukan sosok potensial lainnya dalam diri Florian Wirtz. Selain sibuk belajar di sekolah atau les bimble, pemuda 17 tahun itu juga aktif menjaga lini tengah Leverkusen. Permainannya sama sekali tidak terlihat seperti ABG yang terbebani dengan tugas PR matematika.
Bisa dibayangkan bagaimana pemuda ini sibuk menghabiskan 24 jam harinya. Pagi-siang ia belajar geometri bidang ruang, malamnya mesti membela panji kehormatan Bayer Leverkusen. Sampai-sampai Wirtz tak bisa mengikuti pertandingan Leverkusen melawan Slavia Prague karena bentrok dengan jadwal ujian sekolah. Meski begitu, pelatih Leverkusen, Bosz, sangat mendukung jenjang pendidikan Wirtz.
"Sekolah lebih penting dari pada pertandingan ini," kata Bosz kala itu.
Mati satu, tumbuh seribu. Tak ada Havertz, Bailey-Schick-Diaby-Wirtz pun jadi. Kepergian Havertz benar-benar tak menjadi masalah bagi Die Werkself. Sama sekali tak menggoyangkan benteng Leverkusen walau 1 sentimeter pun. Punya opsi pemain yang banyak dan mumpuni tentu menguntungkan. Memberi kesempatan pemain muda sama sekali tidak ada salahnya. Mereka bisa dijadikan ban serep dadakan bila ban utama gembos, usang, dan tak bisa dipakai lagi.
Rotasi pemain bisa menjadi kunci mengatasi kehilangan. Klub yang sering melakukan rotasi memiliki sisi positif, yakni pemain mendapatkan menit bermain yang sama rata. Sehingga pemain-pemain yang normalnya menghangatkan bangku cadangan, dapat merasakan kerasnya medan pertempuran di lapangan hijau.
Mereka diberi kesempatan menerima tekel serta sikut lawan. Pemain juga dapat melihat situasi yang sebegitu tegangnya bila sudah menguasai si kulit bundar. Situasi-situasi di atas tidak bisa didapatkan hanya dari sesi latihan saja atau meratap di bangku cadangan. Jika menurut Harry Tjahjono, harta yang paling berharga adalah keluarga, maka menit bermain adalah harta yang sangat amat berharga bagi pemain muda.
Bayer Leverkusen baru saja kehilangan tahta di klasemen Liga Jerman. Mereka tumbang 1-2 dari Bayern Munich, hingga digeser oleh Die Roten.
Akibat hasil laga di BayArena itu, Leverkusen kini duduk di posisi kedua klasemen Liga Jerman dengan raihan 28 poin, tertinggal dua angka dari FC Hollywood.
Aksi-aksi Leverkusen di Liga Jerman bisa disaksikan di Mola TV dengan mengakses link ini.
***
Isal Mawardi
Penikmat liga Inggris yang bisa disapa di Twitter dengan akun @isalomonkalou